Oleh: Yudhie Haryono, Ph.D
PIRAMIDA.ID- Tak ada manusia bercita-cita menjadi miskin. Tak ada manusia Indonesia mau dimiskinkan. Tak ada di antara kita rela hidup dalam dekapan kemiskinan. Dus, miskin, dimiskinkan dan kemiskinan adalah musuh umat manusia sedunia.
Menegaskan hal itu, bapak proklamator Mohammad Hatta (1946) berucap, “merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat dengan mengandangkan kemiskinan secara revolusioner.”
Jelas. Kebahagiaan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir bernegara. Apa itu kebahagiaan? Adalah keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kecukupan hingga kesenangan, cinta, kepuasan dan kenikmatan secara intens.
Sedangkan kemakmuran (prosperity) dalam kamus Webster’s Revised Unabridged Dictionary (February 2009) adalah keadaan yang berkembang, berkemajuan dan memiliki keberuntungan baik atau memiliki status sosial yang sukses. Kemakmuran seringkali mencakup kekayaan dan faktor-faktor lain semisal kebahagiaan, pendidikan dan kesehatan.
Dalam bernegara, kemakmuran tidak bisa berlaku individual melainkan harus bersama atau menasional. Karena itu makna kemakmuran nasional adalah: 1)Semua harta milik dan kekayaan potensi yang dimiliki negara untuk keperluan seluruh rakyat; 2)Keadaan kehidupan negara yang rakyatnya mendapat kebahagiaan jasmani dan rohani akibat terpenuhi kebutuhannya.
Cara sebuah negara agar bisa makmur, secara garis besar dan paling efektif adalah dengan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah sendiri dan diperuntukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Maka dari itu tidak ada alasan bagi pemerintah untuk memberikan peluang kepada pihak asing maupun “aseng” untuk mengelola atau bahkan menguasai sumber daya alam yang ada di bumi pertiwi ini. Sebab, sampai kapanpun, hal itu tidak akan mewujdukan kemakmuran bagi bangsa Indonesia. Kemakmuran akan terwujud bila kekayaan alam Indonesia semuanya dikelola, dikuasai, dimiliki dan dimanfaatkan oleh, dari dan untuk warga negara Indonesia.
Pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dan dalam pengelolaannya harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan agar sumber daya alam tidak hanya dapat dinikmati oleh generasi sekarang, namun juga untuk pemanfaatan jangka panjang oleh generasi yang akan datang.
Pengelolaan sumber daya manusia demi kemakmuran bangsa dilakukan dengan cara meningkatkan mutu pendidikan. Dus, pendidkan yang dilakukan harus membentuk kepribadian dan watak manusia sebagai warga negara yang baik, jujur, inovatif, solutif dan jenius.
Tentu agar tidak terjadi praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang saat ini telah menjadi penyakit pejabat tinggi negara sehingga kemakmuran bangsa susah untuk dicapai.
Dalam sejarahnya, istilah kemakmuran mengalami beberapa perluasan. Misalnya menjadi “persemakmuran atau negara-negara persemakmuran (Commonwealth of Nations)” yang merupakan persatuan secara sukarela negara-negara berdaulat yang didirikan atau pernah dijajah oleh pihak Britania Raya (atau sering disebut sebagai Inggris).
Tentu banyak perkembangan isu lain dari soal kemakmuran ini. Itulah mengapa, kali ini, kami di Nusantara Centre akan menampilkan ketikan serial kuliah umum bertema “kemakmuran,” yang nantinya dapat dibukukan buat para pembaca dan pecinta pengetahuan. Setidaknya, tema keakmuran ini penting karena lima hal.
Pertama, kemiskinan kita tak habis-habis. Rezim sudah berganti-ganti tetapi problem utama berbangsa dan bernegara tak bisa diselesaikan. Setidaknya sampai saat ini, elite kita gagal, gugup dan tak sanggup selesaikan.
Kedua, konsep dan roadmap kemakmuran belum solid dan dijadikan model utama pengentasan kemiskinan. Alih-alih solid, riset-riset dan narasi kemakmuran makin hilang dari peredaran.
Ketiga, tak banyak agensi yang memahami teori dan konsep ini sehingga kita minim agensi dan subjek-subjek yang serius bekerja di bidang ini.
Keempat, tak banyak buku dan isu yang serius menulis dan merisetnya. Akibatnya, kita abai pada soal maha penting ini di republik.
Kelima, kemakmuran masih dianggap bukan cita-cita bersama bernegara. Tetapi ia dianggap projek individual. Akibatnya, kondisi makmur dianggap hanya keadaan individu yang berkembang, berkemajuan, memiliki keberuntungan dan memiliki status sosial yang sukses. Kemakmuran hanya soal kekayaan, kejayaan, kebahagiaan, keterdidikan dan kesehatan personal; bukan bersama.
Dus, tema kemakmuran ini menjadi sangat penting saat negara-negara besar full nalar memperebutkan ekonomi dan teknologi dunia demi seribu tahun nasib mereka, ketika bangsa kita sibuk ribut tanpa malu dengan basis identitas purba dan dipimpin para gelandangan politik yang defisit terobosan besar.
Di tangan para gelandangan politik, kisah republik kita jadi cerita sedih yang tak mampu selesaikan macet, banjir, kemiskinan dan utang. Mereka cuma sibuk kapling harta, ayat dan syorga. Maka, kita yang crank mari jangan jemu bertemu. Mencari solusi untuk negeri.
Itulah alasan kami meriset kemakmuran dan sejarah kesejahteraan di Indonesia. Tentu sambil menyadari bahwa kemakmuran itu apa yang kita punya. Sedangkan kesejahteraan itu apa yang kita rasa (lahir dan batin). Tetapi, keduanya setali dua wajah: pasangan yang saling menguatkan, bukan menafikan. Semoga para pembaca bisa ikut diskusinya demi cita-cita besar kita dalam berbangsa dan bernegara. Aamiin.(*)
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre.