Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Semalam ada senioren berulang tahun yang ke-60. Teman-teman secara normatif menyampaikan selamat ulang tahun dan semoga panjang umur. Saya turut menyampaikan selamat dan lengkap mengucapkan salam bahagia. Jarak usia saya dengan senioren itu ada tujuh tahun.
Waktu sarapan tadi pagi, kami satu meja. Saya sudah duluan selesai menyantap sarapan yang sedikit berat karena baru saja memberi penyegaran kepada teman-teman dengan beberapa gerak peregangan dan asana (pose yoga).
Saya juga sehari-hari sudah biasa sarapan dengan buah-buahan setelah melakukan model dan pola penyegaran serupa. Mengandalkan model dan pola itu untuk pelaku seni pertunjukan sering juga saya bagikan. Setidaknya untuk meningkatkan fokus dalam proses. Buktinya akan dialami oleh orang yang melakukannya dengan disiplin.
Senioren duduk menghadap piring berisi nasi goreng, potongan tomat dan ketimun serta telur yang dimata-sapi. Sedangkan minuman yang dipesan adalah teh manis hangat. Porsinya normal dibandingkan yang saya makan sebagai sarapan pagi kali ini. Kalau di lapangan saya tak masalah beradaptasi soal makanan yang kurang standar dengan diet saya.
Sambil memulai santapannya senioren saya ajak ngobrol terkait hari ulang tahun itu dan bertanya berapa tahun lagi diprogram jumlah usianya?
Pertanyaan itu bisa tidak wajar. Namun saya mencoba mengakui pertanyaan itu hanya ‘joke’ dengan mengingat kemungkinan-kemungkinan perkembangan sains kedokteran dan teknologi kesehatan terhadap pertambahan usia seseorang.
Selain itu faktor kebiasaan pribadi untuk memperhatikan kesehatan tubuh, saya kira dapat memperpanjang usia. Banyak orang terobsesi untuk awet muda, sekaligus terkait jumlah usia itu. Usia 60 tahun dibandingkan dengan awet muda belum terlalu mengejutkan kalau tidak kelihatan seperti usia 30 tahun.
Sebaliknya ada yang berusia 30 tahun kelihatan sudah tua; kulitnya kering, bahu mulai turun, punggung pun terlihat bongkok, dan gairah seperti orang linglung.
Senioren belum seperti itu. Sisa gantengnya masih tampak meskipun rambut minim sudah menjadi salah satu ciri khaanya. Wajahnya masih terlihat bercahaya, meskipun gigi tak lagi lengkap dan masih bisa asyik merokok.
Joke dari pertanyaan saya dianggap terkait dengan ramalan. Kelihatan menurutnya, seseorang sulit meramalkan jumlah usia ke depan. Namun seandainya ada 40 tahun lagi diberikan panjang usia senioren berarti hidupnya terhitung 100 tahun.
Adakah orang yang ingin usianya 100 tahun di masa modern ini? Saya kira ada. Beberapa dari yang ingin itu mungkin kebanyakan orang Jepang kalau tak fatal pernah berbuat salah secara sosial. Orang-orang jompo dan berusia tinggi di Eropa mungkin karena sistem layanan sains dan teknologi sudah sangat mendukung.
Dari satu buku yang ditulis Masashi Saito tentang indikator suhu tubuh bagi kesehatan dan daya tahan tubuh ada dicontohkan satu dua orang Jepang yang hidup lebih dari 100 tahun dan pernah dua kali mencapai puncak gunung Himalaya sewaktu berusia 100.
Mereka adalah penggemar olahraga ski. Namun itu terkait juga dengan kesehatan sel-sel di dalam organ tubuh. Manusia memiliki 60 triliun sel sejak lahir dan bisa mengalami kelainan dengan adanya penyakit kronis seperti kanker.
Orang-orang dulu punya usia panjang dan sering punya prediksi atas waktu kematiannya. Beberapa orang mungkin seperti para yogis yang meninggal secara indah dengan panas tubuh yang semakin hilang mulai dari ujung kaki dan berakhir di kepala.
Suhu normal manusia menurut Masashi Saito dihitung terendahnya 36.5 derajat Celsius dan tertinggi 37,1 derajat Celcius. Di bawah suhu normal terendah itu dianggap hipotermia dan rentan dengan berbagai penyakit. Ada orang punya suhu tubuh terendah 35 derajat Celsius, namun kalau mencapai 37 rentan dengan gangguan demam.
Cara menaikkan suhu tubuh ke standar normalnya adalah dengan penguatan otot, tidak harus memperbesar kalau juga tidak kuat. 70 persen otot digerakkan kalau berjalan kaki saja setiap pagi selama 20 menit. Lain lagi ceritanya dengan kesehatan melalui latihan pernafasan. Meroko di pagi hari bukan contoh baik dari latihan pernafasan.
Suhu tubuh dengan hipotermia berpengaruh ke daya tahan tubuh. Masashi mencatat turunnya 1 derajat dari suhu tubuh mengurangi 30 persen daya tahan tubuh. Namun kalau naik 1 persen dapat menaikkan daya tahan tubuh lebih banyak dari 30 persen. Indikator ini selalu mendorong tindakan medis kalau sesorang diuji dengan mengukur tubuh untuk menjelajahi diagnosa suatu penyakit.
Dengan suhu 37 juga bagi bersuhu tubuh normal bisa muncul demam dan nyeri, namun tidak perlu takut atau tak perlu harus minum obat antibiotik. Usia bersuhu normal kalau demam dan merasa nyeri di tubuh disarankan cukup berendam dengan air hangat dan istirahat. Air hangat sudah turut menormalkan tubuh dalam keadaan itu.
Saya tidak banyak ngobrol dengan senioren menyangkut bagaimana jumlah usianya ke depan. Malahan ada kepasrahan khusus di luar kemungkinan-kemungkinan sains yang masih terkait dengan keyakinan manusia atas entitas dan otoritas makro di luar dirinya.
Sejak kecil senioren mengaku disekolahkan orang tua dan waktu sekolah dasar selalu diarahkan belajar ekstra melalui ajaran agama. Meskipun tidak khatam lewat pengajaran agama senioren menegaskan kalau orang tua kita belum tentu mampu menjaga dan mendidik kita. Sedangkan melalui pendidikan kita bisa melakukan semacam filter atas berbagai pengalaman.
Kami mencoba ngobrol soal pengalaman, terutama dengan pengalaman tentang kearifan lokal. Saya menceritakan satu contoh dari cerita nenek saya atau ibu dari ibu saya yang tahu akan waktu kematiannya pada 1987, sewaktu saya mau testing ke perguruan tinggi. Saya tidak hadir waktu menjelang kematian dan proses pemakamannya.
Namun karena mendengar beberapa informasi dari ibu saya, satu judul cerpen pernah saya tulis dengan sumber inspirasinya dari situ. Cerpen itu dimuat di satu harian lokal di Medan dengan judul: Ompung. Dosen mata kuliah tertentu merasa tertegun setelah saya ceritakan latar belakang ide cerpen itu dari kehidupan dan menjelang kematian nenek saya. Meskipun tidak mencapai usia 100 tahun, saya kira nenek saya memberikan contoh tentang kearifan lokal.
Senioren saya berbalik dengan contoh kearifan lokal melalui pengobatan tradisional yang sangat bertolak belakang dengan pandangan agama-agama yang mengeser posisinya dengan mengandalkan cara medis yang sekarang.
Rupanya senioren pernah mengajarkan mata kuliah Antropologi Kesehatan dan menyinggung salah seorang mitra penelitiannya yang berasal dari marga Batak Toba (sudah almarhum). Dulu senioren saya sangka sebagai orang Sejarah dan ikut terlibat panitia Ordik atau orientasi pendidikan masa awal saya diterima di perguruan tinggi.
Sisa praktik pengobatan tradisional diceritakannya melalui contoh seorang yang berpenyakit kulit yang ditanam sampai batas kepala di dalam tanah, ditutupi dengan kulit kerbau yang disamak, dan dilengkapi dengan mantra. Sayang sekali katanya tak dilakukan pencatatan praktik pengobatan seperti itu hingga terbukti dapat sembuh.
Seorang temannya dokter malahan memberikan argumen sains yang terkandung dalam beberapa materi yang terlibat dalam proses penyembuhan itu. Termasuk unsur zat yang ada di dalam tanah dan dari kulit kerbau. Sementara kekuatan penyembuhan dari mantra tetap menjadi misteri dan hanya bisa menjadi sumber inspirasi bagi penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri.
Kami tidak dapat meneruskan obrolan kami karena tiba-tiba permisi mau ke belakang. Dari situ saya maklum kalau senioren mau buang air besar. Normalnya ke belakang untuk soal itu adalah sebelum makan.
Saya semakin sukses melakukannya setiap pagi sebelum sarapan dan beraktivitas dengan cara konsisten dengan sarapan buah, latihan penyegaran, dan belajar menghindari stres jasmani, psikis, dan lingkungan. Disiplin diri adalah salah satu untuk meningkatkan kesehatan diri meskipun tidak harus makan enak tiap hari.
Otak kita butuh oksigen dan nutrisi yang diantar melalui saluran darah yang lancar di arteri. Otak yang berada di bagian kepala tubuh bekerja untuk kebaikan bagian tubuh lainnya selain untuk daya ingat. Daya ingat terutama terjaga di otak belakang yang dinamai Hipokampus.
Yang tua bisa lupa kepada yang muda. Namun ada sejumlah orang yang sudah tua sehat daya ingatnya. Yang sudah kena alzheimer, parkinson, dementia, dan lupa akut dapat berulang-ulang menanyakan satu hal yang serupa.
Kepada beberapa orang saya beruang-ulang bertanya: berapa rencana panjang usiamu?
Tentu saya mengangkat pertanyaan itu dengan merujuk pada perkembangan alat bantu seperti sains, kearifan lokal, keyakinan pribadi, program anti-aging, kebiasaan pribadi, dan lain-lain.
Namun saya sedang berusaha agar di hari tua tidak mengidap semacam alzheimer. Kalau benar rekomendasi untuk menghindari alzheimer ke depan, maka seringlah berjalan jauh dengan mengendarai sepeda motor sambil menikmati lingkungan yang dilalui dengan kesadaran penuh.
Seorang bikhu pernah mencatat yang sesungguhnya waktu manusia berulang tahun kelahirannya berarti usianya berkurang satu tahun setiap tahun. Masalahnya berapa panjang usia seseorang sudah ditentukan? Siapa yang menentukan; dokter dengan prognosisnyakah, tukang ramal, pil yang dimakan para astronout, pribadi masing-masing, atau entitas seperti Tuhan atau Dewa?
Seandainya Anda berusia 30 tahun pada saat ini, apa program yang akan dilakukan kalau sudah tahu masih diberikan hidup untuk 40 tahun ke depan?
Pertanyaan ini anggap saja seperti semacam joke saya kepada senioren. Jawaban Anda merupakan sesuatu yang menarik yang bisa sebagai salah satu model kearifan lokal di zaman moderen.(*)
Penulis adalah Penerima Penghargaan Kebudayaan dari Kemendikbud RI pada September 2016 dan terlibat dalam Tim Kreatif Presiden untuk Acara Karnaval Kemerdekaan Danau Toba pada Agustus 2016.