Alboin Samosir*
PIRAMIDA.ID- Peringatan detik-detik proklamasi adalah momentum yang selalu ditunggu setiap tahunnya, di mana kita berkumpul untuk merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Kemerdekaan ini tidak terlepas dari perjalanan panjang yang ditempuh oleh para founding fathers kita yang telah mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk sebuah kemerdekaan.
Cita-cita proklamasi pun dikumandangkan dengan harapan lahirnya Indonesia yang betul-betul lepas dari belenggu kolonialisme dan imperealisme.
Cita-cita tersebut diejahwantahkan dalam preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Di mana dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar dikatakan, “..dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
75 tahun sudah kita merdeka, namun benarkah perjuangan kemerdekaan itu telah sampai kepada saat yang berbahagia? Benarkah kemerdekaan itu telah mengantarkan rakyat Indonesia menjadi manusia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur?
Terlebih jika disematkan dengan problema kebangsaan akhir-akhir ini, terkhusus kepada pengelolaan agraria (sumber daya alam) yang terdapat di Indonesia.
Terkait dengan pengelolan agraria (sumber daya alam), dalam amanat konstitusi, sangat eksplisit dijelaskan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” (Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945)
Amanah tersebut juga turut diderivasi dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 ditengarai adanya cita-cita bersama untuk menjawab ketidakadilan struktur agraria pada era kolonial Belanda melalui prinsip domain verklaring dan Agrarische Wet tahun 1870.
Tentunya dengan harapan mampu menasionalisasi seluruh aset-aset yang dikuasai Belanda dan menata ulang struktur penguasaan agraria di Indonesia dengan tujuan mampu menciptakan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Hal ini sering disebut dengan reforma agraria.
Apabila kita merujuk pada peraturan perundang-undangan, adapun yang menjadi tujuan reforma agraria adalah mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan, menangani sengketa dan konflik agraria, menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agrarian melalui pengaturan, penguasaan, penggunaan, dan kemanfaatan tanah, menciptakan lapangan pekerjaan untuk mengurai kemiskinan, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi, meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan, serta memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
Lantas, bagaimana dengan agenda reforma agraria hari ini? Sudah sejauh mana keseriusan pemerintah untuk menuntaskan reforma agraria? 75 tahun sudah rakyat menanti jawaban tersebut.
Apabila kita berkaca dari serangkain kejadian dan kebijakan pemerintah, terdapat ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola agraria dan keberpihakannya yang setengah hati kepada rakyatnya.
Preferensi negara pada pengelolaan agraria (sumber daya alam) pada perusahaan-perusahaan besar sudah diperlihatkan sejak tahun 1967. Hal ini ditunjukkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Diteruskan dengan kebijakan-kebijakannya yang mengeliminir penggunaan tanah oleh rakyat.
Merujuk pada hal di atas, negara lebih memilih sumber agraria sebagai sumber komoditas dibandingkan keberadaan sosial-kultural masyarakat yang berada di sektor-sektor agraria tersebut. Maka tak ayal, dampak dari semua ini justru melahirkan konflik agraria di berbagai daerah.
Konflik agraria secara sederhana dapat disimpulkan adanya pertentangan terkait dengan penguasaan lahan atau tanah. Konflik ini sering sekali melibatkan masyarakat, negara, dan pihak lainnya seperti pengusaha (koorporasi) yang bergerak di bidang agraria.
Kejadian yang berkaitan dengan konflik ini, seperti penangkapan petani, demonstrasi petani, kriminalisasi, gugatan masyarakat adat, dan lain sebagainya.
Dan sering sekali konflik agraria berakibat kepada beberapa hal, salah satunya, yakni land reclaiming atau salah satu upaya pengambil-alihan lahan milik perusahaan perkebunan ataupun kehutanan, baik milik swasta maupun milik negara.
Terkait dengan konflik agraria, Konsorium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2019 terdapat 279 letusan konflik, dengan luas wilayah mencapai 734. 239, 3 Hektar, didominasi oleh perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, jumlah masyarakat terdampak 109 ribu masyarakat dengan penyebaran 420 desa.
Dan interval waktu 2015-2018, terjadi konflik agraria berkisar 1700-an kasus. Konflik agraria ini sering sekali melibatkan aparat, baik TNI maupun polisi, dan di beberapa daerah brutalisme aparat tak dapat dinafikkan.
Masih dalam catatan KPA, sejak kepemimpinan Joko Widodo, konflik agraria mengakibatkan sedikitnya 41 orang tewas, 546 dianiaya, dan 940 petani dan aktivis dikriminalisasi.
Sayangnya, dalam banyak konflik agraria yang muncul, masyarakat sering kali tidak dapat mempertahankan hak-haknya karena berhadapan dengan kekuatan legal formil yang dimiliki oleh pemilik modal dan pemerintah. Penggunaan tanah untuk kepentingan umum selalu saja menjadi alasan klise untuk melegitimasi perampasan atas tanah. Rakyat selalu dibuat tak berdaya.
Terkait dengan penguasaan lahan, WALHI mencatat, terjadi penguasaan besar-besaran atas sumber agraria. Sebesar 71% dikuasai oleh perusahaan kehutanan; 16% dikuasai oleh perusahaan perkebunan; 7% dikuasai oleh golongan kaya, dan sisanya masyarakat miskin. Dampaknya, 10% orang terkaya menguasai 77% kekayaan nasional.
Mandeknya reforma agraria merupakan akar dari permasalahan ini. Reforma agraria tidak pernah dijalankan dengan sepenuh hati dan dalam implementasinya masih parsial.
Reforma agraria masih saja hanya diterjemahkan pada legalisasi tanah, di mana hal ini hanya menguntungkan segelintir orang saja.
Reforma agraria hanya diterjemahkan sebatas legalisasi.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) terdapat perbedaan yang cukup signifikan terkait dengan legalisasi aset dengat redistribusi. WALHI mencatat, legalisasi aset mencapai 508.391, 11 hektar, sedangkan redistribusi aset seluas 187.036 hektare.
Ketimpangan ini yang pada akhirnya menjadi embrio lahirnya konflik agraria karena sampai hari ini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum memiliki tanah untuk dikelola seperti petani, gurem, landless, buruh tani, dan lain sebagainya.
Mandeknya reforma agraria, menurut Noer Fauzi Rachman, “Dikarenakan penanganan konflik agraria belum menyentuh akar konflik dan masih terjebak dalam sektoralisme agraria. Selain itu, dalam implementasinya masih marak terjadi proses korupsi dan nepotisme.”
Karenanya, dalam penyelesain reforma agraria, negara harus melakukan pendekatan secara holistif dan komprehensif, meningkatkan kapasitas kelembagaan dangan menambahkan fungsi-fungsi penanganan dan penyelesaian reforma agraria.
Dan yang terpenting, presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan harus menjadi leading sector dalam penuntusan reforma agraria sekaligus merealisasikan Perpres Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Terakhir, penulis ingin mengutip pendapat Karl Polanyi, yang mengatakan, “Bahwa tanah atau lebih luasnya alam sesungguhnya bukanlah barang komoditas atau barang dagangan. Tanah sepenuhnya melekat dengan relasi sosial. Dengan memisahkannya dengan relasi sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang mengahncurkan sendi-sendi keberlanjutan masyarakat.”
Dirgahayu Republik Indonesia yang ke-75. Semoga agenda reforma agraria sejati dapat dijalankan dengan baik dan sepenuh hati. Sebab tak ada yang sungguh mulia, bila tidak meletakkan kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Semoga!
Penulis merupakan Ketua Lembaga Agraria dan Kemaritiman PP PMKRI periode 2020-2022