Agil Oktaryal*
PIRAMIDA.ID- Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau omnibus law Cipta Kerja telah resmi disahkan pemerintah bersama DPR pada 5 Oktober 2020. Tak hanya prosedur pembentukannya, mayoritas materi muatannya juga mengandung masalah.
Ini adalah proses legislasi buruk Dewan Perwakilan Rakyat yang kesekian kali, seperti halnya pengesahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), dan UU Mahkamah Konstitusi.
Mekanisme apa yang bisa digunakan untuk menjegal omnibus law Cipta Kerja agar tidak mengikat publik, merugikan buruh, merusak lingkungan, melegalkan korupsi investasi, dan tidak menjadikan presiden semakin kuat?
Dengan hukum yang tersedia hari ini, menggagalkan omnibus law Cipta Kerja hanya tersedia dua cara.
Pertama, mengajukan permohonan pengujian baik formil ataupun materil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, meminta presiden menggeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU Cipta Kerja.
Cara paling cepat adalah lewat Perppu, namun ini sangat tergantung Jokowi.
Peluang judicial review di Mahkamah Konstitusi
Mengajukan permohonan ke MK adalah jalur konstitusional yang disediakan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 apabila warga negara tidak setuju terhadap keberlakuan suatu undang-undang.
Jika melihat pada proses pembentukan UU Cipta kerja yang bermasalah pada tiga tahapan pembentukan undang-undang – yakni tahap perencanaan, penyusunan, dan pembahasan – rakyat bisa mengajukan pengujian formil UU Cipta Kerja ke MK.
Pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang yang tidak sejalan dengan konstitusi dan UU No. 12 tahun 2011 sebagaimana diubah UU No. 15 tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).
Keputusan uji formil dapat membatalkan UU Cipta Kerja secara keseluruhan.
Dalam proses pembahasan UU ini, DPR melakukan rapat di hotel mewah yang tidak bisa diakses publik. Dalam hal dokumentasi juga demikian; banyak sekali dokumen saat pembahasan tidak bisa diakses publik.
Padahal, Pasal 88 dan Pasal 96 UU PPP menghendaki adanya partisipasi publik dan keterbukaan dalam proses pembahasan.
Di tahap penyusunan, UU Cipta Kerja tidak melibatkan publik dan penyusunannya didominasi oleh pengusaha yang tergabung dalam satuan tugas UU Cipta Kerja.
Begitu juga ketika peralihan dari tahap penyusunan ke tahap pembahasan yang dilakukan melalui penerbitan Surat Presiden (surpres) yang dikirim ke DPR.
Surat ini diduga mengalami cacat formil karena dikeluarkan dengan tidak layak.
Berbagai kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi saat ini sedang menggugat keabsahan surpres itu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Jika PTUN Jakarta mengabulkan gugatan ini, tentu akan menambah bukti kuat bahwa telah terjadi pelanggaran formil saat penyusunan dan pembahasan UU Cipta Kerja dilakukan.
Selain memeriksa apakah prosedur pembuatan UU Cipta Kerja sesuai kaidah hukum, UU Cipta Kerja juga bisa diuji secara materil.
Pengujian materil adalah pengujian atas pasal, ayat, atau bagian dari UU Cipta Kerja yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan MK dapat membatalkan pasal, ayat, atau bagian undang-undang itu.
Seperti diketahui, UU Cipta Kerja banyak memuat pasal yang berpotensi bertentangan dengan UUD 1945.
Misalnya, ketentuan dalam BAB X tentang Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang menyatakan bahwa pengurus dan pegawai lembaga pengelola investasi tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata apabila terjadi kerugian keuangan negara saat melakukan investasi.
Ketentuan itu juga mengatur bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bisa diberlakukan atas lembaga ini dan pihak manapun termasuk penegak hukum tidak dapat menyita aset dari lembaga pengelolaa investasi.
Pengecualian-pengecualian seperti ini tentu bertentangan konstitusi sehingga dapat diminta pembatalan melalui pengujian materiil ke MK.
Meski UU Cipta Kerja jelas memiliki beragam persoalan, bertarung di MK hari ini tidak mudah.
Bulan lalu, DPR dan presiden telah memberi “hadiah” pada MK revisi UU MK berupa perpanjangan masa jabatan hakim MK hingga usia 70 tahun.
Ini diduga kuat diberikan sebagai bentuk gratifikasi legislasi yang dilakukan DPR bersama presiden kepada MK. Diduga, salah satu tujuan pemberian itu adalah agar UU Cipta Kerja tidak dibatalkan oleh MK jika nanti dilakukan pengujian ke MK.
Peluang penerbitan Perppu
Selain judicial review ke MK, mendesak Presiden menerbitkan Perppu adalah cara konstitusional yang efektif untuk membatalkan UU Cipta Kerja dengan cepat.
Adanya kegentingan yang memaksa sebagai syarat diterbitkannya Perppu sudah terpenuhi.
Gejolak penolakan yang meluas hampir di seluruh Indonesia dan aparat yang semakin represif mengancam kestabilan negara.
Ahli hukum asal Belanda, Van Dullemen, dalam bukunya Staatsnoodrecht en Democratie menyebut empat syarat hadirnya hukum darurat seperti Perppu yakni: eksistensi negara tergantung tindakan darurat; tindakan itu amat diperlukan dan tidak bisa digantikan dengan yang lain; bersifat sementara (berlaku sekali dalam waktu singkat untuk sekadar menormalkan keadaan); dan saat tindakan diambil, parlemen tidak dapat bersidang secara nyata dan bersungguh-sungguh.
Lebih lanjut Van Dullemen menekankan, pendekatan utama dalam mengeluarkan hukum darurat seperti Perppu ini adalah salus populi suprema lex (keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi).
Meski demikian, harus kita ingat bahwa UU Cipta Kerja adalah usulan presiden; sehingga peluang Jokowi mengeluarkan Perppu yang membatalkan tentu menjadi kecil.
Peluang legislative review
Selain dua cara tadi, terdapat alternatif lain untuk mengubah UU Cipta Kerja agar sesuai dengan tuntutan masyarakat, yakni melalui legislative review atau perubahan melalui jalur normal di DPR.
Untuk hal ini, masyarakat bisa mendesak Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) – yang menolak UU Cipta Kerja – untuk mengusulkan kembali UU Cipta Kerja diubah dengan cara memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2021.
Akan tetapi, peluang menggunakan cara ini dipastikan menemui jalan terjal.
Demokrat dan PKS adalah fraksi yang suaranya minoritas di parlemen. Fraksi lain yang dari awal sudah menyetujui UU Cipta Kerja bisa diperkirakan tidak akan mau lagi membahas.
Pilihan peluang
Dari beberapa peluang yang tersedia, menurut saya mendesak Jokowi mengeluarkan Perppu adalah cara paling tepat.
Penerbitan Perppu tidak membutuhkan waktu, tenaga, dan sumber daya yang banyak, apalagi kewenangan itu tunggal berada di tangan presiden.
Sebagai inisiator UU Cipta Kerja, Jokowi harus menunjukkan diri bahwa dia pemimpin bertanggung jawab.
Untuk itu, tuntutan publik harus diarahkan kepada Jokowi, karena hanya di tangan presiden omnibus law Cipta Kerja bisa dibatalkan dengan cepat.
Penulis merupakan peneliti dan pengajar di STH Indonesia Jentera. Artikel pertama kali dipublikasi untuk The Conversation.