PIRAMIDA.ID- Anda merasa jenuh dengan bermain dengan gim di ponsel dan laptop? Terlalu lama bermain gim bisa menyebabkan kerusakan mata akibat radiasi layar, meski dapat mengasah otak Anda, sahabat. Cobalah ajak teman-teman Anda melakukan permainan lain di luar rumah.
Anda bisa mencoba berbagai jenis permainan tradisional yang diwariskan dari waktu-ke waktu. Jika Anda perhatikan, ada banyak permainan tradisional yang mudah dilakukan di sekitar kita tanpa harus membeli atau memakai bahan.
Misal, ada permainan petak umpet, gobak sodor, jamuran, dan ancak-ancak alis. Permainan kita juga sempat berkembang berkat percampuran berbagai budaya, seperti masa kolonialisme Belanda, yang membawa permainan olaharga seperti voli dan sepak bola.
Mengutip buku Menelisik Permainan Anak-Anak dari Zaman Hindia yang ditulis Pusat Data dan Analisis Tempo, Seniman Belgia Rudi Corens berpendapat, ternyata beberapa permainan tradisional Nusantara sebagian juga dimainkan di Eropa.
Namun, bukan berarti permainan itu muncul karena kolonialisme atau percampuran, melainkan memang sudah mengakar di tengah masyarakat. Itulah yang membuat Corens berpendapat, sulit melacak asal-usul keaslian sebuah permainan, karena sifatnya yang memang universal.
Misal, kuda lumping di Nusantara ternyata dimainkan di Inggris sebagai hobby horse, gelindingan–menggunakan balok kayu untuk mengarahkan ban digelindingkan–dimainkan di Belanda dengan hoepoel lopen, patok lele yang disebut pietelen, dan bekel ternyata juga ada di Belgia walau bukan menggunakan bola karet seukuran bola pingpong yang kita kenal.
“Yang digunakan bermain hanya pewter yang dimainkan dengan tulang kecil dari domba. Tapi tidak memakai bola. Jadi permainan yang di Jawa lebih komplet,” tuturnya. Corens juga mendirikan Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga di Yogyakarta. Banyak permainan itu terekam lewat lukisan dan catatan di Eropa.
Ada juga permainan yang datang karena kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara. Misalnya seperti halma–papan permainan yang menyerupai catur dengan kumpulan titik berpola Bintang Daud, ular tangga, yoyo, atau angklek yang dalam bahasa Belanda disebut sondah mondag.
Menurut Sukirman Dharmamulya, peneliti mainan anak-anak di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisi di Yogyakarta, fenomena kedatangan mainan asing bukan hanya terjadi di masa kolonialisme saja, melainkan juga terjadi di era kerajaan di Nusantara.
Permainan di luar kebudayaan Nusantara ada yang tercatat dalam kitab Adiparwa yang ditulis oleh Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Medang. Dalam kitab itu tertulis tentang permainan yang dimainkan anak-anak Pandawa dan Kurawa, seperti timbangan.
Ada juga Pandawa Dadu yang tertulis dalam Sabha Parwa, yang dibawa dari India. Permainan Sukirman ungkap dimainkan oleh orang Nusantara, khususnya di tanah Jawa.
Permainan yang sangat khas dari Nusantara adalah dakon. Permainan yang menggunakan papan dengan 14 ceruk kecil dan 2 ceruk besar dan biji-bijian itu, berasal dari kalangan petani.
Dakon kemudian diterima secara cepat di kalangan keraton. “Apa lagi di keraton banyak sawo kecik (yang bisa digunakan untuk biji dakon),” terangnya.
Saking populernya, dakon sempat menjadi penghibur keluarga ketika Pangeran Dipanagara sedang bergerilya melawan pemerintah Hindia Belanda. Diterimanya di kalangan keraton juga terbukti adanya papan dakon yang dipakai oleh Sultan Hamengkubuwono III, dan Raden Ayu Mangkarawati. Sukirman yakin, semasa kolonial itu setiap rumah ada dakon.
Terakhir, ada permainan yang tak pernah tergerus zaman, dan mengalami perubahan bentuk dengan drastis: tembak-tembakan. Tidak jelas sejak kapan mainan ini bermula. Yang jelas pasti sudah ada sejak manusia telah mengenal senapan untuk berperang, karena anak-anak yang memainkannya biasanya dilakukan bersama-sama untuk meniru pertempuran.
Bentuk paling sederhananya adalah pletokan atau senapan bambu. Mengutip laman Jakarta.go.id, pletokan adalah permainan khas betawi, meski demikian masih diragukan kebenarannya.
Permainan ini menggunakan bambu yang kuat, kemudian dibagi antara corong penembak dan penyodok. Untuk peluru, biasanya menggunakan biji-bijian, atau gulungan kertas kecil yang dibasahkan.
Seiring berkembangnya masa, tembak-tembakan yang awalnya menggunakan bambu berkembang menjadi mainan plastik yang dijual di toko mainan. Bentuknya juga mengikuti senjata api sungguhan yang digunakan dalam pertempuran.
Kini, tembak-tembakan mengalami digitalisasi lewat gim. Kita bisa menemui banyak jenisnya, mulai dari Counter Strike, Point Blank, FarCry di komputer atau perangkat gim khusus seperti PlayStation dan Nintendo, hingga Free Fire dan PUBG di ponsel pintar.
Dari segi bentuk dan sejarahnya, tembak-tembakan juga menjadi permainan yang tidak kenal usia. Sebab hingga berusia dewasa pun, masih ada yang memainkannya sebagai hobi, bahkan dimasukkan sebagai jenis perlombaan.
Ada pun sebelum kita mengenal boneka Barbie, bermain boneka juga sudah lama dimainkan. Corens sebagai kolektor mainan antik, mengungkapkan banyak koleksi boneka Belanda yang ditemukan di Indonesia. Boneka di masa lampau biasanya terbuat dari kain dan kayu.
Boneka biasa digunakan sebagai ‘teman’ bagi anak-anak, atau permainan yang mendemonstrasikan kehidupan. Mungkin jika diimplementasikan dalam masa digital kini, boneka peran boneka mulai tergerus dengan media sosial atau permainan simulasi kehidupan seperti The Sims.
Lantas, kembali ke topik, apakah Anda tertarik untuk mencoba bermain permainan tradisional kembali?(*)
Sourrce: National Geographic Indonesia