PIRAMIDA.ID- Konstitusi Indonesia tidak memberi batasan dalam hal agama bagi seseorang untuk menjadi Calon Presiden (Capres) atau Calon Wakil Presiden (Cawapres). Namun dalam sejarahnya, belum pernah ada presiden ataupun wakilnya yang bukan muslim.
Dalam survei yang dilakukan Indonesian Presidential Studies (IPS), agama seorang Capres maupun Cawapres sebenarnya tidak menjadi faktor utama dari deretan alasan pemilih menentukan pilihan. Setidaknya, survei pada September 2020 dan Mei 2021, menggambarkan situasi tersebut. Namun, partai politik justru tidak berani mengambil sikap berbeda, dengan mencalonkan nonmuslim dalam bursa pemilihan presiden.
Direktur Eksekutif IPS, Nyarwi Ahmad Ph.D, menilai elit partai politik Indonesia mungkin masih mempertimbangkan fakta, bahwa mayoritas pemilih di Indonesia adalah muslim. Selain itu, ada juga faktor sikap pemilih muslim itu sendiri.
“Dugaan saya, ini yang menjadikan para elit partai politik belum ada keberanian, padahal secara konstitusi terbuka, untuk mencalonkan sosok pasangan Capres dan Cawapres dengan latar belakang dari agama minoritas, yaitu nonmuslim,” kata Nyarwi dalam diskusi peluang nonmuslim maju dalam Pilpres 2024, Jumat (25/6).
Dalam survei IPS, 80 persen pemilih beragama Budha menyatakan bahwa mereka terpengaruh faktor agama dari pasangan ketika menentukan pilihannya. Sedangkan di kalangan muslim, mereka yang memandang agama penting ketika memilih adalah 67,8 persen, diikuti Protestan 21,5 persen, sedangkan Katolik dan Hindu, masing-masing 9,1 persen.
Namun ketika agama ditempatkan hanya sebagai salah satu variabel pilihan, dalam survei IPS terbukti bahwa sebenarnya pemilih Indonesia tidak menempatkan agama Capres-Cawapres sebagai faktor utama. Jika diminta memilih, mayoritas pemilih masih menempatkan program kerja dan figur pasangan calon di atas faktor agama.
Perlu Kerja Bersama
Wakil Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya tidak mau menempatkan partai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terkait apa yang saat ini terjadi.
“Jangan disalahkan partai karena partai dilahirkan memang untuk alat menang. Kita sama-sama kerja. Apa pekerjaan kita? Membangun instrumen hegemoninya, membangun narasinya,” kata Willy.
Yang disebut membangun narasi oleh Willy adalah proses panjang memupuk kesadaran masyarakat terkait iklim politik. Dia memberi contoh, apa yang terjadi dalam sistem politik Amerika Serikat saat ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba saja. Dalam kehidupan sehari-hari, sebagian pihak membangun narasi untuk memasukkan ide-ide persamaan hak dalam politik. Misalnya dalam film, baik layar lebar maupun kartun di televisi, yang menggambarkan adanya seorang presiden kulit hitam atau presiden perempuan dalam ceritanya.
Kemunculan Kennedy yang Katolik di tengah pemilih Kristen, atau terpilihnya Obama dalam mayoritas pemilih kulit putih, beber Willy, adalah hasil dalam membangun narasi panjang di tengah masyarakat itu.
“Hari ini kita masih terjebak dalam angka-angka. Jangankan hanya Islam dan non-Islam, antara Jawa dan non-Jawa saja masih besar. Karena kita masih hidup dalam jebakan Batman, terjebak dalam kemalasan berpikir dan bertindak, tidak membangun kerangkanya bersama-sama,” ujar Willy.
Sementara Wakil Sekjend DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Idy Muzayyad, menilai memang ada dua hal kondisi yang tidak menyambung, antara realitas politik dan konstitusi.
Meskipun selama ini PPP sering dianggap sebagai partai eksklusif dalam konteks keagamaan Islam, tetapi Idy memastikan kenyataannya tidak demikian. Setidaknya itu tergambar pada pilihan partai berlogo Kabah itu, ketika memutuskan untuk mendukung Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2018. Setelah Ahok kalah, dalam pemilihan legislatif 2019 para pemilih setia mereka di Jakarta memberikan hukuman berat atas sikap partai.
“Kita kemudian memiliki kursi di DPRD hanya satu, dari yang sebelumnya sepuluh. Jadi nolnya menggelinding,” kata Idy.
Padahal dalam kenyataannya, di daerah lain PPP juga pernah mendukung calon kepala daerah nonmuslim. Bahkan di beberapa daerah yang masyarakatnya mayoritas nonmmuslim, PPP juga memiliki pengurus partai yang tidak beragama Islam. Dalam pemilihan calon anggota legislatif, ada pula sejumlah nama dari kalangan nonmuslim yang mereka calonkan dan berhasil terpilih. Karena itu, meski menyebut apa yang terjadi di Jakarta sebagai sebuah anomali, Idy menilai realitas bahwa belum ada kesinambungan antara konstitusi dan realitas pemilih harus diakui.
Tantangan Banyak Negara
Ketua Forum Koordinasi Lintas Fakultas Alumni Universitas Indonesia (Fokal UI) Pande K Trimayuni menyebut, selain agama, etnis adalah faktor penting dalam politik Indonesia. Bahkan dia menilai, pertimbangan etnis kadang lebih dominan dibanding soal agama. Dia mengingatkan, kondisi ini bukan khas terjadi di Indonesia, tetapi di mayoritas negara di dunia.
“Ini bukan tantangan khas Indonesia, tetapi juga di banyak belahan dunia juga berlangsung,” kata Pande.
Tantangannya adalah memperbanyak perbincangan terkait agama dan etnis dalam politik, sehingga muncul paradigma baru di masyarakat. Dalam skala wilayah yang berbeda, pemimpin yang menganut agama berbeda atau berasal dari etnis berbeda dengan pemilihnya terbukti bisa dipilih. Meski Indonesia adalah negara dengan penganut Islam terbesar di dunia, kata Pande, bukan tidak mungkin idealisme itu juga bisa diterapkan di sini. Salah satu pintu masuk yang bisa dipakai adalah dasar negara, yaitu Pancasila.(*)
VOA Indonesia