PIRAMIDA.ID- Kemaharajaan Romawi yang berkuasa berabad-abad akhirnya terbagi dua, antara barat dan timur (Byzantium) sejak 395 Masehi. Pembagian ini diputuskan oleh kaisar Diocletianus yang melihat bahwa Romawi yang luas membuat sulit untuk dikontrol dan dilindungi.
Namun, pertempuran di Adrianopel (kini Edirne) menjadi tonggak utama pecahnya adikuasa tersebut. Pertempuran ini pun menjadi motivasi bangsa Jermanik (Goth) di kemudian hari untuk menghancurkan Romawi Barat.
Sejarawan Inggris, Simon MacDowall menulis dalam Adrianople AD 378: The Goths Crush Rome’s Legion’s, bahwa pertempuran ini bermula saat suku Tervingi dan Greuthungi, salah dua bangsa Goth, diinvasi oleh bangsa Hun yang berasal dari Asia Tengah. Sehingga mereka harus menyeberangi sungai Danube dan masuk ke daerah kekuasaan Romawi.
Pada 376, Kekaisaran Romawi mengizinkan mereka untuk tinggal di tanahnya, dengan syarat mereka harus ikut membela kemaharajaan tersebut.
Sejarawan perang, Rupert Bulter bersama timnya menulis dalam Perang yang Mengubah Sejarah, Buku Pertama: dari Pertempuran Megiddo (1457 SM) hingga Bleinheim (1704), “Namun para pembuat kebijakan Romawi semakin khawatir dengan kehadiran sebuah suku Jermanik di kekaisaran, dan para pejabat lokal membuat keadaan lebih buruk karena membuat tuntutan sewenang-wenang terhadap para pengungsi”
Ammianus Marcellinus, seorang perwira dan sejarawan di era Romawi, menuliskan bahwa kekaisaran menuntut anak-anak bangsa Goth untuk dijadikan budak dengan imbalan anjing mati sebagai makanan.
Kebijakan eksploitatif tersebut mengundang perlawanan dari suku Goth, melalui insiden di Marcianople (kini bagian dari Bulgaria) di tahun yang sama. Perlawanan tersebut mengakibatkan provinsi Thrace, yang kini menjadi bagian Bulgaria, Yunani bagian Barat, dan bagian Eropa dari Turki, di bawah pengaruh bangsa Goth. Insiden itu menjadi keuntungan bagi bangsa Goth, mereka melucuti senjata-senjata tentara Romawi untuk melakukan perlawanan kembali.
Dengan perlawanan bangsa Goth ini, situasi Romawi makin rumit dan fokusnya yang kemana-mana. Terlebih pasukan Romawi di provinsi Thrace terkurung, dan sebagian yang berasal dari bangsa Goth ikut bergabung dengan perlawanan.
“Valens dengan pasukan utama sedang berada di timur untuk menghadapi Persia, sedangkan Gratian yang memimpin pasukan utama barat bertempur dengan Alamanni di sepanjang sungai Rhine,” terang MacDowall.
Sebagai penanganan atas konflik di dalam kekuasaan Romawi tersebut, pemimpin Romawi bagian Timur, Valens menarik sebagian pasukannya dari perang, menyisakan banyak pasukan di timur kekaisaran, dan membuat perjanjian damai dengan Persia. Ia juga turut mengajak Gratian dan pasukannya untuk ikut bergabung menyerang pasukan Goth yang mulai mendekati Adrianopel.
Menurut Ammianus yang dikutip Butler, Gratian dari Romawi Barat tak kunjung tiba dan hanya mengirimkan pasukan kecil yang membuat kandas harapan Valens. Akibatnya pertempuran yang rencananya jatuh pada 9 Agustus, mau tak mau harus dilakukan meskipun moral pasukan Romawi merosot.
Hari pertempuran pun tiba, pasukan Romawi berbaris sekitar tiga kilometer dari kubu lawan di Adrianopel. Pasukan Goth langsung membuat posisi melingkar, dan pasukan yang dipimpin Fritigern ditempatkan di punggung bukit.
Ammianus dalam catatannya, dikutip oleh MacDowell menuliskan, “Orang-orang bergegas ke pos mereka dan berdiri teguh; tidak ada yang tidak patuh atau meninggalkan barisan untuk membuat serangan mendadak.”
Untuk meningkatkan moral mereka kembali, prajurit Romawi mengeluarkan teriakan dan raungan keras, dan memulai pertempuran dengan saling lempar lembing dan senjata jarak jauh. Sedangkan lawan segera membuat formasi kura-kura yang lazimnya digunakan oleh prajurit Romawi.
“Bangsa barbar yang selalu waspada dan gesit… menerobos sayap kiri kita,” terang Ammianus. “Ini memberi jalan, tetapi pasukan cadangan yang kuat membuat serangan yang sengit dari dekat dan menyelamatkan orang-orang kami dari mulut kematian.”
Ketika kavaleri Romawi mendesak mundur prajurit Goth hingga ke lingkaran pusat yang berisi gerobak dan masyarakat sipil mereka, ternyata datanglah kelompok bantuan untuk bangsa Goth. Isinya beranggotakan orang Hun dan Alan yang kebanyakan berkuda, dan segera memporakporandakan prajurit Romawi.
Banyak prajurit Romawi yang berusaha melarikan diri, tetapi dihabisi oleh kaveleri Goth. Prajurit Romawi berusaha untuk memanggil pasukan cadangan, tapi pasukan tersebut ternyata lebih dulu melarikan diri.
Tersisa bersama sekitar 2 ribu prajurit yang gigih hingga titik darah penghabisan, kaisar Valens pun gugur.
Menurut Butler dan tim, terdapat dua laporan mengenai kematian Valens. Pertama, kaisar Romawi Timur tersebut tewas terpanah dan jenazahnya tidak pernah ditemukan. Laporan kedua terluka dan dibawa ke suatu rumah, kemudian sekelompok orang Goth menyerang mereka lalu membakarnya.
Sehari setelah pertempuran, bangsa Goth gagal menerobos masuk Adrianopel dan berpindah menjarah kota Thrace.
Di Konstantinopel, Theodisus I menggantikan Valens, dan segera bergandengan dengan Gratian di Barat untuk mengalahkan orang Goth. Meskipun Romawi selalu gagal, orang Goth sendiri juga tak bisa mengalahkan Romawi dalam pertempuran penting lainnya, sehingga kedua belah pihak membangun perjanjian yang sama seperti perjanjian 376.
Butler dan tim menilai pertempuran ini menjadikan orang Goth bukanlah bangsa yang remeh di medan laga. Mereka semakin berani menuntut Romawi, baik di Barat maupun Timur.
Perjanjian yang masih sama itu pulalah, menurut Butler dan timnya, kelak membawa mereka menjarah kota Roma pada 410, membuat kekaisaran Romawi Barat runtuh.(*)
Source: National Geographic.