Adian Napitupulu*
PIRAMIDA.ID- “Adian marah karena temannya diberhentikan, Adian marah karena temannya tidak diakomodir,” kira-kira itu logika yang dibangun Andre. Cara berpikir yang menuding kritik sebagai topeng kepentingan merupakan metode untuk membungkam kekritisan.
Secara sederhana cara berfikir Andre menggunakan logika “Di balik kritik Menteri ada kepentingan“. Kalau itu cara berpikirnya maka saya juga bisa gunakan logika yang serupa “Di balik pembelaan pada Menteri juga punya kepentingan“. Kalau mengkritik dianggap karena belum dapat, bisa jadi membela karena sudah dapat.
Pernyataan Andre yang diakuinya masih berupa rumor itu sebenarnya bisa dilihat sebagai pernyataan bersayap bagai pedang bermata dua. Bisa untuk menyerang saya, bisa juga menyerang orang yang seolah dibelanya.
Sesuatu yang masih berupa rumor tidak perlu dipublish dulu karena Andre dibayar rakyat untuk membahas peristiwa yang berdiri di atas data dan fakta bukan rumor.
Selain itu sebagai anggota DPR, tugas dan fungsi Andre itu membuat UU, menyusun anggaran dan melakukan fungsi pengawasan. Siapa yang diawasi? Eksekutif. Apanya yang diawasi? Kebijakan dan pelaksanaan kebijakan eksekutif yang terkait dengan anggaran dan pelaksanaan Undang-undang dengan segala turunannya.
Kenapa anggaran dan Undang-undang? Karena DPR yang membuat anggaran dan Undang-undang sementara pemerintah yang menjalankan, maka itu DPR lah yang harus mengawasi pemerintah. Kira-kira demikian.
Tapi apa yang terjadi, Andre justru mengawasi sesama anggota DPR yang sedang mengkritisi penggunaan anggaran oleh eksekutif. Nah lho, bingung kan? Pasti akan lebih rumit lagi kalo akibat dari yang dilakukan Andre mengawasi anggota DPR yang lainnya menjadi kebiasaan lalu hubungan sesama kolega di DPR saling mengawasi, saling intip, saling mencari salah dan kelemahan.
Andre memang beda, energinya berlebihan, mulai dari mengawasi pemerintah, mengawasi PSK dan sekarang mengawasi suasana hati sesama anggota DPR yang Andre duga kecewa karena temannya diberhentikan dari BUMN. Dahsyat luar biasa. Kalau fasis mengawasi pikiran, rasis mengawasi warna kulit, kalau mengawasi hati kayaknya lebih kejam dari fasis dan rasis.
Tapi kalau dipikir-pikir, ternyata saya menangkap sinyal dari Andre yang membuat saya bisa melihat sisi positif dari pernyataan Andre. Andre sepertinya justru melemparkan umpan yang mengharapkan sambutan saya dalam bentuk paparan yang lebih luas. Semacam ajakan agar saya tidak hanya bicara kebijakan anggaran tetapi juga berbicara kebijakan penempatan komisaris. Hmmmm, ngeri-ngeri sedap, nih.
Saya sih tidak masalah jika kita membahas kebijakan penempatan komisaris dengan catatan apakah kita siap membuka kotak pandora? Ketika kotak pandora dibuka maka semua tali temali masa kini dan masa lalu di setiap pemerintahan terbongkar hingga era Orde Baru, nama-nama mafia migas akan kembali muncul ke permukaan, kait mengkait dengan puluhan ribu kepentingan bisnis dan politik di tiap pemerintahan terbuka lebar karena jumlah komisaris dan direksi dari BUMN Induk, anak dan cucu bisa mencapai kira kira 6.000 orang.
Kebayang gak, kalau masing-masing direksi dan komisaris secara personal punya keterkaitan dengan bisnis dan politik, keterkaitan keluarga, terkait dengan partai, ada yang terkait dengan berbagai institusi negara. Bahkan tidak sedikit yang diidentifikasi punya keterkaitan dengan Orde Baru.
Ada yang kakak dan adik jadi petinggi di dua BUMN yang berbeda, ada anak tokoh, ada anak pejabat, ada anak pengusaha, ada keluarga pengusaha, ada ipar menteri, ada yang dari perusahaan tambang swasta diangkat jadi dirut BUMN transportasi, ada yang dirut perusahaan tambang swasta diangkat jadi dirut BUMN Tambang di jenis tambang yang sama, ada produser TV swasta jadi komisaris, ada tim sukses jadi komisaris, ada tim medsos jadi komisaris, ada aktivis organisasi ini itu, ada juga yang mewakili putra daerah…. Hufff banyak sekali.
Apakah Andre mengajak saya membuka kotak pandora itu? Apakah Andre mengajak saya membuka luka di tiap era dan mengoreknya hingga bernanah di saat negeri terkepung wabah?
Masalah berikutnya semua orang tahu bahwa yang mengatakan setuju atau tidak seseorang diajukan menjadi komisaris atau direksi ya Menteri BUMN dan jajarannya. Artinya orang awam juga tahu bahwa menteri sangat tahu tali temali, keterkaitan posisi ini itu dan bisnis itu ini. Apakah Andre bermaksud membahas semuanya sampai ke Menteri BUMN karena pada akhirnya secara hierarki, ya menteri yang bertanggung jawab.
Dalam politik semuanya mungkin. Lalu apakah mungkin Andre “menggunakan” saya untuk mengkritisi penempatan komisaris yang disetujui Menteri BUMN? Hmmmm, macam main billiard, tembak sini agar yang sana masuk lubang.
Mana yang ingin dibahas, direksi atau komisaris di BUMN anak, cucu atau cicit yang kepentingannya tidak terlalu sarat. Atau di BUMN induk yang gajinya ratusan juta, tantiem sampai milyaran rupiah yang pasti lebih sarat kepentingan dan konon saat ini rata rata punya keterkaitan dengan perusahaan swasta raksasa lainnya, hmmm dengan bisnis tambang, misalnya. Atau kita bahas kasus yang pernah diangkat salah satu Majalah Nasional terkait sebuah BUMN dan ratusan milyar uang yang pindah tangan?
Menurut saya bahasan itu nanti saja dulu, untuk sementara kita fokus pada potensi tidak tepatnya penggunaan uang negara dan peluang pelanggaran terhadap PP 23 / 2020 dan UU No. 2 / 2020. Jangan sampai fokus beralih ke komisaris lalu tiba-tiba bertrilyun uang dikucurkan tidak sesuai skema PP 23/2020.
Saran saya sekarang tetap fokus pada anggaran dulu agar Rp 8,5 Trilyun untuk Garuda dan trilyun-trilyun lainnya bisa diselamatkan. Agar anggaran sebesar itu bermanfaat untuk negara dan rakyat di saat pandemi ini. Semoga kalau ber-trilyun uang negara itu selamat, walau secara tidak langsung tapi mungkin bisa ikut “menyelamatkan” banyak orang di dapil saya, juga di dapil Andre, lho.
Kalau pemilik saham swasta itu sudah kaya raya, sebagai perusahaan go public, pakai sistem share profit, share pain juga beres, sekarang di masa pandemi ini, anggaran ke rakyat dulu saja.
Setelah selesai masalah anggaran, setelah pandemi berlalu, baru kita bicarakan apakah kotak pandora mau dibuka atau tidak. Bahkan kalau diskusi semakin meluas maka boleh saja pembicaraan berlanjut pada komisaris atau direksi yang punya keterkaitan dengan perusahaan yang punya catatan pelanggaran HAM, pelanggaran lingkungan hidup, perampasan tanah dan lain-lain yang ternyata juga punya kerja sama bisnis dengan BUMN dari dulu.*
Penulis merupakan Sekjen PENA 98.