Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Dalam salah satu tulisan yang sangat menyentuh, (almarhum) Arief Budiman menulis, ”Seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian. Mula-mula mereka membantu menggulingkan kekuasaan yang tiran dan korup guna menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tetapi sesudah kekuasaan itu tegak berkuasa, para intelektual yang bebas akan terasing dan terlempar dari sistem kekuasaan. Intelektual merdeka mengalami perasaan sendirian, kesepian, dan penderitaan [Pengantar Buku, Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok Gie, XXII: 2008].
Jika hipotesa di atas kita jadikan alat analisa bagi mantan aktivis yang sedang membangun basis politik guna mencapai target politik di masa depan, rasa-rasanya sejarah politik kita akan berulang. Berbondong-bondong mantan aktivis mentransformasikan diri menjadi politisi. Mereka mendaftar jadi caleg, pengurus parpol, dan tim sukses bagi calon presiden tertentu.
Padahal, dalam sejarah transformasi aktivis yang sudah terjadi, begitu menjadi, berhentilah mereka melakukan ‘idealisasi’ pada struktur kekuasaan yang telah mereka miliki. Begitu kekuasaan di tangan, lupalah mereka pada ide-ide awal yang dulu disampaikan lewat tulisan dan ucapan. Begitu mereka tertransformasi jadi ’impian dirinya’ maka ’identitas awalnya redup dengan cepat; berganti menjadi ’apa yang dulu dicacinya.’
Mengapa intelektual kita ‘lupa dan kalah?’ Bahkan dalam banyak hal larut dalam pelacuran idealismenya? Pertanyaan ini sudah sering dilontarkan banyak pihak. Kegundahan ini juga menjadi milik banyak orang. Tetapi, jawabannya tak kunjung ditemukan.
Seperti lingkaran setan, peristiwa ini seperti bandul yang berulang-ulang tanpa titik capaian yang signifikan. Para aktivis-intelektual kita masuk, meleburkan diri, terserap secara drastis ke pusaran politik lalu ‘menjadi’ politisi yang biasa-biasa seperti politisi lainnya.
Mereka tidak mampu menjadi ‘garam’. Mereka tidak juga menggenapi apalagi menyempurnakan jika ada kekurangan di masa sebelumnya. Inilah mengapa banyak aktivis yang menjadi anggota legislatif dan eksekutif kemudian berbondong-bondong menjadi tahanan KPK.
Apa sejatinya kesalahan para intelektual dan aktor pro demokrasi di Indonesia ketika berpolitik? Ada banyak jawaban, tetapi yang paling utama adalah karena mereka “menyerahkan” wilayah publik pada sekumpulan penjahat terorganisasi sambil memaki tanpa mau mengubahnya.
Mereka merasa besar hanya dengan menjadi “pemain tunggal.” Padahal, kebaikan tunggal tak akan mengalahkan kejahatan masif yang terorganisasi.
Seperti pendekar, para aktivis gagal membangun aliansi strategis dengan pejuang-pejuang masyarakat lainnya. Mereka merasa sakti dan mampu berperan sebagai pahlawan yang akan membereskan problem masyarakatnya. Mereka yakin dengan bekal perlawanan yang pernah dimilikinya, mereka akan memenangkan pertempuran dan perang yang menantang di depan mata.
Bobroknya birokrasi, rendahnya etos kerja, budaya KKN dan iklim malas kaum tua tidak dihitung sebagai ‘musuh besar’ yang akan mengalahkan idealisme aktivis yang bermetamorfosis menjadi pemain. Mereka lupa bahwa berbagai persoalan rakyat memerlukan konsentrasi penanganan yang lebih cepat-cermat dan berkelanjutan dari model dan pola laku kaum tua.
Seharusnya, para aktivis menyadari percaloan anggaran di DPR merajalela, pencurian kayu, ikan, dan SDA yang mentradisi, penembakan dan kriminalisasi petani, pencurian BBM oleh oknum pejabat dan banyak problem lain yang meluas sehingga membuat negeri ini limbo.
Nah, proyek besar ini tidak menjadi proyek para aktivis yang menegara. Padahal mereka tahu bahwa tumbangnya sebuah rezim otoriter hanyalah perubahan kondisi dalam bentuk kebebasan dari sebuah pemasungan (freedom from) yang harus diisi dengan kebebasan untuk membangun (freedom for) cita-cita sosialnya.
Sebab, harus disadari bahwa tumbangnya sebuah rezim jahat tak serta merta menuntasi kejahatannya. Sebab kejahatan terbesar dari sebuah tiran, tidaklah terletak pada seberapa banyak kejahatan yang ia lakukan dan kekayaan yang ia rampok. Melainkan pada cara-cara jahat dan kebiasaan korup yang ia wariskan.
Tetapi, sayangnya manusia Indonesia adalah pengumpul dan penjumlah lupa. Suka membuat luka baru dan menjejernya untuk menutupi luka lama hingga seringkali lupa mengobatinya. Manusia Indonesia menjadi sekerumunan domba yang melahirkan beragam kepiluan, kealpaan dan kesalahan sehingga melahirkan kekalahan.
Dus, memilih jadi aktivis yang bermetamorfosis rezim baru, sebagaimana hukum besi sejarah mestinya membuat blue print tentang enam hal penting bagi rakyatnya; mentradisikan kesehatan, menyehatkan pendidikan, menyelenggarakan kebebasan, menjalankan keadilan, menjaga kesejahteraan, dan mengundangkan persamaan.
Arti penting kesehatan karena segala perilaku kita tak akan maksimal tanpa tubuh-jiwa yang sehat. Sehat adalah modal awal manusia melakukan seluruh aktifitasnya. Tanpa jaminan kesehatan dari negara, apalah artinya tubuh kita.
Arti penting pendidikan karena zaman adalah perubahan ke arah kemajuan dan hanya dapat dinikmati dengan nalar yang cakap. Nalar cakap pastilah hasil pendidikan yang sehat.
Arti penting kebebasan karena ia merupakan hak asasi manusia yang dari lahir sudah didapatkan, sehingga harus dijaga dan dilindungi. Di mana dengannya, manusia hidup dan menghidupi diri dan selainnya.
Arti penting keadilan karena hadirnya ideologi dan sistem apa pun di dunia ini adalah demi tegaknya keadilan tanpa pandang bulu yang dioperasionalkan lewat pembatasan jabatan dan rotasi kesejahteraan juga rotasi kepemimpinan.
Arti penting kesejahteraan karena manusia pada hakikatnya adalah homo economicus yang selalu haus keuntungan di mana darinya rotasi kekayaan akan membuatnya “mentas” dari segala penderitaan.
Sedang arti penting persamaan karena setiap manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya lahir sebagi sebuah kerumunan yang hidup dan matinya di tempat yang sama [homeland], sehingga dengan keterbatasannya mereka bukan harus dibedakan melainkan harus selalu bekerjasama dalam segala hal demi kebersamaan sehingga menghasilkan keindahan di rumahnya. Undang-Undang persamaan inilah ujung dari jaminan pluralitas bangsa yang akan memperkokoh Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila kita.
Dengan berbagai asumsi di atas, kesalahan kita dalam membangun transisi demokrasi tidak menyiapkan masyarakat yang rasional-idealis. Sebaliknya, dalam realitasnya kita menciptakan masyarakat irasional, pendek ingatan dan miopik.
Kita terbukti lebih suka mengandalkan uang dan terbukti hanya sekadar mengeksploitasi emosi rakyat. Kita tidak memiliki program yang jelas untuk membangun bangsa ke depan. Kita lupa pada pemberi amanat yang tiap lima tahun dengan ikhlas mereka berikan.
Ke depan, para aktivis yang memilih bertransformasi jadi politisi perlu membangun budaya baru yang didasarkan kepada pertimbangan rasionalitas-idealis dalam pemilihan, dan usaha meritokrasi dalam perekrutan. Bukan lagi kepada mitos dan politik aliran, melainkan kepada pertimbangan integritas, kepribadian, serta moralitas calon yang berupa kesetiaan pada nilai-nilai.
Jika proyek kerakyatan dan nilai-nilai di atas tidak segera dilakukan maka kita layak sedih. Aktivis yang bertranformasi menjadi politisi hanya akan melakukan penajaman self destroying nation [bunuh diri bangsa] dan mabuk oleh kekuasaan yang melelapkan.[]
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).
Editor: Red/Hen