Oleh: Dini Ayu Lestari Simangunsong*
PIRAMIDA.ID- Undang-undang dan hukum tidak bisa dilepaskan atau dipisahkan walaupun keduanya ini tidak sama, ada perebedaan yang jelas antara undang-undang dan hukum. Menurut Buys, undang- undang memiliki dua arti:
Yang pertama, undang-undang dalam arti formal ialah keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya dibuat pemerintah bersama dengan DPR. Sedangkan yang kedua, Undang-undang adalah setiap putusan pemerintah yang menurut isinya mengikat setiap penduduk atau orang.
Tujuan utama undang-undang bukan untuk menghukum walaupun biasanya bila orang melanggar undang-undang, mereka harus dihukum. UU merupakan peraturan yg dibuat untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara.
Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya. Dalam masyarakat moden sekarang, undang-undang mempunyai pengertian yang semakin kompleks kerana fahaman undang-undang memang tidak statik.
Undang-Undang Cipta Kerja merupakan upaya dari pemerintah dalam penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan, usaha mikro, kecil, dan menengah peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha, dan investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Undang-undang Cipta kerja ini merupakan rancangan dari usulan Presiden Joko Widodo dimana ada tiga hal yang disasar pemerintah Joko Widodo melalui Omnimbus Law, yakni Undang-Undang Perpajakan, Cipta Kerja, dan Pemberdayaan UMKM.
Omnibus Law adalah langkah dalam menerbitkan satu undang-undang dimana dapat memperbaiki sekian banyaknya undang-undang yang selama ini ada timpang tindih dan dapat menghambat proses dalam kemudahan berusaha. Saat undang- undang yang baru diterbitkan diharapkan dapat memperbaiki segala hal seperti dalam permasalahan di sektor ekonomi.
Seperti yang diketahui, Omnimbus Law sudah terjadi di tahun 2020 dimana aksi puncak demonya terjadi di bulan Oktober dan November. Aksi ini tidak hanya dari kaum buruh saja, tetapi banyak aksi demo yang dilakukan oleh hampir seluruh mahasiswa dan buruh di Indonesia. Banyak mahasiswa dan buruh yang menolak tentang UU Cipta Kerja ini.
Adapun alasan-alasan ditolaknya UU Cipta Kerja ini adalah:
1. Sistem Kerja Kontrak Tanpa Batas Waktu
Buruh menolak skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dihapus batas waktunya. Inilah yang membuat para buruh bisa saja dikontrak seumur hidup tanpa menjadi karyawan tetap.
2. Praktik Outsourcing meluas
Menurut UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi. Sedangkan dalam UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian, yang berakibat praktik outsourcing ini diprediksi semakin meluas. Selain itu juga UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan perlindungan pekerja pada perusahaan penyedia jasa atau vendor lain. Akibatnya, peluang agar hubungan kerja pekerja outsoucing beralih ke perusahaan pemberi kerja makin kecil.
3. Waktu kerja eksploitatif
Berdasarkan UU Cipta Kerja diatur lebih fleksibel untuk pekerjaan paruh waktu menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sedangkan untuk pekerjaan khusus seperti di sektor migas, pertambangan, perkebenunan, pertanian dan perikanan dapat melebihi 8 jam per hari. Buruh pun menolak jam kerja yang eksploitatif.
4. Berkurangnya hak cuti dan istirahat
Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam seminggu. Tetapi malah pengusaha tidak memiliki kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam seminggu.
Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur. Selain itu UU Cipta Kerja juga malah menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.
5. Sewa alami PHK
Pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan bhawa buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PKH karena sakit melebihi 12 bulan. Namun ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.
Jika dilihat dari sudut pandang teori sosiologi konflik Lewis Cosser, Lewis Cosser membedakan konflik menjadi 2 yaitu konflik realistis dan konflik non-realistis.
Dari aksi demo ini bisa dihubungkan dengan teori konflik Lewis Cosser, di mana konflik realistis adalah konflik yang berasal karena adanya kekecewaan dari individu atau kelompok masyarakat terhadap sistem dan tuntutan-tuntutan yang ada pada hubungan sosial.
Dan dari sini bisa dihubungkan dengan aksi demo yang dilakukan para mahasiswa dan buruh, dimana para mahasiswa dan buruh sangat kecewa dengan peraturan UU Cipta Kerja (Omnisbus Law) yang bisa mengakibatkan kerugian terhadap buruh dan itu juga dapat berdampak buruk ke mahasiswa jika bekerja nanti. Inilah yang mendorong para mahasiswa dan buruh berunjuk emosional dengan melakukan demo terhadap pemerintah.
Sedangkat menurut Ralf Dahrendorf beramsusi bahwa masyarakat tunduk terhadap proses perubahan. Ralf Dahrendorf menyimpulkan bahwa konflik itu terjadi karena adanya relasi-relasi sosial dalam sebuah sistem. Menurut Ralf Dahrendorf, masyarakat itu memiliki dua wajah yaitu konflik dan konsensus yang disebut dengan Teori Konflik Dialektika.
Konflik ini menyimpulkan bahwa terdapat pertentangan antara pemilik kekuasaan dengan orang-orang tidak berkuasa dimana keduanya memiliki perbedaan kepentingan. Dimana yang berkuasa ingin mempertahankan suatu status dan yang dikuasai ingin adanya perubahan.
Hal ini bisa dilihat dari para mahasiswa dan buruh yang ingin adanya perubahan terhadap UU Cipta Kerja (Omnimbus Law).
Penyebab dari Omnimbus Law UU Cipta Kerja ini salah satunya adalah kurang nya komunikasi antarsesama. Konflik Omnimbus Law ini terjadi karena adanya kabar hoaks yang ada di media sosial. Banyak kesalahan informasi yang disampaikan dalam tulisan yang mengakibatkan dapat menyulut aksi demo. Karena setelah diperiksa oleh Kemnaker, banyak informasi yang keliru, tetapi sayang banyak yang tidak mengakses ataupun mengecek semua kebenarannya. Bisa dilihat dari kacamata teori konflik sosiologi, hal ini termasuk kurangnya komunikasi di kedua belah pihak secara intens.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa UMRAH Angkatan 2020.