Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Tidak ada yang kami benci dari kaum tua. Tidak ada yang kami nistakan dari orang tua. Yang ada cuma kami cuma sesalkan.
Kenapa kesempatan yang begitu luas kami berikan pada mereka, tidak dimaksimalkan dalam mengelola negara dan pemerintahan. Demikianlah rangkuman dari sikap kaum muda dalam pamflet-pamflet yang beredar berkenaan dengan tuntutan saatnya kaum muda memimpin.
Setelah berjalan merdeka menuju 75 tahun, kita mendapati bangsa ini makin jelas menuju kesalahan bersama. Jika di negara sehat ada “broker hukum” diadili maka dengan segera para pemberi “order hukum” ditangkap dan diadili. Tetapi di Indonesia berjalan sebaliknya. Yang disajikan adalah drama broker hukum.
Jika di negara sehat, pemilu dilakukan dengan tertib dan diikuti oleh sedikit partai pemilu maka di Indonesia pemilu dilakukan dengan hingar-bingar dan banyak sekali partai politik.
Tidak ada yang salah dengan hingar bingar, tidak ada yang salah dengan banyak partai politik. Yang salah adalah kita belum melakukan subtansi demokrasi. Yaitu sebuah demokrasi yang berbasis pada meritokrasi dan prestasi. Demokrasi yang memungkinkan dilaksanakannya gagasan-gagasan kebutuhan rakat banyak seperti sekolah gratis, kesehatan murah, pangan yang cukup tersedia dan sandang-papan yang layak.
Karena berkutat pada demokrasi prosedur maka kita mendapati hasil yang sebaliknya; pendidikan mahal, kesehatan tak terjangkau, pangan yang langka, sandang yang tak terbeli dan papan yang hanya menjadi milik orang kaya.
Karena alasan-alasan obyektif inilah dirasa perlu terobosan dahsyat agar demokrasi tidak mati di rumahnya sendiri. Sebaliknya menghasilkan solusi bagi terjadinya demokratisasi ekonomi. Tetapi, demokratisasi ekonomi akan sangat sulit terjadi jika membiarkan alur demokrasi diserahkan pada pemain tua.
Para pemain tua telah lalai dan abai pada pembagian dan kesempatan yang adil bagi sesama. Para pemain tua telah lupa pada tujuan mulia berbangsa. Mereka mempertahankan ’logika pertumbuhan’ dan mengharamkan ’perealisasian pemerataan.’
Kekayaan dan kehidupan mereka selalu bertambah tetapi pada saat yang sama kemiskinan merajalela. Tingkat disparitas antara si kaya dan si miskin menganga lebar.
Cacat Bawaan Demokrasi Liberal
Sesungguhnya, sejak lahir semua paham politik membawa pesan yang mirip secara seimbang; kemanusiaan dan kesejahteraan. Sayangnya, dimensi kemanusiaan yang egois seringkali menjadi dimensi yang paling besar. Padahal jika mengacu pada buku-buku teori demokrasi, pesan kesejahteraan jauh lebih banyak dan menjadi intinya.
Karena itu, mereka yang disebut pendusta demokrasi adalah yang; 1)memperbanyak anak yatim [fakir miskin dan pengangguran], 2)menghilangkan jatah makan orang miskin, 3)menghilangkan kesempatan kerja dan menumpuk penyakit, 4)melanggengkan kekerasan, 5)tidak mau belajar dari kesalahan.
Tentu saja demokrasi prosedural itu penting. Tetapi prosedur yang hanya menghasilkan tingginya resiko dan tinginya harga tentu tidak baik. Prosedur yang melahirkan pesta tanpa prestasi hanya akan membuat demokrasi cacat secara konsepsi. Dan jika ini dibiarkan, kita akan mendapatkan “prestasi buruk dalam berdemokrasi” yang berdampak pada prestasi buruk dalam berbangsa dan bernegara.
Para pemain tualah yang menyebabkan prosedur demokrasi menjadi rumit. Kerumitan yang melahirkan amarah suci kaum muda. Sebuah amarah yang lahir karena rasa cinta yang mendalam terhadap cita-cita bangsa sekaligus rasa prihatin pada kepedihan rakyat jelata.
Amarah suci ini telah lahir. Ia tak bisa dibendung lagi. Sebuah amarah yang lantang meneriakkan kata dan kalimat pembelaan pada ’yang tertindas.’ Sebuah amarah untuk merebut tahta buat rakyat. Sebuah amarah untuk membuktikan masih ada pahlawan tanpa tanda jasa yang jujur mencintai rakatnya.
Sebuah amarah karena hari ini setelah melakukan demokrasi prosedural, kita menyaksikan prestasi-prestasi buruk dalam kenegaraan dan kebangsaan yang menghasilkan delapan dosa sosial: 1)pemerintahan tanpa pembelaan pada rakyat miskin [birokratis], 2)kekayaan tanpa kerja keras [korupsi], 3)perdagangan tanpa moralitas [kolusi], 4)kekuasaan tanpa nurani [nepotisme], 5)pendidikan tanpa karakter [instan], 6)tekhnologi tanpa humanitas [dehumanisasi], 7)peribadatan tanpa pengorbanan [ritual], dan 8)agama tanpa subtansi [iklan].
Dengan melihat delapan dosa sosial yang terjadi di masyarakat maka kaum muda akan memulainya dengan membangun politik negara yang merdeka, mandiri dan modern. Yang dimaksud dengan politik negara adalah politik yang mengutamakan negara dan bangsa di atas politik identitas pribadi dan golongan.
Singkatnya politik ini mengutamakan penyelamatan bangsa dan negara [save the nation] sehingga mampu menjawab sparatisme yang masih tumbuh subur di beberapa daerah.
Lalu, yang dimaksud dengan politik mandiri adalah politik yang mengutamakan “pelaku-pelaku kaum muda yang mandiri” guna mengatasi pengangguran. Singkatnya politik ini menjawab tantangan perubahan yang berasal dari politisi lama berbaju baru dan politisi baru berideologi lama.
Dengan darah segar dan pikiran yang lebih jernih karena tidak terkontaminasi oleh masa lalunya, politik inilah yang akan mengurangi pengangguran sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan sebagai pondasi bagi tumbuhnya pembangunan yang aman, ramah dan manusiawi.
Yang dimaksud dengan politik modern adalah politik yang mengutamakan pada upaya pengentasan kemiskinan dengan menempatkan “kaum miskin” sebagai subyek utama pembangunan.
Artinya, merekalah sasaran utama pembangunan nasional agar dapat sejajar dengan kaum kaya. Dengan begitu, ideologinya adalah pemerataan guna menjaga pertumbuhan. Akhirnya, bersama kaum muda, kaum miskin dan orang-orang terpinggirkan inilah proyeksi politik masa depan kita sesungguhnya.
Merekalah—bersama yang telah lama sejahtera—pemilik sah dari bangsa dan negara tercinta ini. Tanpa mereka, tak ada artinya kemerdekaan suatu bangsa.
Dus, saatnya kita kaum muda bergerak lebih cepat bukan sekedar menjalankan ritual, bukan sekedar jadi pengikut demokrasi prosedural tetapi merealitaskan pesan dasarnya di lapangan.
Mari jadi penerjemah “iman pada politik adil” dan menjadi pelaksana “demokrasi subtansi.” Sebab, Indonesia lebih membutuhkan perealisasian subtansi demokrasi dari sekedar prosedur dan iklanisasi demokrasi. Kaum mudalah yang mampu dengan amarah sucinya melaksanakan itu semua.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).
Editor: Red/Hen