Roberto Duma Buladja*
PIRAMIDA.ID- Mampukah aktivis gerakan mahasiswa menjadi presiden? Sebuah tema menarik dalam Zoominar yang digelar oleh Indonesian Presidential Studies (IPS) pada Jumat, 30 April 2021. Tema dalam bentuk pertanyaan ini begitu ramai didiskusikan oleh para aktivis mahasiswa Kelompok Cipayung (KC) yang adalah narasumber utama dalam kegiatan tersebut. Bentuk ketertarikan itulah juga yang kemudian menggiring penulis untuk menelaah lebih jauh serta menuliskannya.
Bila menilik profil Presiden Indonesia dari masa ke masa, hanya Presiden Soekarno yang terbilang memiliki latar belakang seorang aktivis pergerakan. Selebihnya diisi oleh orang-orang dari unsur militer, pengusaha dan profesional. Bahkan pada posisi Wakil Presiden hanya beberapa nama saja dari kalangan aktivisme gerakan mahasiswa, seperti Mohamad Hatta dan yang terakhir Jusuf Kalla.
Padahal, bila ditelusuri secara historis, aktivis mahasiswa pergerakan selalu menjadi pionir penggerak perubahan. Mulai dari era pergolakan revolusi kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, serta reformasi. Para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Leimena, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, Mohammad Yamin dan lainnya adalah para tokoh ternama yang terlahir dan ditempa dalam aktivisme gerakan mahasiswa. Dari merekalah tercipta imajinasi dan visi membangun tatanan ideal bernegara serta peranan sentral dalam memerdekakan Indonesia.
Kondisi-Kondisi Sosial-Politik
Sekurang-kurangnya ada dua kondisi sosial-politik yang memengaruhi para aktivis mahasiswa enggan mencapai pucuk kepemimpinan politik nasional. Pertama, transisi Orde Lama ke Orde Baru. Pada masa ini, gerakan mahasiswa yang menggusur kepemimpinan Soekarno berhasil mengantarkan Soeharto ke singgasana kekuasaan. Awal Orde Baru tampak terbangun “relasi mesra” antara militer dan mahasiswa. Namun, berjalannya waktu, militer terlampau kuat bercokol menyokong kekuasaan Soeharto. Kurang lebih 32 tahun lamanya militer menguasai kehidupan sosial-politik, sementara aktivis mahasiswa kian sulit mendapatkan ruang geraknya.
Pendekatan rezim Orde Baru bersifat represif dan otoritarian. Adanya kebijakan dwifungsi ABRI berhasil menguasai semua posisi strategis birokrasi dan politik. Termasuk penerapan sistem Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) (Budiyarso, 2000). Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, yang berisikan pembubaran Dewan Mahasiswa (DEMA) di universitas se-Indonesia. Bentuk kebijakan ini perlahan membersihkan aktivitas mahasiswa yang proaktif menanggapi isu-isu politik kebangsaan beralih fokus pada pengembangan dunia akademis saja.
Prof. Sutaryo dalam Husin (2014) mengungkap bahwa kebijakan NKK/BKK turut memandulkan gerakan mahasiswa karena mengarahkan mahasiswa sebagai kuli pasar. Konsep link and match secara langsung menghubungkan kompetensi mahasiswa dengan kebutuhan pasar (market oriented). Habitus aktivisme mahasiswa terbentuk mengikuti repesifnya kebijakan NKK/BKK. Universitas tampak sibuk menghasilkan pion-pion pembangunan kapitalis asing. Kondisi ini terus berlangsung selama rezim Orde Baru yang mengutamakan pembentukan karakter generasi pembangunan. Akhirnya, gerakan ekstra-univerisitas mulai melemah seiring munculnya mahasiswa baru di kampus.
Kedua, transisi Orde Baru ke reformasi. Pasca tumbangnya rezim Soeharto, peran gerakan mahasiswa menghadapi tantangan tidak mudah dalam mengawal agenda reformasi. Dalam penelitian Reda Indra (2015), ditemukan sejumlah hal melemahnya gerakan mahasiswa pasca reformasi. Sebagian mahasiswa seolah kehilangan arah gerakannya pasca reformasi, sehingga terpolarisasi kepada banyak kutub. Ada yang terlena dalam euforia reformasi, sehingga lebih berkutat dengan bangku kuliahnya dibandingkan ikut dalam mempengaruhi proses politik bangsa ini.
Ada pula yang terkooptasi oleh kepentingan politik sesaat, ataupun berafiliasi pada partai politik yang sudah ada. Dengan demikian, pola gerakan dan isu yang diperjuangkan sudah tereduksi oleh kepentingan golongannya.
Hal ini tentu memengaruhi persepsi publik yang menilai adanya disorientasi bahkan kemunduran gerakan mahasiswa yang sebelumnya independen kemudian berpihak pada kepentingan partai politik.
Terpolarisasi dan terkooptasinya pergerakan mahasiswa pasca reformasi menggambarkan adanya indikasi kegagalan menerjemahkan bentuk gerakan reformis dari parlemen jalanan ke dalam struktur kekuasaan politik nasional. Para aktivis angkatan 1998 nampak masih belum berhasil memandu gelombang dahsyat reformasi dalam tatanan pemerintah ideal yang diperjuangkannya. Sehingga panggung perpolitikan nasional masih menyisakan perilaku korup para elite politik layaknya rezim sebelumnya.
Pasang-surut pola gerakan mahasiswa ini tentu menggugah hati batin masyarakat untuk terus mempertanyakan eksistensi pergerakan mahasiswa. Mahasiswa yang terstigmatisasi menjadi kelompok penekan terus dirindukan “taringnya” dalam merubah ataupun mengawal agenda reformasi sebagaimana dihasilkannya. Terlepas dari harapan-harapan itu, gambaran mengenai dua kondisi sosial-politik inilah yang menjadi faktor penyebab kenapa aktivis gerakan mahasiswa terlampau sulit menapaki puncak kepemimpinan nasional.
Peluang Gerakan Mahasiswa Di Era Kekinian
Di era kekinian, ternyata ada peluang yang memungkinkan aktivis pergerakan mahasiswa menemukan momentum emasnya. Sadar atau tidak, peluangnya terletak pada gerbong generasi milenial yang diperkirakan jumlah pemilihnya mendominasi Pemilu mendatang. Sebagaimana disampaikan oleh Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI, Sarah Nuraini Siregar dalam Tirto.id (11/12/2018) bahwa jumlah pemilih milenial berkisar 35 sampai 40 persen pemilih dalam Pemilu 2019, atau sekitar 80-an juta dari 185 juta pemilih. Jumlah ini tentunya akan bertambah pada tahun Pemilu (2024) mendatang.
Bahkan ketika melihat peluang Pemilu 2024, berbagai partai politik (Parpol) mulai melakukan serangkaian konsolidasi politik. Amati saja pemberitaan dari berbagai media yang melansir sejumlah Parpol mulai bergerak menjaring kekuatan generasi muda. Di antaranya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menilai Pemilu 2024 pemilih milenial capai 54 persen. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sementara mempersiapkan strategi incar suara milenial dalam Pemilu 2024. Partai Nasional Demokrasi (Nasdem) mulai memperbanyak pengurus muda di tubuh partainya. Sementara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sasar kaum milenial dan optimis merebut suara PDIP pada kontestasi Pemilu 2024 mendatang.
Akan tetapi, bila memperhatikan Survei Nasional Anak Muda oleh Indikator Politik Indonesia edisi Maret 2021 ditemukan bahwa tingkat kepercayaan anak muda terhadap Parpol sangatlah lemah. Secara berurutan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) paling dipercaya, kemudian Presiden, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, media mainstream, media sosial dan terakhir partai politik (Parpol). Sebagian besar anak muda 64,7 persen menilai Parpol atau politisi di Indonesia tidak terlalu baik sama sekali dalam mewakili aspirasi masyarakat. Hasil survei yang melibatkan kelompok pemilih pemula dengan usia 17-24 tahun ini tentu memberi gambaran tentang suara anak muda yang dipandang menentukan Pemilu 2024 mendatang.
Peluang ini tentu tidak bisa diabaikan oleh aktivis gerakan mahasiswa. Tatkala Parpol nyaris kehilangan dukungan dan kepercayaan publik, aktivis gerakan mahasiswa semestinya mampu memetakan peluang tersebut.
Upaya mengonsolidasikan gagasan politik ideal anak muda, kemudian menerjemahkan aspirasi dan kekuatan pemilih pemula dalam mengawal sosok pemimpin ideal yang nantinya diorbitkan dalam kontestasi Pemilu mendatang. Suara anak muda relatif murni, belum terkooptasi dengan politik praktis, serta pilihannya sangat menentukan kondisi masa depan bangsa. Inilah peluang bagi aktivis gerakan mahasiswa dalam menentukan konstalasi perpolitikan nasional.
Catatan Reflektif
Adapun beberapa catatan reflektif mengenai upaya yang harus dilakukan oleh aktivis gerakan mahasiswa untuk membangun formasi politik dalam rangka penentuan kepemimpinan politik nasional. Pertama, mahasiswa perlu membongkar mitologisasi historis yang dilekatkan padanya. Sebutan agent of change, social control, moral forces, dan ragam sebutan heroik lainnya terkesan berlebihan bila tidak inheren dengan perubahan yang dihasilkannya.
Aneka penyebutan itu justru membebani aktivis mahasiswa. Narasi romantika masa lalu berpotensi menyeret mahasiwa dalam ruang keterlenaan panjang, sehingga tidak mampu mereformulasi gerakannya di era kekinian.
Kedua, sejalan dengan itu, kesadaran subjektivitas untuk merekonstruksi sejarah perjuangan mahasiswa perlu dibarengi dengan pemetaan potensi dan peluang generasi milenial. Dengan demikian, upaya mahasiswa dalam memformulasikan dan memobilisasi gerakkannya sangat menentukan pilihan-pilihan yang diambil pada setiap momentum Pemilu kedepannya. Berada pada middle class, posisi aktivis mahasiwa terbilang strategis dan cenderung sulit dikendalikan oleh penguasa maupun Parpol. Hal ini harusnya menstimulasi gerakan mahasiswa untuk merumuskan kebaruan strategi politik sebagai elemen penentu demokrasi politik nasional hingga lokal.
Ketiga, dominannya proporsi jumlah pemilih milenial pada momentum Pemilu yang akan datang perlu disambut dengan pematangan gagasan politik ideal ala anak muda. Walaupun secara regulasi, ada batasan usia minimum 40 tahun sebagaimana rumusan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Pasal 169 q. Namun, kultur aktivis mahasiwa yang kritis, idealis, dan prinsipil sejatinya dapat dijadikan basis orientasi anak muda dalam mengorbitkan sosok pemimpin pilihannya.
Mengingat bahwa panggung perpolitikan Indonesia hingga saat ini didominasi oleh sederet aktor lama yang tampak menguasai jejaring politik. Sementara bila dilacak track record-nya, popularitas politik para elite politik ini masih dipengaruhi oleh garis kekayaan, keturunan ataupun keluarganya.
Akhirnya, dengan menyadari dan mengonsolidasikan potensi dan kekuatan politiknya, maka aktivis gerakan mahasiswa optimis tampil sebagai kelompok penentu masa depan Indonesia. Bila pada era revolusi kemerdekaan melahirkan para tokoh dan pemimpin dari kalangan muda. Bukankah di era revolusi digital memungkinkan tersedianya stok aktivis mahasiswa dengan kejelasan track record yang niscaya kedepannya tampil sebagai seorang Presiden dan Wakil Presiden?(*)
Penulis lahir di Duma, Galela, Halmahera Utara, 02 Maret 1996. Ketua Bidang Pendidikan Kader dan Kerohanian PP GMKI Masa Bakti 2020-2022. Gemar menulis dan memproduksi buku.