PIRAMIDA.ID- Istilah pembangkangan sipil atau ‘civil disobedience’ dipergunakan pertama kali oleh Henry David Thoreau dalam esainya yang ditulis pada tahun 1848 untuk menjelaskan penolakannya terhadap pajak yang dikenakan pemerintah Amerika untuk membiayai perang di Meksiko dan untuk memperluas praktik perbudakan melalui Hukum Perbudakan.
Tetapi definisi pembangkangan sipil yang paling diterima secara luas ditulis oleh John Rawls di tahun 1971, sebagai gerakan tanpa kekerasan dan dilakukan dengan hati-hati dengan tujuan untuk membawa perubahan dalam hukum atau kebijakan pemerintah.
Menurut pengacara Hak Asasi Manusia Alghiffari Aqsa, pembangkangan publik “adalah gerakan yang dilakukan oleh warga secara terorganisasi, yang bisa jadi melawan hukum, dan digunakan untuk mengoreksi hukum atau kebijakan publik.”
Oleh karena itu, orang-orang yang terlibat dalam pembangkangan sipil bersedia menerima konsekuensi hukum dari tindakan mereka, karena ini menunjukkan kesetiaan mereka pada supremasi hukum.
Pemikiran Thoreau ini kemudian menginspirasi sejumlah tokoh seperti Mahatma Gandhi untuk melakukan gerakan pembangkangan sipil di India.
Bagaimana wujudnya?
Wujud ‘civil disobedience’ bermacam-macam, mulai dari aksi yang berdampak langsung pada pemerintah dan keberlangsungan negara, atau aksi simbolik seperti aksi diam.
Contoh gerakan yang berdampak langsung, menurut Zainal Arifin, adalah ajakan yang pernah dilakukan Khomeini untuk tidak membayar pajak dan listrik di Iran yang membuat negara tersebut kolaps.
Dalam konteks Indonesia, menurut Alghif, pilihan menolak membayar pajak tidak terlalu terasa karena kontribusi pajak perorangan jumlahnya tidak signifikan, berbeda dengan di negara lain yang pajaknya cukup besar.
Sementara Herlambang menambahkan, bentuk pembangkangan atau perlawanan juga bisa terlihat dari bagaimana sikap kita terhadap sebuah kasus.
“Misalnya saat DPR mengundang saya hadir di masa pandemi untuk membahas RUU ini, saya memilih tidak hadir sebagai sikap penolakan saya, ini salah satu contoh,” ujarnya.
“Aksi mogok, misalnya, ada mogok buruh saja. Tapi bisa juga mogok buruh, dan di saat yang sama mahasiswa juga mogok belajar, dosen mogok mengajar, semuanya mogok,” kata Alghif.
Apakah gerakan ini melanggar hukum?
Biasanya gerakan-gerakan yang dilakukan dalam rangka ‘civil disobedience’ ini memang melanggar hukum.
“Setidaknya pelanggaran dalam hal berkumpul atau berdemonstrasi, tapi warga tahu konsekuensinya,” jelas Alghif.
Jika seorang pembangkang dihukum, ia tidak dihukum karena pasal pembangkangan sipil, tetapi untuk pelanggaran yang diakui dilakukannya, seperti memblokade jalan atau mengganggu ketertiban umum, atau masuk tanpa izin.
Karenanya, perlu memiliki kesadaran atas resiko dari apa yang akan dilakukannya.
“Kalau seseorang melakukan pembangkangan sipil, dia harus siap untuk di-PHK oleh perusahaan, harus siap dengan segala konsekuensi yang ia hadapi, termasuk misalnya mereka yang berstatus pegawai negeri sipil harus siap menghadapi konsekuensi sistem birokrasi dalam konteks hukum Indonesia,” kata Herlambang.
Tapi, Alghif menambahkan, dalam beberapa kasus, biasanya para pembangkang sudah tahu risikonya dan rela dihukum.
“Mereka berpikir, ya sudah, kalau mau dihukum, hukum saja semuanya,” ujarnya.
Zainal Arifin mengingatkan, meskipun para pembangkang sudah mengetahui risiko atau konsekuensi hukum yang dihadapi mereka, dalam situasi pandemi seperti ini ada beberapa kalangan yang rentan.
Pada tahun 1955, Rosa Parks bertindak sendiri dan hampir secara spontan mengambil sikap diam-diam terhadap undang-undang pemisahan tempat duduk dalam bus di Alabama, Amerika Serikat.
Saat Rosa duduk di kursi bus yang bukan untuk kulit hitam, dia diminta menyerahkan kursinya itu kepada seorang pria kulit putih dan ia menolak dengan sopan.
Rosa ditangkap karena penolakannya ini, namun kemudian memicu aksi boikot bus yang berlangsung lebih dari setahun dan mengakibatkan perubahan pada undang-undang pemisahan tempat duduk di bus pada tahun 1956.
Pada bulan Maret 1930, Mahatma Gandhi dan puluhan pengikutnya berjalan sejauh 386 kilometer, menyuarakan pendapat tentang ketidakadilan harga garam di setiap kota yang mereka lewati.
Hukum kolonial Inggris melarang orang India menjual garam secara mandiri dan mengharuskan orang India membayar mahal untuk garam yang bahkan bukan dari India.
Pawai garam, atau satyagraha, berlangsung berbulan-bulan dan mendapatkan banyak pengikut sehingga 60.000 orang berakhir di penjara karena partisipasi mereka pada akhir tahun.
Pada awal 1931, Gandhi mencapai kesepakatan dengan para pemimpin Inggris, yang disebut Pakta Gandhi-Irwin, yang membebaskan semua tahanan tersebut dan mengizinkan orang India membuat garam untuk keperluan rumah tangga.
Di Estonia, Latvia, dan Lituania, aksi bernyanyi telah membantu mereka memperoleh kemerdekaan dari Uni Soviet.
Tahun 1986 sekelompok besar warga berkumpul untuk menyanyikan lagu-lagu tentang akar budaya mereka, padahal saat itu ilegal untuk menunjukkan patriotisme apapun terhadap budaya lain selain Rusia.
Ratusan sampai ribuan orang berkumpul menyanyikan lagu-lagu negara mereka, dan mengibarkan bendera mereka sambil bergandengan tangan.
Pada tahun 1991, pemerintah baru Rusia secara resmi mengakui Estonia dan negara-negara Baltik lainnya sebagai negara merdeka.
Dari berbagai sumber.