PIRAMIDA.ID- Abdoel Rivai dikenal sebagai salah satu yang pertama kali menuntaskan pendidikan di Eropa dari kalangan bumiputra. Usahanya mengenyam sekolah kedokteran itu bukan tanpa halangan, dia tidak mendapatkan izin dari Gubernur Jendral Hindia Belanda Rooseboom hingga 1904, meski sudah berada di Belanda.
Selama menunggu, dia mendirikan surat kabar Pewarta Wolanda yang mengenalkan negeri Hindia pada orang-orang Belanda di Eropa. Kemudian, bersama letnan KNIL H.C.C Clockener Brousson, membuat Surat Chabar Soldadoe, Bandera Wolanda, dan Bintang Hindia yang silih ganti terbit dan tutup.
Tiga media itu banyak memuat isi pemikiran mereka berdua yang tidak kalah kontroversial di kalangan pejabat Hindia Belanda dan mengkritik agamawan Katolik dan kelompok intoleran Islam. Hingga akhirnya, mereka berpisah ketika munculnya gagasan kebangsaan Rivai.
Ketika dia pulang ke Hindia Belanda 1910 setelah menikahi Bertha Anne Rautenberg. Sedikit yang diketahui apa yang diketahui tentang Abdoel Rivai setelah kepulangannya. Tetapi, beberapa dokumen Belanda dan Indonesia menunjukkan dia pernah bekerja untuk rumah sakit militer di Cimahi, setelah pindah ke Bandung dari Batavia.
Jurnalis Historiek Ronald Frisart mendapati bahwa setidaknya pernah ada janji pasien untuknya sebagai dokter militer di Padang, Sumatra Barat, dan beberapa laporan pergi ke Eropa.
“Sebagai contoh, di London ia mempelajari penyakit wakta untuk sementara waktu dan ia dikatakan telah tinggal di Berlin untuk sementara waktu,” tulisnya. “Kami juga mendapatkannya lagi di daftar penduduk Amsterdam (di Katstanjeweg 11, di mana ia pertama kali terdaftar pada tahun 1900).”
Mengutip Kamus Sejarah Indonesia Jilid I, Abdoel Rivai pernah mengambil bagian di pergerakan nasional dengan mendirikan cabang Indische Partij di Sumatra. Tetapi, karena organisasi yang didirikan tiga serangkai ini terlalu keras, dibubarkan paksa oleh pemerintah pada 1913. Sehingga, Rivai melanjutkan perjuangannya di Insulinde, organisasi penerus Indische Partij.
Keterlibatannya di Insulinde inilah yang membuatnya menjadi anggota Volksraad yang baru didirikan sebagai lembaga legislatif di negeri koloni. Dia menjadi anggota sejak 1918 hingga 1925.
Walau lembaga legislatif ini terbatas, Volksraad bisa jadi ajang penasehat yang terkadang dipenuhi debat politik untuk kebijakan pemerintah Hindia. Frisart pun menemui berkas yang berisi perdebatan dan kritik keras Rivai saat menjabat di Volksraad tentang pendanaan armada kapal perang. Rivai mengkritik bahwa pendanaan itu akan menyebabkan kehancuran ekonomi dan kemanusiaan.
Uang yang dihasilkan dari memerah rakyat jajahan digunakan membeli senjata yang akan digunakan menghancurkan bangsa penduduk asli di Hindia “yang menunjukkan tanda-tanda awal untuk bangkit kembali setelah berabad-abad eksploitasi untuk kebutuhan kekayaan Eropa,” ujar Rivai. Menurut Frisart, ujaran itu sangat pedas terutama ketika munculnya nasionalisme di Hindia Belanda.
Seusai pemberontakan PKI pada 1926-1927 di Banten dan Sumatra Barat, Centrale Inlichtingendienst (CID) atau lembaga intelegen milik Belanda melaporkan adanya rencana berbahaya pegerakan nasionalis-komunis Indonesia dari Perhimpoenan Indonesia.
Dikabarkan, ada pertemuan pergerakan politik dari Belanda dan Indonesia pada 1292 di Berlin, Jerman. Di antara perwakilan itu ada Mohammad Hatta yang merupakan anarkis dari Perhimpunan Indonesia, dan menyertakan Abdoel Rivai.
“Gerakan ini tidak dimpimpin dari Moskow, tetapi dari Berlin, oleh anggota komunis Jerman Reichstag Willy Münzenberg, yang dibantu oleh Dr. Rivai dan Mohamed Hatta,” tulis laporan itu, tetapi Frisart skeptis pada pernyataan itu.
“Rivai dan Hatta di tempat komunis? Kedengarannya tidak terlalu mungkin. Nyatanya, tidak ada pemberontakan komunis di Hindia pada tahun 1929,” tulisnya.
Meski demikian, hubungan Rivai dengan Hatta betul adanya. Diketahui, ketika dia sempat menetap di Belanda, ia pernah menjadi mentor untuk beberapa pemuda Indonesia yang kelak menjadi tokoh pergerakan seperti Mohammad Hatta dan Ali Sastroamidjojo, yang sedang studi di sana.
Rivai baru kembali ke tanah air pada 1932 di Batavia. Dia memiliki penyakit yang perlahan memakan fisiknya yang kian menua. Masa tuanya diisi dengan membuka praktik pengobatan di Tanah Abang, kemudian menyendiri di Bandung hingga wafat pada 16 Oktober 1937 pada usia 66 tahun.(*)
National Geographic Indonesia