PIRAMIDA.ID- Maju dalam kontestasi Pilkada melawan saingan yang tidak jelas, anak dari Presiden Indonesia Joko Widodo diprediksi meraih kemenangan sebagai wali kota Solo bulan depan. Jabatan ini pernah dipegang ayahnya.
Aspirasi politik putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, telah menimbulkan kecurigaan bahwa Presiden Jokowi, sedang membentuk dinasti baru untuk menyikut elit lama Indonesia.
Tidak terkait dengan keluarga berpengaruh yang mendominasi pemerintahan, bisnis, dan militer di negara terbesar di Asia Tenggara itu, Jokowi dianggap sebagai orang luar dalam perpolitikan nasional ketika terpilih jadi presiden pada tahun 2014.
Selama enam tahun berkuasa, Jokowi telah memprioritaskan proyek infrastruktur dan pembangunan, tapi beberapa kroni era Suharto juga masih tetap berkuasa lebih dari dua dekade setelah terjadinya reformasi demokrasi.
Jokowi telah menolak tudingan bahwa masuknya putranya ke arena politik merupakan sinyal akan ada dinasti baru yang bergabung dalam lingkaran elit yang ada sekarang.
“Setiap orang di Indonesia memiliki hak politik. Saya tidak pernah mengarahkan anak-anak saya,” kata Jokowi kepada kantor berita Reuters pekan lalu.
Gibran menjadi salah satu pendatang baru politik dengan kerabat berpengaruh di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan para analis mengatakan politik Indonesia semakin menjadi urusan keluarga.
Dibandingkan Pilkada 2015 ketika ada 52 kandidat ‘dinasti’, tahun ini ada 146, menurut penelitian Yoes Kenawas, kandidat PhD bidang ilmu politik di Northwestern University di Illinois.
Di antara mereka bukan hanya putra Presiden Jokowi, tetapi juga menantu laki-lakinya, serta putri wakil presiden, dan keponakan menteri pertahanan.
Di satu daerah pemilihan di pinggiran ibu kota Jakarta, tiga calon adalah bagian dari dinasti.
“Demokrasi hanya memfasilitasi segelintir orang untuk mengakses kekuasaan,” kata Titi Anggraini dari lembaga pengawas pemilu, Perludem, yang mengeluhkan tren tersebut.
Politik Indonesia telah lama didominasi oleh elit-elit Jawa, yang merupakan pulau terpadat di dunia, dan rumah bagi ibu kota negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Namun di kampung halaman presiden di Solo, Jawa Tengah, sekitar 500 kilometer dari Jakarta, pencalonan Gibran telah menimbulkan kontroversi tersendiri.
‘Kotak Kosong’
Halim HD, seorang aktivis berusia 69 tahun, telah lama menjadi duri dalam daging bagi para politisi yang punya koneksi.
Dua tahun lalu ketika kerabat wakil presiden Jusuf Kalla mencalonkan diri dalam pilkada di Kota Makassar, Halim turut mengkampanyekan ‘kotak kosong’ – dorongan untuk memilih kotak kosong yang muncul di kertas suara dalam pemungutan suara.
Kotak kosong menang di sana.
Tahun ini ketika muncul putra presiden yang didukung koalisi 9 parpol juga tidak memiliki lawan, Halim menghidupkan kembali kampanye ini.
“Dalam konteks politik modern,” katanya, “Kotak-kotak kosong ini adalah pertanda bahwa ada yang salah.”
Pada akhirnya, hanya beberapa jam sebelum pendaftaran ditutup pada 6 September, seorang kandidat saingan muncul.
Bagyo Wahyono, seorang tukang jahit berusia 59 tahun, menurut KPUD, telah menyampaikan pemberitahuan sementara tentang niatnya untuk mencalonkan diri tahun lalu, tetapi konfirmasi pencalonannya di detik-detik terakhir masa pendaftaran tetap mengejutkan banyak orang.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, Sugeng Riyanto, Wakil Ketua DPRD Kota Solo, mengaku yakin ada desakan untuk tidak memiliki kotak kosong, apalagi jika kemudian kotak kosong ini akan mendapat suara yang banyak.
“Itu akan sangat memalukan, tidak hanya untuk Gibran tetapi juga presiden,” kata Sugeng, satu-satunya anggota dari partai politik yang tidak mendukung putra Jokowi.
Dia percaya pencalonan Bagyo tak lebih dari “upaya menghindari skenario itu”. Bagyo membantahnya.
Baik tim kampanye Gibran maupun pihak kepresidenan tidak menanggapi permintaan komentar atas tuduhan tersebut.
Mengumpulkan angka dukungan
Menggambarkan dirinya sebagai kandidat anti-kemapanan, Bagyo didukung oleh organisasi sosial yang kurang terkenal bernama Tikus Pithi Hanata Baris.
“Saya mencalonkan diri karena kemampuan saya untuk mematahkan kemapanan, [untuk menunjukkan] siapapun dapat memilih dan dipilih,” kata Bagyo kepada Reuters.
Namun, bahkan untuk seorang calon yang independen, pencalonan Bagyo dianggap beberapa pengamat aneh karena ia tidak memiliki modal sosial atau politik yang kuat dengan organisasi massa atau jaringan politik mana pun.
Calon di Solo ini sepertinya datang entah dari mana, kata Wawan Mas’udi, ilmuwan politik dari Universitas Gadjah Mada.
Untuk memenuhi syarat sebagai calon independen, Bagyo diharuskan mengumpulkan hampir 36.000 tanda tangan.
Juru bicara tim kampanye Bagyo, Budi Yuwono, mengatakan timnya pertama kali mengumpulkan KTP dari pintu ke pintu pada awal 2019. Awalnya tim menghindari media sosial, katanya, karena khawatir partai politik akan menghalangi kampanyenya.
Tetapi nampaknya mereka juga menghindari perhatian masyarakat. Beberapa orang yang berbicara dengan Reuters di Solo mengatakan bahwa mereka baru mendengar tentang Bagyo sejak September, ketika dia mendaftarkan pencalonannya, meluncurkan situs web kampanye dan mengaktifkan halaman media sosialnya.
Reuters juga berbicara dengan orang-orang yang ada di daftar penandatangan dukungan untuk Bagyo tapi merasa tidak pernah memberikan dukungan mereka.
Tresno Subagyo, misalnya, termasuk di antara mereka yang terkejut saat petugas pemilu datang ke rumahnya untuk memeriksa bahwa ia menandatangani dukungan.
“Saya tidak pernah memberikan dukungan saya kepada Bagyo,” katanya. “Saya juga tidak pernah memberikan KTP saya.”
Johan Syafaat Mahanani, dari kelompok pemantau pemilu masyarakat, mengatakan ada puluhan kasus yang serupa.
“Mereka hanya orang biasa, takut melaporkannya ke pihak berwajib,” ujarnya.
Penduduk lain mengatakan kepada Reuters bahwa ada dua orang yang telah mengunjungi rumahnya dan mengambil foto KTP-nya, kemudian menjelaskan alasannya setelah itu.
Tim kampanye Gibran tidak menanggapi pertanyaan tentang keaslian dukungan Bagyo.
Tim kampanye Bagyo mengatakan mungkin saja ada “satu atau dua” kesalahan dalam pengumpulan tanda tangan, tapi tidak sampai ribuan.
Komisioner KPUD Kota Solo, Suryo Baruno, mengatakan 14.000 nama yang terdaftar untuk Bagyo dianggap tidak memenuhi syarat setelah melalui dua putaran verifikasi.
Tim kampanye Bagyo kemudian mencari penandatangan tambahan untuk memenuhi targetnya.
Badan pengawas pemilu secara terpisah kemudian mengatakan pihaknya menyelidiki laporan tentang penggunaan KTP yang curang, tetapi tidak menemukan penyimpangan.
Wakil Ketua DPRD Kota Solo Sugeng Riyanto mengatakan, ia yakin apa yang terjadi telah “menodai demokrasi”.
Membentuk citra
Ketika Gibran mendaftarkan pencalonannya, ia mengendarai sepeda antik ke kantor KPUD, dia membentuk citra seperti ayahnya, yang melakukan hal yang sama ketika mendaftar menjadi presiden.
Dihadapkan dengan tuduhan bahwa dia mengabadikan politik dinasti Indonesia, Gibran mengatakan kepada Reuters bahwa dia “menyambut semua kritik”, dan yakin dia dapat menciptakan perubahan positif dalam kehidupan orang banyak sebagai walikota daripada sebagai seorang pengusaha.
Jajak pendapat Kompas Agustus ini, menunjukkan hampir 61% responden tidak menyukai politik dinasti, tetapi di Solo, kota yang terkenal dengan keraton dan batik tradisionalnya, pemilihnya pragmatis.
“Telah ada dinasti politik dari generasi ke generasi,” kata Hartanto, seorang tukang becak berusia 42 tahun, “Yang penting mereka mengenal orang-orangnya.”(*)