Elsa Simatupang*
PIRAMIDA.ID- Hai, perkenalkan namaku Elsa, aku anak kedua dari empat bersaudara. Tulisan ini merupakan sebuah curahan hati seorang gadis yang dipaksa kuat karena keadaan, walau mungkin ini akan sedikit berlebihan, meski kenyataannya begitulah yang sedang aku rasakan.
Aku berpikir bahwa hidup tanpa masalah itu mustahil. Masalah tanpa hidup itu juga mustahil. Ya, itu benar. Semua manusia pasti memiliki masalah hidupnya masing-masing, begitu juga dengan ku. Walau terkadang masalah setiap orang itu berbeda. Jangan pernah berpikir egois seolah-olah hanya aku yang menghadapi masalah dalam hidup ini, itu pemikiran ku. Akan tetapi pemikiran itu berbalik ketika aku sedang dihadapkan dengan masalah, aku seperti orang yang tidak memiliki komitmen dan jati diri.
Apakah menghadapi masalah itu sebuah proses kedewasaan? Bagaimana jika aku tidak sanggup untuk menghadapinya? Aku..aku sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi segalanya, aku sedang membiasakan diri untuk berpikir positif. Walau keraguan dan rasa lelah menghampiri diriku. Masalah yang kuhadapi datang silih berganti, bagaikan petang yang digantikan oleh malam yang dingin dan hampa tidak memiliki ruang untuk tertawa. Masalah yang satu belum usai masalah yang baru sudah mendekat.
Pernah sekali aku merasa berada dititik paling lemah, di mana aku dihadapkan dengan sebuah pilihan. Jika aku memilih tidak, maka masa depan ku mungkin saja akan suram. Namun, jika aku memilih iya, keluarga ku akan mengalami keretakan. Bagaimana tidak, hal ini membuat ku semakin down karena ditempatkan dalam situasi sulit oleh karena dua pilihan yang saling bertentangan. Jika kukatakan tidak maka ada kata iya yang timbul walau harus mengorbankan setiap keinginan dalam diri demi melepaskan keterpurukan menuju ketenangan meskipun disertai oleh tangis pilu yang tiada hentinya menetes di wajah, beban yang harus ditanggung oleh punggung yang kuat.
Tanpa mengenal lelah saya jalani dengan ikhlas walau terkadang ada rasa ingin mundur tetapi dihadang oleh rasa percaya diri menghapuskan setiap rasa takut maupun bimbang karena akan berubah menjadi indah pada waktunya, jika kita menjalani dengan penuh ketulusan dan dibarengi dengan doa.
Namun tanpa hitungan detik semua semangat itu memudar ketika melihat kerapuhan batin ini. Aku merasa lelah, aku bingung harus bagaimana dan bercerita kepada siapa. Aku merasa hidup sendiri dan hampir depresi. Aku bagaikan manusia bodoh yang tidak memiliki harapan hidup, rasanya menangis tanpa suara itu benar-benar sangat menyakitkan. Tahapan paling sulit dalam kehidupan ini menghadapi masalah tanpa mengetahui solusi. Aku benci keadaan ini, aku benar-benar benci masa-masa yang aku hadapi saat ini.
Masalah yang kuhadapi bukanlah percintaan seperti seorang anak yang sedang mengalami pubertas pada umumnya, walau terkadang aku merasa iri kepada mereka karena bisa merasakan jatuh hati dan patah hati dalam dunia asmara tanpa memikul beban berat di pundaknya. Aku juga manusia biasa yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari lawan jenis, itu lumrah dan normal.
Tetapi aku tidak berani untuk mengenal dunia itu karena duniaku sedikit berbeda dengan dunia mereka. Tidak mudah memang menerima semua kenyataan ini, sangat tidak mudah ketika aku berada pada titik terendah dalam hidup ini rasanya sangat menyakitkan, begitu memalukan.
Jika aku menyerah sekarang sama saja aku mematahkan tangan dan kaki kedua orang tua ku yang telah berjuang tanpa mengenal lelah. Jika dibandingkan dengan perjuangan mereka apa yang aku alami itu bukan apa-apa, akan tetapi haruskah aku merasa baik-baik saja? Haruskah aku berpura-pura kuat?
Berkali-kali aku bertahan berkali-kali juga aku ditampar dan dihantam, dihantam masalah yang begitu rumit. Aku ingin mengadu kepada kedua orangtua ku, tapi aku takut itu akan membuat mereka menjadi berhenti berharap lebih kepadaku. Jika harapan itu aku padamkan sama saja aku menikam mereka dengan pedang yang tajam menggunakan kedua tangan ku.
Terkadang aku ingin kembali ke masa kecilku yang hanya merasakan tawa dan tangis kebahagiaan. Aku ingin pulang, bu..! Aku ingin pulang ke pangkuanmu, aku rindu aku yang dulu, aku yang selalu bergantung kepada ibu. Aku yang selalu ibu anggap anak-anak yang tidak mengetahui apa-apa. Yang sekedar makan pun aku harus ibu ingatkan.
Saat ini putrimu sedang tidak baik-baik, bu. Putri mu sedang menangis tanpa berlinang air mata, putrimu sedang berpura-pura kuat. Terlalu banyak harapan di pundakku sedangkan aku jalannya saja sudah tidak tegak lagi, pantas saja mataku bercucuran air mata tanpa kusadari ternyata aku sudah terlalu lama menekan diriku sendiri untuk selalu memenuhi ekspektasi orang lain yang sebenarnya aku tidak kuat, tapi aku tidak bisa bilang tidak.
Jadi wajar bila aku haus akan dukungan dan membutuhkan bahu untuk bersandar, aku ingin tersenyum lepas tanpa topeng kepura-puraan. Kenapa aku? Mengapa? Mengapa aku mengalami semua ini? Apakah ini yang dinamakan dengan karma? Atau takdir? Atau hanya sebuah tahapan menuju kesuksesan? Entah lah akupun tidak tahu, aku merasa lelah dengan semua ini.
Aku adalah tipe orang yang mudah tersinggung dan menyimpulkan masalah tanpa meminta keterangan. Andai aku diberi kesempatan untuk meminta sekali saja, aku tidak akan meminta ditempatkan di posisi seperti ini. Bukan berarti aku tidak bersyukur dilahirkan di keluarga sederhana, aku sangat bersyukur karena masih memiliki ayah dan ibu. Aku hanya merasa belum siap untuk dewasa aku belum mampu untuk mengambil keputusan untuk hidup ku sendiri.
Aku, aku hanya gadis berusia 18 tahun yang belum sanggup untuk memikul beban dan tanggung jawab ini, harusnya gadis seusiaku bukan memikirkan hal-hal seperti ini, harusnya aku sibuk dengan dunia pendidikan dan merasakan hangatnya dunia luar bukan menjadi hancur dan berantakan seperti ini.
Di malam yang sunyi aku menatap raut wajah ibu yang tidur terlelap tampak letih dan sudah menua. Air mataku bercucuran, sejenak aku langsung berpikir di usianya yang lebih dari setengah abad masih semangat untuk menjalani kehidupan ini walaupun ini. Apa kabar denganku yang masih belia sudah langsung menyerah? Apakah ini yang dinamakan semangat yang membara? Tentu tidak. Ayo bangkit, Elsa! Keluar lah dari zona nyaman mu yang dulu dan masuklah ke zona baru mu, jangan pernah mengatakan tidak. Karena masih ada orang tua yang harus kamu banggakan.
Kalimat itu kini melekat di hatiku. Bangkit! Hidup takkan menunggu mu! Kalimat sederhana tapi menampar diriku yang hampir menyerah. Membuat ku sadar akan satu hal bahwa menyerah bukanlah jalan tepat untuk membangun sebuah harapan melainkan semangatlah yang harus ku pupuk dalam setiap langkah dan tujuan mengubah hidupku yang penuh kesuraman menjadi keindahan seperti mutiara yang memancarkan sinar dari dalam kerang yang melindunginya, yaitu sama dengan hidup yang pernah kualami.
Perjuangan dan tekadlah yang berani bukan menjadi hancur dan berantakan seperti ini, karena semua beban itu belahan ku ubah menjadi suatu intelektual yang ku dapat dari pengalaman hidup sendiri yang tidak pernah kuduga menjadi satu berlian berharga bagiku, dan hari ini aku suratkan semua.
Cerita demi cerita telah kusalin, pengalaman demi pengalaman telah kuutarakan pada rangkaian kata yang kutuliskan dari lubuk hati ini, kini aku sudah bisa bangkit dan melanjutkan perjuanganku lagi. Semoga tidak ada kata sia-sia dalam hidup ini, walau aku percaya bahwa aku akan sampai pada titik kebahagiaan yang kujalani dengan doa dan perjuangan.(*)