PIRAMIDA.ID- Kisah Canon, seekor anjing yang mati setelah ditangkap aparat setempat untuk dipindahkan dari Pulau Banyak ke daratan Aceh Singkil, Aceh, mendapat banyak perhatian publik belum lama ini.
Pemindahan anjing itu oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berkaitan dengan peraturan di tujuan wisata halal yang tidak mengizinkan keberadaan anjing di tempat itu.
Ada dugaan Canon mati karena kehabisan nafas dalam pemindahan menggunakan keranjang yang tertutup. Satpol PP setempat menyatakan pemindahan itu sudah sesuai prosedur dan anjing itu diduga mati karena stress.
Kisah Tayo, seekor kucing peliharan yang dicuri dan dijagal di Medan, memiliki ujung yang berbeda dengan Canon.
Si penjagal kucing Tayo, Rafeles Simanjuntak, mendapat hukuman 2,5 tahun penjara karena terbukti mencuri dan membunuh hewan peliharaan orang lain.
Aturan melindungi hewan dan menghukum orang yang menyiksa binatang sudah ada di Indonesia, tapi penerapannya belum maksimal.
Nomor satu dalam konten penyiksaan hewan
Kisah Canon dan Tayo seakan menegaskan predikat ‘juara dunia’ untuk Indonesia dalam konten penyiksaan hewan.
Laporan Asia for Animals Coalition (AfA) tahun ini, Indonesia menempati pada peringkat 1 untuk wilayah yang terbanyak baik dalam pembuatan maupun pengunggahan konten kekejaman terhadap hewan di media sosial.
AfA mengkaji 5.480 konten penyiksaan hewan yang berhasil didokumentasikan dari YouTube, Facebook dan Tiktok. Dari jumlah ini, 1.626 konten dibuat di Indonesia dan 1.569 konten diunggah di Indonesia.
Kasus penyiksaan terhadap hewan merupakan fenomena global.
Di tingkat dunia, pada 2019 Perserikatan Bangsa-Bangsa mengusulkan konvensi kesehatan dan perlindungan hewan (United Nations Convention on Animal Health and Protection (UNCAHP)).
Usulan konvensi ini sudah ada sejak 1988 lewat inisiatif International Convention for the Protection of Animals (ICAP). Pada 2005, Universal Declaration on Animal Welfare (UDAW) diusulkan untuk menjadi kesepakatan di PBB.
UNCAHP ini menjadi salah satu solusi untuk menghadapi tantangan dalam perlindungan hewan dan kesehatan global yang dihadapi dunia. Apakah Indonesia sudah memenuhi konvensi ini?
Aturan perlindungan hewan
Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi untuk menjamin kesejahteraan dan perlindungan terhadap hewan di Indonesia.
Pasal 302 dan Pasal 540 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya.
Pada Pasal 302 mengatur bahwa seseorang yang melakukan penganiayaan kepada hewan (baik ringan maupun berat) dapat dipidana maksimal 9 bulan dan denda maksimal Rp 400 ribu rupiah. Penganiayaan ringan dalam pasal tersebut adalah tindakan yang dengan sengaja dilakukan untuk menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya.
Penganiayaan berat adalah jika tindakan mengakibatkan hewan sakit lebih dari seminggu, cacat, menderita luka berat, atau mati.
Pasal 540 mengatur bahwa seseorang dapat dipidana paling lama 14 hari dengan denda maksimal sebanyak Rp 200 ribu jika menggunakan hewan untuk bekerja di luar kemampuannya; menggunakan hewan untuk pekerjaan dengan cara yang menyakitkan hewan; menggunakan hewan yang cacat/hamil maupun menyusui/ kudisan/ luka untuk pekerjaan; mengangkut atau menyuruh hewan tanpa diberi makan atau minuman.
Salah satu pasal dalam Undang-Undang (UU) No. 18 tahun 2009 dan UU No. 41 tahun 2014 tentang peternakan dan kesehatan hewan mengatur bahwa setiap orang dilarang untuk menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan hewan menjadi cacat dan/atau tidak produktif.
Pada UU ini ditekankan bahwa pemerintah (baik pusat maupun daerah) memiliki bagian dalam menjamin perlindungan hewan. Hukuman yang dapat dijatuhkan adalah pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 3 bulan serta denda paling sedikit Rp 1 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 juta.
Peraturan Pemerintah (PP) No. 95 tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan juga menjamin kesejahteraan hewan dengan menerapkan prinsip kebebasan hewan.
Kebebasan ini adalah bebas dari rasa lapar dan haus; bebas dari rasa sakit, cidera dan luka; bebas dari ketidaknyamanan, penganiayaan dan penyalahgunaan; dan bebas untuk mengepresikan perilaku alaminya.
Belum efektif
Jelas, bahwa ada regulasi yang mengatur bahwa orang yang melakukan penyiksaan terhadap hewan dapat dipidana.
Penerapan regulasi dengan baik tentunya dapat menghapus tindakan penyiksaan terhadap hewan.
Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah aturan-aturan ini telah berhasil untuk diterapkan?
Menurut Doni Herdaru Tona, pendiri Animal Defender Indonesia (ADI) yang juga terlibat dalam advokasi kasus Tayo di atas, aturan hukum bagi penyiksa hewan masih terlalu ringan.
Aturan dan ancaman hukuman yang ringan tidak dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku penyiksaan hewan. Terlebih lagi, menurut Doni, para aparat penegak hukum masih “meremehkan” laporan terkait penyiksaan hewan.(*)
Source: The Conversation