PIRAMIDA.ID- Sosial media tak ubahnya seperti versi modern dan virtual dari agora di era Yunani Kuno. Di kota-kota pada masa itu, agora adalah pusat segala kegiatan, baik secara fisik, maupun ekonomi dan sosial.
Agora adalah tempat orang-orang melakukan bisnis, barang-barang diperjualbelikan, dan ide-ide dipertukarkan.
Kita membayangkan ini karena alasan-alasan spesifik. Dalam berselancar, kita membuat video musik dan konten-konten lain, kerap kali tentang filosofi, dan menyebarkannya di internet.
Maka, platform media sosial menjadi “alun-alun” tempat kita memperdagangkan dan mempertunjukkan barang-barang kreatif kita.
Perjalanan ke dalam pasar ini bisa menakutkan — secara personal, finansial, dan ideologi.
Namun agora bukan hanya sekadar pasar; ini adalah panggung berbagai drama dalam kehidupan sehari-hari, dan tempat berbagai percakapan terjadi.
Melebihi tempat-tempat fisik lainnya, media sosial kini menyediakan ruang itu.
Dalam banyak hal, di panggung seperti itulah — umum, beragam, dan kacau — filosofi Yunani kuno pertama kali dipraktikkan.
Ketika filosofi bermula, kata-kata yang ditulis di dunia lisan Yunani masih terasa sangat mewah — maka ide-ide kerap kali disebarkan dengan cara ditampilkan secara lisan di ruang-ruang publik, tidak berbeda dengan pertunjukan puisi epik di zaman sebelumnya.
Jauh sebelum para filsuf menulis buku dan makalah, pemikiran-pemikiran mereka harus disampaikan ke publik dengan cara yang bisa menarik perhatian penontonnya.
Ada elemen menunjukkan diri di ruang publik di sana.
Filsuf ternama pra-Socrates, Xenophanes, menampilkan gagasan-gagasannya dengan cara mengadakan kontes, di mana para penyair berlomba untuk memenangkan hadiah dan gelar — semacam kompetisi rap filosofi.
Filsuf-filsuf dari era yang lebih lama bahkan membangun persona publik dengan cara yang sangat rumit.
Empedocles, yang dikenal sebagai penemu empat elemen dasar (tanah, air, api, udara), selalu tampil di muka umum dengan bergaya — jubah ungu, sabuk emas, sandal perunggu — dan menyebut dirinya sebagai dewa yang bereinkarnasi.
Jika saja para penampil ini juga diberi kesempatan untuk mengambil video, kita mungkin punya beberapa filsuf yang kemungkinan besar menjadi viral.
Mereka, dengan caranya sendiri, mirip dengan para pembuat konten dan pemengaruh pada zaman sekarang.
Otoritas intelektual mereka tidak hanya terbatas pada ide-ide saja, tapi juga kemampuan mereka mempertontonkannya, ditambah dengan kultus kepribadian yang mereka pakai untuk mengelilingi diri.
Bahkan filsuf Yunani kuno paling terkenal sekalipun mampu menyebarkan gagasan-gagasannya tanpa menuliskannya sama sekali.
Socrates, seperti yang kita tahu, melakukan percakapan-percakapan filosofis, biasanya di tempat umum.
Dia akan menantang ide-ide konvensional berbagai topik — memprovokasi sesama warga negara, dan yang sangat fatal untuk dirinya sendiri, memprovokasi pemerintah.
Seni filosofinya verbal, namun ekspresinya bisa disamakan dengan sebuah cuitan di Twitter atau unggahan Facebook. Seorang netizen pemberani di kolom komentar kehidupan intelektual Athena.
Eksploitasinya ini direka ulang untuk kita dalam bentuk tulisan oleh murid-muridnya, yang paling terkenal adalah Plato.
Dalam banyak cara, dialog-dialog Socrates ini, yang kemudian memulai sebuah tradisi filosofikal, dapat dibaca dalam bentuk biografi fiksional layaknya seorang influencer — Koleksi Utas Twitter Socrates. Dituliskan kembali secara bebas, namun semangatnya tetap sama.
Di era media sosial, kita mungkin kembali pada keadaan di mana kebijaksanaan seseorang bergantung pada kemampuan mereka menampilkannya secara efektif — dengan tambahan, mereka dapat mengemasnya menjadi konten.
Namun, seperti yang dibuktikan dengan adanya “perang informasi” di masa kini, Plato pernah mengatakan bahwa masalah akan timbul ketika penampilan kompetitif dari kebijaksanaan tak bisa dibedakan dengan orang-orang yang benar-benar bijaksana.
Jika Anda viral di media sosial, apakah ini berarti apa yang Anda unggah selalu bermakna? Popularitas mungkin bisa dihitung dengan tanda ‘suka’, tapi kebijaksanaan tidak.
Dan Plato menugasi dirinya sendiri untuk mencari keberadaan filsuf sejati atau ‘true philosopher‘, orang-orang yang tulus “mencintai kebijaksanaan”, dan membedakan mereka dari para sofis — atau “sophers” — yang tampak bijaksana namun sebatas penampilan semata.
Dia ingin memisahkan para influencer yang baik dari yang buruk.
Socrates pun tidak terkesan dengan orang-orang yang suka pamer moral. Maka dia sepertinya akan merasa sama terhadap orang-orang di media sosial yang kerap mengkritik orang lain supaya lebih baik dan bermoral.
Semakin Anda mempertontonkan betapa bermoralnya Anda, Socrates berpendapat, maka semakin besar kemungkinan Anda tak menyadari kekurangan moral Anda sendiri.
Saat menulis “Republic“, Plato membayangkan masyarakat yang ideal, yang hidup dengan tertib dan damai di bawah kepemimpinan seseorang yang mampu mendapatkan kebenaran sejati dari segala bentuk opini publik — seorang filsuf.
Untuk membedakan informasi baik dan buruk — pemengaruh baik atau buruk — Plato menerapkan sensor ke dalam kota teoritisnya.
Jenny Jenkins, dari Universitas Swansea, berspekulasi apakah Plato akan memperbolehkan rakyatnya menggunakan Facebook, dan menyimpulkan sang filsuf pasti menjawab “tidak”.
“Facebook tidak punya niat untuk mempromosikan moralitas, dan tidak pula ingin memberi edukasi pada penggunanya,” tulis Jenkins. “Jadi berdasarkan alasan-alasan itu saja, saya rasa Plato tidak akan memperbolehkannya.”
Plato justru mengajukan supaya pendidikan dan hiburan, juga percakapan secara umum, diregulasi dengan ketat. Ini berarti, praktis semua bentuk seni independen dilarang.
Jika tidak memajukan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip rasional, maka harus dilarang.
Dalam platform idealnya, satu-satunya yang boleh menciptakan konten adalah negara, dan konten itu adalah “Bentuk Kebaikan”, yang diambil dari wawasan filosofi.
Kita mungkin terkejut dengan bagian ini dari buku Republic, dan segera teringat pada negara-negara yang memberlakukan sensor internet secara agresif.
Namun jika dilihat dari sudut pandang kontroversi-kontroversi paling terkini saja, seperti disinformasi vaksin atau polarisasi politik, kita bisa memahami apa yang ditakutkan Plato dalam eksperimen sosio-politik imajinasinya itu.
Dalam “Phaedrus“, Plato menulis kembali kisah mitologi Mesir, di mana raja-dewa Thamus mengkritik penemuan dewa Theuth berupa bahasa tulisan.
Theuth menawarkan tulisan sebagai hadiah bagi umat manusia, namun Thamus meramalkan ini akan membawa efek korosif pada kebudayaan manusia.
“Akan ada banyak pendengar, tanpa benar-benar belajar; mereka akan terlihat tahu banyak, tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa; dan orang-orang akan sengsara bila ada di dekatnya, karena dia tampak bijaksana, tapi tak benar-benar memiliki kebijaksanaan.”
Bagian ini tampak seperti kritikan tajam pada era informasi: mesin perambah, aksesibilitas data instan, dan percakapan media sosial yang penuh dengan kepercayaan diri.
Indera manusia, bagi Plato, tidak memadai untuk memahami kebenaran yang sejati, maka hal-hal yang kita sangka realitas sesungguhnya hanyalah sebuah imaji.
Maka, gambaran yang kita buat — foto, cerita, representasi dalam bentuk apapun — adalah imaji dari imaji.
Dan, pada akhirnya, apapun yang kita unggah ke internet adalah imaji dari imaji dari imaji, karena telah disunting, dikomentari, dipantaskan untuk kepentingan sirkulasi digital.
Tak seperti agora di era Yunani kuno, di mana semua orang bisa terperdaya oleh sophis di waktu bersamaan, agora virtual berbeda untuk setiap orang.
Kita “sendirian secara bersamaan” dan ini menambah lapisan berbeda di antara kita secara pribadi dan pengalaman kolektif kita akan apa yang sebenarnya terjadi.
Plato bukan satu-satunya murid Socrates. Pemikir penerusnya yang lain adalah Diogenes dari Sinope.
Diogenes berpendapat, karena kebijakan tidak bisa dijangkau oleh semua orang, maka peran seorang filsuf bukanlah untuk mengontrol dan memimpin masyarakat, melainkan menjauhkan diri darinya, kemudian mengomentarinya dari sisi luar.
Diogenes adalah filsuf seniman yang mengejutkan. Dia tinggal di jalanan, buang air dan bermasturbasi di depan umum, serta melontarkan kritik pada orang-orang yang lalu lalang — baik sesama warga maupun pejabat.
Dia adalah prototipe ‘troll‘ masa kini. Celakalah warga Athena yang unggahannya dikomentari oleh Diogenes.
Perilakunya ini membuahkan julukan “seperti anjing” atau “si sinis”. Filosofi Sinisme ini mirip dengan apa yang terjadi di media sosial: budaya oposisi, satir dan kritik kejam.
Ruang apa yang paling cocok untuk Sinisme Klasik semacam ini kalau bukan Facebook, Instagram, Twitter, dan lain sebagainya?
Namun Sinisme bukanlah satu-satunya respons atas kegagalan dan ketidakmampuan komunikasi perilaku manusia.
Sebuah gagasan yang mencerminkan kembali pemikiran Plato, juga beberapa filsuf lain dari era pra-Socrates, adalah Stoicisme.
Stoicisme memahami bahwa seluruh kosmos adalah satu organisme yang hidup, entitas kesatuan di mana kita semua menjadi bagiannya.
Sebagai makhluk rasional, kita memiliki kapasitas untuk memahami keinginan rasional kita sendiri, dan berlaku sesuai dengannya.
Mungkin para Stoic lah — yang anggotanya terdiri dari orang-orang dari semua kelas, budak dan orang bebas, orang Yunani dan Romawi — yang memiliki perasaan campur aduk, bahkan sedikit rasa optimisme pada kemungkinan yang ditawarkan oleh media sosial.
Setidaknya karena media sosial menawarkan mekanisme konektivitas, mereka bisa membuat komunitas sungguhan — terutama ketika para penggunanya bisa berkomunikasi dengan niat baik dan saling menguntungkan.
Seorang Stoic mungkin akan bertanya, apakah Anda menggunakan platform ini untuk menyumbangkan kebaikan kepada manusia lain? Atau untuk memuja, menghibur atau lari dari diri sendiri? Jika alasannya yang pertama, silakan; tapi jika alasannya yang kedua, hapus saja akun Anda.
Jadi ketika saya mengunggah “konten filosofis” — apakah saya melakukannya untuk mendapatkan tanda suka, ataukah untuk menyebarkan kebijaksanaan? Atau mungkin sedikit dari keduanya?
Konektivitas kita saat ini terus menjadi sumber dari kemajuan terbaik sekaligus disfungsi terburuk umat manusia.
Namun ini juga berlaku bagi semua tempat pertemuan manusia lainnya — alun-alun kota, agora, tempat pertemuan — ruang di mana kita bertemu satu sama lain dengan segala kebaikan dan keburukan. Dan dengan bertemu orang lain, terkadang kita bisa menemukan diri sendiri.(*)
Source: BBC Indonesia