Oleh: Ticklas Babua-Hodja*
PIRAMIDA.ID- GMIH berdiri sebagai buah misi Utrech Zendings Verenigeeng (UZV) dari Belanda, seperti Hendrijk van Dijken yang berkerja di Halmahera sejak tahun 1866. Persekutuan orang percaya ini kemudian mengorganisasi diri menjadi GMIH pada 6 Juni 1949 dalam Sidang Proto Sinode yang bertempat di Tobelo. Sejak 1968 GMIH beroperasi kuliah teologisnya sendiri. Itu dipindahkan dari Ternate ke Tobelo pada tahun 1989.
Sejarah pra Zending Belanda
Pada abad ke-16, Xaverius, seorang utusan Injil Yesuit, datang di Halmahera dan bekerja di situ. Hasilnya banyak orang menjadi Kristen di pesisir Barat dari jazirah Utara, dan terutama di pesisir Timur yang disebut pantai Moro, tempat Galela dan Tobelo sekarang serta pulau Morotai.
Tetapi kekristenan dibawa dalam persoalan politik antara Spanyol dan Portugis yang juga mengakibatkan teradu dombanya Sultan Ternate dan Sultan Tidore. Terjadilah perang dan dalam perang itu agama Kristen di Halmahera dibasmi.
Zaman Zending Belanda (1866-1941)
19 April 1866 De Bode dan Van Dijken tiba di Galela dan memulai pekerjaan Injilnya melalui semboyannya: penginjilan lewat pembangunan negeri. Sehingga tidak mengherankan bahwa Van Dijken selain seorang penginjil adalah seorang petani ulung. Ia menanam kopi, coklat, panili, pala dan segala tanaman palawija serta tembakau.
Pertanian ini menarik simpati warga Galela yang masih belum mengenal system pertanian secara baik sehingga rumah Van Dijken menjadi tempat berkumpul banyak orang. Kesempatan ini dipakai Van Dijken untuk mengajar menulis dan membaca. Bahkan ketika wabah kolera menyerang, banyak orang yang disembuhkan Van Dijken.
Jelaslah bahwa zending melayani warga Halmahera melalui aspek-aspek kehidupan manusiawi. Dari sanalah orang mulai menjadi Kristen. Namun orang Kristen pertama baru dibaptis pada 17 Juli 1874 atau lebih dari 2½ tahun orang menjadi Kristen. Yang dibaptiskan ialah 5 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Sementara di Tobelo banyak orang yang dibaptis oleh Hueting dalam baptisan massal. Hueting tiba di Tobelo awal tahun 1897 atau 23 tahun setelah Van Dijken ditahbiskan menjadi penginjil di Ternate.
Hal ini lantas menjadi sebuah perbedaan pola pelayanan antara Van Dijken dengan Hueting yang selalu dicakapkan oleh peneliti sejarah GMIH. Bagi sebagian peneliti GMIH Van Dijken melakukan pola pelayanan dididik dahulu baru dibaptis, sementara Hueting dibaptis dahulu baru kemudian dididik.
Namun hemat saya peneliti bahwa ada banyak faktor yang membuat Van Dijken menempuh jalan seperti itu. Di antarafaktor agama Islam yang dipeluk oleh kesultanan Ternate yang juga sebagian warga Galela yang beraada di bawah daerah kekuasaan kesultanan Ternate.
Perkembangan pada abad ke-21
Pada Sidang Sinode GMIH XXV, 1-6 Juni 2002 di Tobelo, dibahas arah dasar hidup bergeraja GMIH dalam lima tahun ke depannya. Sidang Majelis Sinode GMIH ke-IV 2011 diadakan di Bukit Durian, Oba, Tidore Kepulauan. Rektor Universitas Halmahera, Dr. Julianus Mojau, pada tanggal 27 Februari 2011 hadir pada sidang tersebut untuk membawakan materi ceramah bertema “Mempererat Persekutuan dan Merawat Kemajemukan”.
Dari tema yang diangkat, seharusnya GMIH hari ini lebih mengutamakan persekutuan akar rumput demi menjaga agar GMIH lebih Utuh, Mandiri, dan Misionaris. Misi utama gereja harus lebih pada pembangunan negeri lewat pemberitaan kebenaran yang sejati, pelayanan akar rumput yang sehati.
Gereja Masehi yang tersebar diseluruh daratan Halmahera semakin keropos misinya yang termakan oleh waktu dan kepentingan. GMIH hari ini tidak lagi murni dengan tujuan bergereja melainkan memposisikan sebagai satu organisasi yang mengedepankan kepentingan melupakan ke-Tuhan-an.
Ya, pelayanan yang seharusnya melibatkan seluruh warga jemaat tidak lagi diperhitungkan melainkan diperdagangkan. Sulit mengubah paradigma ini ketika warga jemaat hari ini masih mengkomsumsi dogma yang terkadang membuat kita sebagai warga jemaat terjebak dalam pusat pelayanan yang sesungguhnya.
Sedih ketika kita mengenang sejarah masa pemberontakan dan pembebesan awal GMIH yang penuh dengan makna yang mendalam. Penghormatan terbaik bagi pendahulu semestinya diteruskan lewat apa yang telah di kemukakan pada misi jesuit dan pengabaran injil yang tersebar di Pulau Halmahera. GMIH di zaman modern ini telah melahirkan banyak kekosongan kehikmatan yang berasal dari pada yang Esa yang dipercaya sebagai Sang Kepala Gereja. Kenapa, segala bentuk pelayanan diperjual-belikan melalui dogma kotor yang menghitamkan sisi baik Gereja.
Di era Modern, Gereja diharapkan mampu menjawab tantangan zaman tanpa menghilangkan tanggungjawab sebagai tempat dimana orang melaksanakan persekutuan peribadatan. Disisi lain, Gereja juga harus mampu menjaga marwah sebagai pintu masuk orang-orang yang berakal budi serta memiliki SDM yang mampu bersaing dibidang ilmu apapun.
Namun, harapan itu seakan ditepis oleh sebuah nafsu manusia yang menjadikan Gereja sebagai Jalan Masuk menuju kepuasan pribadi, kelompok, bahkan golongan. Seakan kita semua di giring pada Dosa yang disempurnakan.
Mengenang hal tersebut, saya sebagai pemuda Gereja menyesalkan apa yang telah terjadi di zaman ini. Prihatin ketika saya dan seluruh generasi dipaksakan untuk menelan pil dogma yang menjauhkan kita pada hakekat sebagai orang yang benar-benar rindu untuk menjadi warga gereja yang baik.
Ada yang ketinggalan, asumsi tentang gereja nyatanya dihancurkan bahwa gereja yang sesungguhnya adalah ia yang serta-merta terlibat dalam struktural, peribadatan, dan penginjilan. Padahal, ketika kita telah memperkenalkan kebaikan dalam kehidupan sosial, itu merupakan substansi dari kita bergerja. Hal inilah yang dipertahankan sehingga kita tetap dipaksakan untuk meminum pil dogmanya.
Dalil merawat keutuhan berbuntut kehancuran bak kebaikan nyatanya omong kosong yang dikumandangkan.(*)
Penulis merupakan kader GMKI Cabang Jailolo. Aktif menulis di berbagai media.