PIRAMIDA.ID- Indonesia dipastikan akan mengalami resesi, meskipun sejumlah pengamat mengatakan belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah.
Tapi Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah memberikan sinyal jika ekonomi di kuartal III tumbuh di kisaran minus 2,9 persen sampai minus 1 persen.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik pada awal Agustus lalu mengumumkan jika pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok ke posisi minus 5,32 persen.
Jika kemudian Pemerintah Indonesia secara resmi mengumumkan kondisi resesi, maka ini menjadi resesi ekonomi pertama sejak tahun 1998.
Perlukah kita khawatir soal resesi?
Sebelum menjawabnya perlu dicari tahu dulu apa arti resesi.
Kita tidak akan menjelaskannya dengan istilah-istilah atau grafik-grafik ekonomi yang hanya akan membuat Anda bingung.
Tapi secara sederhana, negara yang mengalami resesi berarti perekonomiannya sedang lesu.
Resesi dinyatakan ketika pertumbuhan ekonomi sebuah negara mengalami penurunan selama dua kuartal berturut-turut.
Karenanya, menurut pakar ekonomi, seperti Abdullah Sanusi dari Universitas Hasanuddin di Makassar, secara teori Indonesia sudah mengalami resesi.
Ia mengatakan sektor-sektor di Indonesia yang sudah terlihat lesu adalah konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, dan pariwisata.
“Dengan demikian, daerah-daerah yang menggantungkan hidup mereka dari sektor-sektor tersebut, pasti akan kena dampak luar biasa,” ujar Abdullah yang juga lulusan Curtin University di Australia Barat.
Apa dampak resesi yang bisa langsung terasa?
Penurunan pertumbuhan ekonomi suatu negara bukan saja hanya berdampak pada pendapatan negara, cadangan devisa atau cadangan negara di bank sentral yang biasanya dalam mata uang asing, serta investasi saja.
Saat ekonomi melemah, investasi biasanya anjlok yang membuat produksi barang dan jasa akan menurun.
Akibatnya, lapangan kerja berkurang dan banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Orang-orang pun lebih menahan diri untuk tidak mengeluarkan uang, sehingga mengancam sejumlah pemilik usaha gulung tikar.
“Penyebab utama melemahnya daya beli adalah akibat pandemi COVID-19 yang telah menekan pendapatan masyarakat dan mengurangi permintaan atas barang konsumsi,” kata Abdullah.
Lantas bagaimana nasib dompet kita?
Ligwina Hananto, Lead Financial Trainer dari @qm_financial, Jakarta mengatakan resesi lebih merujuk pada kondisi keuangan negara secara makro, tapi keuangan pribadi tergantung pada kehidupan kita masing-masing.
Menurut Ligwina, kita sebaiknya fokus pada “saya bagaimana?”, “apakah kondisi keuangan saya sehat dan kuat?”
“Ibaratnya kita berada di kapal masing-masing, kapalnya ada yang besar dan kecil, lalu ada badai,” jelas Ligwina yang juga alumni Curtin University di Australia Barat.
“Walaupun kapalnya kecil tapi kuat, semua penumpangnya memakai pelampung, maka kita bisa melewati badai tadi.”
Lantas bagaimana mempersiapkan “badai” resesi? Menurut Ligwina bisa mengecek seberapa sehat kondisi uang kita dengan tiga hal.
Cek kesehatan keuangan:
Abdullah mengatakan pemerintah perlu memberikan lebih banyak lagi stimulus kepada masyarakat, meski sayangnya beberapa stimulus memiliki kendala dalam penyalurannya.
“Misalnya kredit murah bagi Usaha Kecil Menengah [UKM], meski bagus, namun dalam pelaksanaannya dirasakan sulit bagi UKM karena syaratnya yang berat dengan dokumen yang beragam,” jelasnya.
Ia mengatakan “ekonomi dari rumah” saat ini benar-benar harus menjadi perhatian dan mendapatkan dukungan dari pemerintah.
Ligwina menambahkan resesi memang buruk untuk ekonomi kita, tapi karena jumlah orang di Indonesia yang banyak, maka konsumsi akan selalu ada.
“Jadi jualan apa saja, pasti ada yang beli, tinggal membidik pasar saja, kelompok mana yang membutuhkan barang kita,” ujar Ligwina saat berbagi tips jika ada yang mau berdagang.