Penulis: Nestor Rico Tambun*
PIRAMIDA.ID – Tanggal 17 Juni 2020 adalah peringatan 113 tahun gugurnya Raja Si Singamangaraja XII. Perjuangan Raja dari Tano Batak ini mungkin salah satu perang gerilya yang paling menggetarkan dalam sejarah Republik ini, bahkan untuk ukuran dunia, 29 tahun lamanya, satu generasi.
Tidak terdengar ada peringatan, atau kegiatan refleksi tentang gugurnya Raja Si Singamangaraja XII. Padahal, saat tidak ada momen atau konteks, suka ujug-ujug ada diskusi atau kegiatan yang membicarakan sejarah atau perjuangan Raja ini.
Bagaimana sebenarnya orang Batak sekarang memaknai perjuangan Raja Si Singamangara XII? Apa konteks dan relevansi aktual yang perlu direnungkan ulang saat ini?
Saya tidak tahu ada kaitan atau tidak, beberapa hari lalu seorang teman, menyapa saya di inboks. Ia meminta saya menulis tentang Bius. Barangkali karena bulan lalu saya menulis beberapa seri tulisan mengenai Tano Batak dan Orang Batak.
Menurut saya, Bius sangat strategis dihidupkan dan difungsikan kembali sebagai pranata sosial Bangso Batak. Banyak sebenarnya masalah di Kawasan Danau Toba tidak harus sampai ke Kepolisian dan Pengadilan, karena bisa diselesaikan dengan mekanisme Bius dan Raja Huta. Begitu kurang lebih inti alasan sahabat Mangaliat.
Pemikiran yang benar, sesungguhnya. Tapi waktu sudah berlari begitu jauh.
Kalau mau jujur, Perang Batak sesungguhnya adalah perang mempertahankan eksistensi dan “jatidiri” orang Batak yang tertuang dalam pemerintahan sosial-hukum-ekonomi-spritual-adat-istiadat Bius.
Pemahaman sederhana pemerintahan Bius: ada Raja-Raja Huta yang memiliki otoritas di huta masing-masing. Raja-raja Huta bersatu dalam Horja, dipimpin Raja Paijolo, yang dipilih dari Raja-raja Huta. Raja-raja Horja bersatu dalam Bius, dalam pemerintahan yang biasa disebut Raja Maropat, yang dipilih dari Raja-Raja Horja. Bius inilah pemerintahan sosial yang mengatur segala aspek kehidupan di Tano Batak. Semua Horja dan Huta merasa bagian dan patuh pada keputusan Bius.
Jadi, Bius adalah pemerintahan otonom yang demokratis. Tapi semua Bius berpatokan dan berorientasi pada pesan-pesan dan saran Raja Si Singamangaraja. Di situlah letak “kerajaan” dari Sisingamangaraja.
Lalu kemudian pemerintahan kolonial Belanda dan missionaris zending datang ke Tano Batak. Apa relevansi Belanda datang ke Tapanuli?
Bukan ekonomi. Mereka takut Tano Batak menyatu dengan Aceh, karena mereka tahu sejak awal Raja Si Singamangaraja dekat dengan Aceh. Belanda sangat trauma karena sulit menundukkan Aceh, Mereka sampai melakukan bumi-hangus dan pembantaian biadab di banyak tempat. Ada foto-fotonya.
Untuk melemahkan Tano Batak dan Raja Si Singamarangaja XII, dibubarkanlah Bius. Diangkatlah Raja Paidua untuk menandingi Raja Paijolo, serta aparat pemeritahan baru, seperti Demang, Kapala Nagari, dan pendukungnya. Pemerintahan Bius hilang. Dan itulah yang ingin dipertahankan Raja Sisingamangara. Jangan sampai pemerintahan dan raja-raja Bius hilang.
Bius memang tetap ada. Tapi tidak lagi mengatur persoalan kehidupan sosial-ekonomi-spritual masyarakat. Bius hanya mengurusi persoalan adat.
Jadi, Perang Batak, perang yang dipimpin Raja Si Singamangaraja XII sesungguhnya adala perang mempertahankan hukum-hukum sosial, politik, adat-istiadat, yang dianut masyarakat adat Batak. Seperti beberapa kali diwacanakan beberapa teman, benar, Raja Si Singamangaraja XII sejatinya adalah Pahlawan Masyarakat Adat Batak.
Apa “jatidiri” Habatahon itu? Hapantunon, Halambohon, Lambas ni roha, Habasaon, Habisuhon, Habaranion, Hatigoran, Partamueon, Hamaloon manghatai… apa lagi? Perlahan orang Batak kehilangan semua itu, karena sudah datang nilai-nilai baru. Kebanggaan jadi bagian dari pemerintahan Belanda, kebanggaan bisa bersekolah, kebanggaan jadi penganut Kristen, dan sebagainya.
Salah satu bukti, dua kali Istana Sisingamangaraja di Lumbanraja, Bakkara, dibakar tentara Belanda ( tahun 1878 dan 1883) karena informasi mata-mata orang yang tinggal dekat tempat itu, bahkan kabarnya tergolong kerabat. Begitu pula tempat pengungsian di Lontung, hingga beliau bersama pasukan dan keluarganya terpaksa hijrah ke Dairi. Raja Si Singamangaraja XII terpaksa melakukan perang gerilya dan akhirnya gugur karena selalu ada orang Batak yang menghianati, menjadi mata-mata tentara Belanda.
Lalu, sekarang, kalau Bius mau dihidupkan, bagaimana menghidupkannya. Wewenang apa yang bisa mereka miliki dalam konteks pemerintahan yang ada di negara kita saat ini?
Sayangnya, referensi dan literasi tenang Bius ini sangat jarang. Data tentang jumlah Bius dulu persisnya ada berapa, kita tidak tahu. Mungkin ada dalam laporan-laporan pemerintah kolonial Belanda di Negeri Belanda. Salah seorang ahli dari luar yang melakukan penelitian tentang Bius adalah Johann Angerler. Dia mempertahankan disertasinya di Leiden, tapi disertasinya dalam Bahasa Jerman.
Jadi, langkah pertama yang perlu dilakukan barangkali melakukan penelitian dan penyusunan data mengenai Bius, agar dipahami orang masa kini. Termasuk di sana untuk memperoleh gambaran pembanding dengan istilah Bius yang ada saat ini.
Lepas dari itu, kita seharusnya tetap ingat bahwa perjuangan Raja Si Singamangaraja XII adalah perjuangan mempertahankan jatidiri Bangso Batak sebagai masyarakat adat yang berdaulat. Agak sia-sia, kalau kita sendiri tak lagi tahu dan menghargai adat-istiadat Habatahon.
Penulis bekerja di Majalah Diffa, Politeknik (UI), LSM Edukasi Dasar, aktif di media sosial.