Suhunan Situmorang*
PIRAMIDA.ID- “Anakhonhi do hamoraoan di au,” itu pernyataan atau pengakuan yang kerap dikatakan orang Batak, terutama para orangtua. Harafiahnya: anakkulah kekayaanku.
Umumnya orangtua Batak bangga mengatakan, dianggap filosofi atau anutan hidup yang diturunkan sejak leluhur mereka. Mereka tak semua tahu bahwa pernyataan tersebut dilhami seniman musik dan lagu Batak paling menonjol hingga jadi legenda: Nahum Situmorang.
Melalui satu karyanya, Nahum menulis lirik sekaligus membuat nada dan melodi yang kemudian memberi semangat dan etos kerja demi anak (dan harapan masa depan yang lebih baik). Rela berlelah, tampil bersahaja, kerja keras siang malam, semua demi anak.
Nahum menulis lagu tersebut (diduga kuat) dalam dekade 60-an. Dipopulerkan melalui nyanyian di kedai-kedai tuak di kota Medan dan siaran langsung dari RRI stasiun Medan. (Nahum memiliki grup vokal bernama Solu Bolon). Kemudian direkam ke dalam piringan hitam dan pita (kaset), juga oleh kelompok penyanyi lagu Batak yang muncul kemudian.
Lagu itu seperti penyuntik semangat bagi orang Batak, khususnya para ibu. Mereka umumnya pedagang kecil (“parrenggerengge”) di pasar, petani, juga pelaku ekonomi sektor informal di kaki lima dan antarwilayah.
Lagu tersebut, perlahan, seperti mars yang memberi semangat, terutama bagi kaum perempuan berstatus istri dan ibu. Menjadi pelipur lara pula di tengah kelelahan bekerja atau mengupayakan sumber-sumber ekonomi bagi keluarga masing-masing akibat kemiskinan dan keterpurukan sosial ekonomi. Perempuan Batak dikenal pekerja keras, sedia mengambilalih peran suami sebagai penopang ekonomi keluarga–bila suami tak mampu atau pemalas.
Selain jadi petani, berdagang komoditas hasil pertanian, pakaian, bumbu dapur atau sembako, lintas wilayah pun jamak dilakukan. Ketangguhan perempuan Batak telah sering dijadikan objek studi akademisi ilmu-ilmu sosial dalam dekade 80-an. Itu kenyataan, etos perempuan Batak bekerja umumnya memang lebih tinggi dibanding pria.
Di tengah kelelahan dan juga boleh jadi pula protes atas ketimpangan dan ketidakadilan akibat sistem sosial dan adat budaya, lagu “Anakhonhi do hamoraon di au”, berperan sebagai penyemangat. Bahwa semua yang dilakukan tiada lain demi anak, dengan harapan kehidupan anak lebih baik secara sosial ekonomi. Better life…, kata orang sana.
Namun, nyanyian heroik nan menghibur gubahan komponis yang legendaris itu, perlahan mengalami pergeseran makna. Ada semacam penambahan arti, yakni, anak jadi seolah properti, aset, yang melekat unsur belonging. Rasa memiliki memberi ekspektasi atau harapan akan memberikan manfaat atau balasan bagi yang memiliki (anak yang telah dibesarkan dan disekolahkan setinggi mungkin dng susah payah).
Diakui atau tidak, anak jadi dianggap semacam aset dan investasi yang kemudian berharap dapat keuntungan, profit, yeld, balas jasa, dari si anak.
Dari pandangan atau ekspektasi itulah kemudian jadi kerap menimbulkan masalah, terutama ketika si anak (laki-laki) dianggap tetap milik dan “aset” si orangtua (ibu atau bapak). Kisruh semakin mengental ketika si anak menikah, memiliki unit keluarga sendiri, juga tanggung jawab tersendiri.
Intervensi orangtua, tuntutan balas jasa, menjadi beban bagi anak namun dianggap layak, wajar. Pandangan yang turun-temurun dianut, bahkan ketika zaman semakin maju dan pandangan-pandangan mengenai otonomi manusia serta freedom semakin menguat.
Saya tak perlu menyampaikan sikap atau pendirian mengenai hal ini. Yang saya (dan istri) coba tanamkan di benak masing-masing, cuma ini: semoga tak pernah dianggap ketiga anak jadi beban selama kami hidup dan semua yang kami lakukan bagi ketiga putra putri merupakan tanggung jawab dan wujud kasih sayang belaka. Tak menuntut imbalan. Pure and simple.
Hanya satu keinginan kami, tak ada di antara mereka yang membuat kami kecewa atau malu karena ulah mereka. *
Penulis merupakan praktisi hukum yang berkiprah di Jakarta. Penulis novel “Sordam”. Ulasan ini merupakan saduran dari laman Facebook pribadinya dan telah mendapat persetujuan untuk dimuat di Piramida.id.