PIRAMIDA.ID- Budaya Eropa khususnya Belanda, memiliki pengaruh kuat sebagai faktor pendorong masuknya susu ke Hindia Belanda. Tidak hanya itu, karena budaya Eropa-lah susu menjadi bagian dari kebutuhan pangan orang-orang Indonesia hingga saat ini.
Orang Eropa khusunya Belanda pada umumnya memang memilki tradisi gembala, selain itu kualitas susu dari sapi perah Belanda juga baik. Masyarakat Belanda juga memiliki kebiasaan mengonsumsi sapi perah, hal yang berbeda jauh dengan budaya Nusantara saat itu.
Saat zaman kolonial, susu merupakan sajian yang sangat tidak akrab di lidah orang Indonesia. Mereka menganggap susu sebagai sajian yang menjijkan dan tidak untuk dikonsumsi, hal ini diungkapkan oleh sejarawan makanan, Fadly Rahman.
“Orang pribumi dulu menganggap bahwa susu sama halnya dengan darah, sama dengan nanah yang ada di dalam tubuh hewan yang menjijikan untuk dikonsumsi,” jelas pria yang juga menjabat sebagai dosen Departemen Sejarah Universitas Indonesia (UI) dikutip dari Kompas.
Fakta tersebut tidak terjadi begitu saja, ada alasan mengapa masyarakat Nusantara saat itu tidak terbiasa memamfaatkan susu sebagai bahan pangan. Hal ini dilihat dari kebudayaan masa lampau beberapa kawasan di Asia yang merupakan negara agraris, seperti China Selatan dan beberapa kawasan di Asia Tenggara.
Masyarakat di kawasan ini tidak memiliki tradisi menggembala. Mereka hanya fokus dengan bertani dan memamfaatkan hasil dari usaha bercocok tanam. Kesaksiaan ini diungkapkan oleh seorang Eropa, yaitu Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stamford Raffles, dalam bukunya The History of Java.
Dirinya menyatakan jika orang pribumi–khususnya Jawa–tidak memanfaatkan susu dari kerbau dan sapi. Dalam buku tersebut Raffles mengungkapkan, jika orang pribumi tepatnya orang Jawa, melihat kerbau sebagai hewan yang hanya bisa dimanfaatkan tenaganya saja, yaitu untuk membajak sawah.
Maka dari itu jumlah sapi perah di Hindia Belanda yang dapat menghasilkan susu dengan kualitas baik sangat rendah. Hal tersebut mendorong pemerintah Kolonial untuk membudidayakan susu di Indonesia dengan mengimpor sapi perah dari India, Belanda, dan Australia, pada abad ke 19 dan 20.
Salah satu daerah dan yang pertama kedatangan sapi perah impor adalah kawasan Lembang, Bandung. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan orang Eropa kala itu. Ketika itu, susu memang ditunjukan hanya untuk konsumsi oleh bangsa Eropa bukan untuk kaum pribumi.
“Lembang memiliki kondisi iklim yang sangat mendukung kemudian banyak pemukiman orang Eropa juga dari arah Kecamatan Dago, Jalan Setiabudi dan Lembang, Bandung karena cuacanya sesuai dengan di Belanda,” papar Fadly.
Menurut catatan sejarah, pada tahun 1938 di wilayah Bandung terdapat 22 usaha pemerahan susu dengan produksi 13.000 liter susu per hari. Hasil produksi susu ini ditampung oleh Bandoengsche Melk Centrale (B.M.C) untuk diolah sebelum disalurkan kepada para langganan di dalam maupun di luar kota.
“Direktur B.M.C dengan nada sedikit sombong menulis: Vergeet U niet, dat er in geheel Nederlandsch Oost – Indie slechts een Melk centrale is, en dat is de Bandoengsche Melkcentrale (Anda jangan lupa, bahwa di seantero Nusantara ini cuma ada satu pusat pengolahan susu dan itu adalah Bandoengsche Melk Centrale,” jelas Achmad Sunjayadi, pengajar program studi Belanda Universitas Indonesia.
Berbagai upaya jadikan susu panganan masyarakat Nusantara
Pada masa itu, susu memang hanya dikonsumsi oleh masyarakat Belanda, selain distribusinya yang terbatas waktu itu, orang menggunakan susu untuk memasak kari sebelum digantikan santan kelapa. Karena itulah susu hanya dikonsumsi oleh masyarakat Belanda dan kaum elite di Indonesia.
“Jadi pada waktu itu, orang Belanda yang mempunyai usaha peternakan sapi perah itu kaya raya, bahkan makmur. Jadi peternakan (sapi perah) di Indonesia itu awalnya memasok susu ke militer untuk memberi asupan nutrisi bagi tentara Belanda,” ucap Hendro Harijogi Peodjono Direktur dan Corporate Affairs and Agro Blue Waves Group, Singapore.
Namun memang, lambat laun banyak orang Indonesia dari kalangan menengah ke atas, seperti kaum priayi, atau mereka yang memiliki latar belakang pendidikan dan bisa membaca serta menerima informasi dari bahasa Belanda, perlahan mengetahui jika susu memiliki banyak kandungan gizi.
Bukan hanya susu, orang Indonesia dari kaum priayi, kaum terpelajar, dan masyarakat menengah ke atas, juga mengkonsumsi makanan olahan dari susu, misalnya keju dan mentega. Mereka memang sengaja mengkonsumsi bahan makanan yang berbahan dasar susu sebagai kebutuhan pangan sehari-hari.
“Tapi masyarakat kita (golongan bawah) masih menganggap susu adalah minuman yang hanya dikonsumsi oleh orang kulit putih (Belanda), serta golongan tertentu yang berkuasa. Sehingga muncul anekdot jika mau berkuasa, maka minumlah susu,” ucap Sunjayadi.
Salah satu cara untuk mempromosikan susu kepada masyarakat berasal dari iklan yang disebarkan lewat media massa saat itu. Iklan-iklan susu dan produk olahan dari susu dikemas dengan sangat menarik.
Salah satunya iklan Melkerij “Petamboeran” yang merupakan peternakan tertua dan terbesar di Petamburan, Palmerah, Jakarta Barat. Iklan tersebut memperlihatkan bahwa para turis (orang Eropa) tak perlu khawatir, karena di Hindia juga tersedia minuman susu yang bisa mereka konsumsi.
“Iklan-iklan dalam koran dan majalah ikut mempropagandakan untuk minum susu. Ketika industri periklanan sudah makin berkembang di masa akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, salah satu yang dipropagandakan dan sering dilontarkan ke media masa adalah dorongan masyarakat untuk minum susu,” ujar Fadly.
Empat sehat lima sempurna hanya slogan?
Bedasarkan hasil kongres Food and Agricultural Organization (FAO) tahun 1948, ahli gizi Indonesia, Poorwo Soedarmo, menyusun pola konsumsi sehat bagi masyarakat Indonesia yang meliputi kacang hijau, kedelai, dan susu. Menurutnya, asupan itu amat berfaedah dan harus disukai segala kalangan, khususnya anak-anak.
“Semua itu ia pikirkan setelah melihat kasus-kasus malnutrisi dan kelaparan hebat pada masa sulit dan peperangan di Indonesia sepanjang 1930-1940 an,” kata Fadly.
Pada masa kemerdekaan, kebanyakan rakyat Indonesia juga masih menganggap susu sebagai konsumsi kaum elite. Padahal Soedarmo menilai susu adalah penyempurna dalam menu makan yang dikonsumsi sehari-hari.
“Maka itu, Soedarmo merumuskan konsep bernama Empat Sehat Lima Sempurna,” kata Fadly.
Tapi kampanye ini pada akhirnya terbukti tidak cukup kuat mendorong masyarakat Indonesia minum susu. Puluhan tahun setelah kampanye ”4 Sehat 5 Sempurna” diluncurkan, tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 menunjukan bahwa masyarakat Indonesia hanya mengkonsumsi 16,62 kg susu per kapita per tahun. Angka tersebut membuat Indonesia masuk ke dalam kategori rendah soal konsumsi susu menurut standar FAO.
Kategori rendah berarti konsumsi susu kurang dari 30 kg per kapita per tahun. Indonesia berada dalam ketegori ini bersama mayoritas negara Asia Tenggara, Asia Timur, dan Afrika Tengah, China, Ethiopia, dan Yaman. Indonesia malah kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia yang mengkonsumsi 36,2 kg per kapita per tahun.
Selain itu, produksi susu segar dalam negeri (SSDN) masih belum ideal, sehingga konsumsi susu per kapita di Indonesia juga masih rendah. Ini tidak lepas dari tingkat kepemilikan sapi perah yang masih minim dan didominasi oleh peternak rakyat.
Populasi sapi perah di Indonesia saat ini tercatat ada 584.582 ekor, dengan produksi SSDN pertahun sebesar 997.35 ribu ton. Jumlah sebesar itu baru mencangkup 22 persen dari total kebutuhan, yaitu 3,8 juta ton/tahun yang sisanya tentu didapatkan dari impor.
Fadly mengungkapkan populasi sapi perah di Indonesia pun tidak sebanyak negara lain, seperti Jepang, yang pada dasarnya memiliki wilayah geografis lebih kecil dibanding Indonesia.
“Artinya memang setelah masa kolonial, perkembangan susu sapi perah di Indonesia tidak berkembang pesat,” katanya.
Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), Dedi Setiadi, mengatakan ada beberapa hal yang perlu dibenahi guna mendongkrak produksi SSDN. Seperti ketersediaan pakan ternak karena keterbatasan lahan, bibit sapi, kepemilikan sapi, produktivitas hingga kualitas susu. Juga penekanan pemahaman mengenai Good Dairy Farming Pratice (GDFP) bagi para peternak untuk menghasilkan susu dengan kualitas baik.
“Dengan begitu bisa mendapatkan harga susu yang tinggi dan berujung kepada peningkatan kesejahteraan peternak,” ujarnya, mengutip Bisnis.com.
Sementara itu, pakar peternakan dan Industri Susu, Tridjoko Wisnu Murti, mengatakan pentingnya konsumsi susu dalam upaya mencetak generasi Indonesia maju di masa mendatang. Menurutnya, Sumber Daya Manusia (SDM) harus benar-benar diperhatikan agar tidak menjadi beban demografi di masa mendatang.
“Kalau menghadapi masyarakat 5.0 gizinya tidak cukup akan mempengaruhi kualitas manusianya. Gizi kurang, mutu rendah nantinya akan menjadi beban demografi. Kalau gizinya cukup dan sehat, anak cerdas dan produktif, mutu SDM tinggi akan menjadi aset dan mengisi masa bonus demografi di masa yang akan datang. Masyarakat super cerdas itu perlu dipersiapkan, di antaranya pangan produksi peternakan, khusunya susu,” beber Tridjoko dalam Bisnis.com.(*)
GNFI