Elia Anasthasia
PIRAMIDA.ID- Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada tahun 2020 ini menjadi refleksi penting bagi seluruh rakyat Indonesia.
Termasuk bagi kaum perempuan dan anak-anak, yang hingga kini nasibnya masih banyak dipertaruhkan. Betapa tidak, masih banyaknya angka kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, seakan menyandera kemerdekaan mereka.
Kemerdekaan merupakan wujud nyata meraih kendali sebuah kebebasan dari keterpenjaraan, di mana setiap individu maupun kelompok dapat hidup aman tanpa ada ancaman. Dalam rangka kemerdekaan RI yang ke-75 dengan suasana yang cukup berbeda, yaitu di tengah pandemi COVID-19 saat ini, tidak menyurutkan semangat kita atas gelora peringatan kemerdekaan bangsa ini.
Namun apakah sebuah kemerdekaan sudah cukup dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia saat ini, khususnya kaum perempuan dan anak?
Nicolaus Driyarkara mengatakan, bahwa merdeka itu harus punya kekuasaan untuk menguasai diri sendiri dan perbuatannya. Dan tentu saja, seseorang yang merdeka tak boleh menindas kemerdekaan subjek lainnya. Sebab, dibalik kemerdekaan diri sendiri ada kemerdekaan orang lain yang patut dihargai dan dihormati.
Bung Hatta juga pernah mengingatkan, bahwa kemerdekaan bukan hanya merdeka dari penjajahan, tetapi juga merdekanya setiap individu dan warga negara dari segala macam penindasan, eksploitasi dan penghisapan.
Permasalahannya adalah apakah perempuan Indonesia hari ini sudah menikmati kemerdekaannya?
Menurut beberapa referensi, Badrun dalam tulisannya mengenai persoalan perempuan mengatakan bahwa perempuan Indonesia belum punya kemerdekaan penuh atas tubuhnya sendiri.
Buktinya, sampai sekarang ini, tubuh perempuan masih menjadi objek eksploitasi dan sasaran kekerasan. Tentu menjadi perhatian kita bersama, bagaimana kondisi kaum perempuan dan anak bahkan kelompok rentan lainnya, yang hingga kini nasibnya masih dipertaruhkan. Melihat masih tingginya angka kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, tentu hal tersebut menjadi cerminan, bahwa masih menyandera kemerdekaan hidup mereka.
Menurut data CATAHU 2019 Komnas Perempuan, terdapat 406.178 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, serta pada CATAHU 2020 Komnas Perempuan terjadi peningkatan angka kasus kekerasan, tercatat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan.
Data kekerasan yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan tersebut, mengalami peningkatan tiap tahunnya. Jenis kekerasan yang terjadi pun semakin kompleks, dalam hal pola dan tingkat kekerasannya. Diantara kasus perkosaan inses, pencabulan, pelecehan seksual, kekerasan cyber, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran & pemaksaan aborsi.
Pada dewasa ini berbagai ancaman kekerasan tersebut, membuat perempuan dan anak, serta kelompok rentan lainnya masih dihantui bayang-bayang tindakan kekerasan seksual. Masih belum ada kejelasan payung hukum terhadap korban kekerasan seksual.
RUU PKS yang diusung oleh berbagai kalangan dan pergerakan perempuan justru dicabut dari daftar prolegnas 2020, di mana alasan wakil rakyat (DPR RI) untuk membahas RUU PKS ini cukup sulit.
Dicabutnya RUU PKS dari prolegnas 2020, jelas mendapat pertentangan dari berbagai kalangan. Dengan semangat pergerakan perempuan, serta dukungan dari berbagai kalangan yang memperjuangkan RUU PKS ini, sehingga DPR RI memasukkan kembali RUU PKS ke dalam prolegnas prioritas 2021.
Sejatinya, arti merdeka bagi perempuan dan anak bahkan kelompok rentan lainnya adalah terbebasnya dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, adapun RUU PKS ini harus terus didorong oleh segenap masyarakat Indonesia, hingga mendapat lampu hijau oleh DPR RI.
Kemudian bagaimana saat ini kita dapat meminimalisir angka kekerasan seksual yang hingga kini semakin meningkat ditengah pandemi? Menurut data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan mencatat, total kasus kekerasan terhadap perempuan selama pandemi sebanyak 14.719.
Maka dengan begini, tentunya kita perlu menanamkan bentuk kepedulian terhadap isu ini, dengan kita angkat bicara, apabila kita mengalaminya, ataupun melihat langsung, kita harus memberanikan diri melawan dengan tegas segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi, sembari kita juga mengedukasi generasi muda terkait isu ini.
Pada hari kemerdekaan Indonesia saat ini, tentu sangat relevan untuk dijadikan sebagai momentum agar terus melibatkan perempuan dan anak Indonesia dalam pembangunan bangsa.
Karena sejatinya kaum perempuan dan anak perlu dilibatkan, sebagai subjek pembangunan sehingga mereka bisa mendapatkan pendidikan yang tinggi, dan kehidupan yang layak dan tentunya hal tersebut dapat menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Mari bersama menyuarakan, bahwa sesungguhnya merdeka sejati itu bebas dari kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran. Semangat baru, menjadikan Indonesia lebih maju!
Stop kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dan tetap semangat mendorong pengesahan RUU PKS.
Penulis merupakan Mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Maritim Raja Ali Haji dan selaku Badan Pengurus Cabang GMKI Tanjungpinang periode 2019-2020.