Oleh: Tony Simanjorang*
PIRAMIDA.ID- Tentu sebelum kita membahas mengenai topik utama kita, penulis ingin mencoba menyelaraskan persepsi kita terhadap pemaknaan “mahasiswa”.
Mahasiswa dalam KBBI adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan pemaknaan mahasiswa sebagai agent of change, merupakan penggerak seluruh masyarakat untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih positif dan lebih baik lagi dengan berdasarkan pertimbangan ilmu, pengetahuan, gagasan dan juga keahlian di bidang yang mereka kuasai.
Lebih dalam lagi, Soe Hok-Gie dalam buku catatan hariannya yang kemudian dibukukan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran”, mendeskripsikan mahasiswa itu seperti memainkan peranan sebagai cowboy: datang ke sebuah kota untuk menumpas kejahatan di kota itu. Setelah itu ia harus pergi lagi tanpa seorang penduduk kota itu mengetahui siapa penolong mereka dan kemana ia pergi. Berbagi ilmunya tanpa mengharap pamrih.
Banyak pendapat tentang penempatan mahasiswa di mata masyarakat, di mata cendekiawan, dan di mata aktivis.
Nah, berdasarkan dari beberapa kutipan di atas dapat diartikan bahwa mahasiswa merupakan orang yang belajar di perguruan tinggi dan merupakan kontrol sosial, yang artinya mahasiswa menjadi pewarta edukatif di tengah masyarakat, menjadi mitra kritis, dan sebagai penyalur aspirasi masyarakat kepada kaum hierarki yang seharusnya mitra kritis mahasiswa.
Lalu bagaimana dengan gerakan? Dalam KBBI, gerakan adalah perbuatan atau keadaan bergerak. Maka, jika kita maknai dengan sederhana gerakan merupakan proses untuk berpindah (tidak diam). Nah, ketika dikaitkan dengan gerakan mahasiswa, hal apa yang pertama sekali terlintas di benak sobat sekalian?
“Gerakan mahasiswa itu ada mulai sejak kapan, ya? Yang seperti apa kira-kira gerakan mahasiswa itu?” ini adalah beberapa pertanyaan sekilas bagi kebanyakan mahasiswa milenial dewasa ini.
Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas, dan kemampuan kepemimpinan.
Dalam sejarah mahasiswa tercatat bahwa gerakan mahasiswa ada di Indonesia sejak 20 Mei 1908 dan melebar di era reformasi. Gerakan awal tersebut bernama Boedi Oetomo.
“Beda zaman beda tantangannya, beda masa beda dinamikanya,” pernyataan Ini adalah sebuah kebenaran, namun apa benar di kota ini benar-benar tidak ada lagi sebuah polemik yang mahasiswa seharusnya hadir di tengah-tengah masyarakat? Mulai dari kasus TPL, kasus tanah sengketa, kebijakan pemerintah daerah atau penataan kota, berbicara mengenai anggaran, dan banyak hal yang seharusnya mahasiswa hadir sebagai pengkritik dengan ideologis dan sikap kritis terhadap instansi yang ada.
Ketika melihat berbagai hal, apa sebenarnya yang hilang dari gerakan mahasiswa?
Gerakan mahasiswa bukan tidak ada. Betul adanya beberapa kali muncul mencuat beberapa aksi mahasiswa, namun apa itu yang diartikan gerakan mahasiswa? Apakah mahasiswa itu hadir ketika timbul sebuah polemik sosial? Apakah standar dan kapasitas mahasiswa yang makin ke sini makin hilang rasa keberpihakan kepada kaum tertindas atau hilang kepekaan terhadap isu sosial yang berimbas dan merugikan banyak masyarakat? Ataukah rasa ideologi yang sudah mulai terkikis di kalangan mahasiswa? Atau apa mungkin lebih mementingkan ego sektoral masing-masing.
Kota Pematang Siantar dihuni ±21 perguruan tinggi dan 3 di antaranya merupakan universitas. Ini merupakan angka yang cukup banyak. Beranjak dari hal tersebut, harusnya kita bisa melihat begitu banyak ruang diskusi dan begitu kuatnya calon kaum intelektual yang menjadi patron menyongsong jeritan masyarakat Kota Pematang Siantar sekitar.
Kondisi Gerakan Mahasiswa di Kota Pematang Siantar
Gerakan mahasiswa saat ini sedang “opname” yang membutuhkan “antibodi”. Arti dari opname itu sendiri adalah diam. Mahasiswa melihat, mengetahui namun tidak bergerak menyalurkan dan menyuarakan aspirasi masyarakat.
Untuk menyembuhkan mahasiswa perlu berpikir kritis, dengan mencari tahu permasalahan sosial, isu dan kesenjangan yang perlu diselesaikan dan dicari solusinya. PMKRI sebagai wadah atau menjadi rumah untuk mendiskusikan, menyalurkan, mengembangkan dan menyelesaikan permasalahan dan gejolak di masyarakat.
Lagi dan lagi penulis mengambil kutipan dari Soe Hok-Gie, “Diam adalah sebuah perilaku penghianatan.” Ini mirip dengan gerakan mahasiswa dewasa ini. “Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa,” begitulah pesan Pramoedya Ananta Toer untuk kaum muda.
Mudah-mudahan gerakan mahasiswa ini tidak benar-benar mati. Kiranya kekhawatiran ini tidaklah sebuah kenyataan di generasi ini atau generasi mendatang, ini tugas kita bersama bagaimana kita tetap melestarikan gerakan mahasiswa.
Menjawab kekhawatiran terhadap gerakan mahasiswa, Kita sebagai mahasiswa harus menghidupkan kembali gairah berdiskusi, bergerak akan ketidakadilan dan melakukan konsolidasi lalu memperkuat kembali dunia literasi di kalangan mahasiswa.
Dan tugas yang paling berat adalah untuk mempertahankan “idealisme” sebagai mahasiswa untuk dapat dengan seutuhnya mengamanahkan kontrol sosial yang dipegang teguh, diestafetkan dari generasi ke generasi.
Singkatnya, kita mahasiswa yang dicetuskan sebagai generasi emas kiranya dapat meng-upgrade kapasitas, merawat dan mengingatkan nilai dari gerakan mahasiswa yang hadir di tengah polemik masyarakat dengan berbagai korban dari kejahatan struktural dan kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap masyarakat akar rumput.
Kiranya kita sebagai mahasiswa mampu memegang teguh amanat sejarah bahwa anak muda merupakan katalisator dalam pembangunan nasional yang berperan serta mewujudkan Indonesia sebagai negara yang adil dan sejahtera.(*)
Penulis merupakan Ketua BEM Universitas HKBP Nommensen Pematang Siantar dan Presidium Pendidikan Kader (PPK) PMKRI Cab. Pematang Siantar.