PIRAMIDA.ID- Mantan teroris Abu Bakar Ba’asyir dibebaskan dari Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, Jumat lalu (8/1) setelah menjalani hukuman 15 tahun penjara potong remisi karena terbukti bersalah terlibat pelatihan militan di Aceh.
Jauh sebelum ia dibebaskan, banyak pihak khawatir tokoh berusia 82 tahun yang disegani di kalangan kelompok Islam garis keras itu masih akan menjadi ancaman.
Empat hari sebelum pembebasannya, Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne meminta pemerintah Indonesia memastikan agar selepas dibebaskan, Ba’asyir tidak akan memicu lebih banyak kekerasan.
“Kedutaan kami di Jakarta telah menyampaikan keprihatinan agar individu semacam itu dicegah untuk tidak menghasut orang lain lebih jauh guna melakukan serangan terhadap warga sipil,” ujar Payne dalam sebuah pernyataan, sebagaimana dilaporkan Reuters, Selasa lalu (5/1).
Kekhawatiran Payne beralasan, sebelum ditangkap dan divonis karena terkait kamp pelatihan militan di Aceh tahun 2011, Ba’asyir dianggap sebagai pemimpin spiritual Jemaah Islamiah yang berafiliasi dengan Al Qaeda, dan dituduh terlibat dalam pemboman di Bali pada Oktober 2002 yang menewaskan 202, sebagian besar warga Australia.
Ba’asyir membantah terlibat dalam serangan di dua klub malam dan kantor konsulat Amerika di Kuta itu. Namun setahun kemudian anggota Jemaah Islamiah lainnya dituding mengatur serangan di Hotel JW Mariott Jakarta pada Agustus 2003 yang menewaskan 12 orang, dan serangan lain pada September 2004 di depan kantor Kedutaan Besar Australia di Jakarta yang menewaskan 9 orang.
Pengaruh Kuat Ba’asyir
Namun demikian pengamat terorisme Al Chaidar menilai kekhawatiran itu tidak beralasan. “Pengaruh Ustad Abu Bakar Ba’asyir itu sudah sangat rendah, hampir di titik nadir, tinggal 10 persen saja di kalangan kelompok radikal, fundamentalis, teroris dan intoleran,” ujarnya.
Ia menyebut kekecewaan kelompok-kelompok seperti Jemaah Islamiah, Majelis Mujahidin Indonesia MMI, Jamaah Ansharut Tauhid JAT dan Jamaah Ansharut Daulah JAD terhadap Ba’asyir.
“Ketika Ba’asyir berpaling meninggalkan Jemaah Islamiah dan bergabung dengan Majelis Mujahidin Indonesia, lalu meninggalkan organisasi itu dan mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid yang kemudian berbaiat pada ISIS, banyak pengikutnya yang kecewa. Bahkan bukan hanya pendukungnya, tapi juga sponsor utamanya yaitu kelompok Al Qaeda sangat kecewa,” jelasnya.
“Ayman Al Zawahiri, yang memimpin Al Qaeda setelah tewasnya Osama bin Laden tahun 2011, sampai memutuskan hubungan dan menyatakan bahwa tidak ada satu pun lagi perwakilan resmi mereka di Indonesia. Ini menunjukkan kekecewaan yang sangat besar terhadap Ba’asyir. Ini menunjukkan ia tidak lagi efektif sebagai pemimpin kelompok radikal,” imbuh Al Chaidar.
Namun pengamat terorisme lainnya, Stanislaus Riyanta mengatakan meskipun faktor usia dan kondisi kesehatan mungkin membuat Ba’asyir tidak lagi aktif, “tetapi harus diakui bahwa sebagai senior, perkataannya akan didengar dan menjadi perhatian orang-orang yang satu aliran ideologi.”
Ada Kerinduan Hadirnya Sosok Pemimpin di Gerakan Islam Garis Keras
Itulah sebabnya menurut Al Chaidar, yang sedang melakukan kajian tentang jaringan terorisme di negara-negara Eropa, meskipun ditinggalkan pengikutnya di Jemaah Islamiah, JAT dan JAD, ada kelompok-kelompok lain yang masih mengharapkan kehadiran Ba’asyir sebagai pemimpin mereka.
“Ada kelompok massa yang besar, yang kini kehilangan induk mereka setelah Rizieq Shihab ditahan aparat … ada yang menyebutnya sebagai kriminalisasi, ada yang menyebutnya juga sebagai fragmentasi, tapi yang pasti beberapa ulama-ulama oposan ataupun yang beroposisi dengan pemerintah itu menjadi kekecewaan yang sangat luar biasa. Dengan bebasnya Ba’asyir, mereka berharap mendapat pemimpin baru,” komentarnya.
“Jika Ba’asyir menerima menjadi pemimpin mereka, ia akan menjadi pemimpin populis yang beradaptasi dengan keinginan massanya. Tetapi ketakutan akan bangkitnya terorisme di Indonesia dengan keberadaan Ba’asyir adalah salah dan tidak tepat,” jelasnya.
Stanislaus Riyanta, yang selama ini mengkaji akar-akar terorisme dan radikalisme dari berbagai perspektif, mengatakan untuk mencegah massa baru melakukan teror karena pengaruh Ba’asyir, “kunci utamanya adalah bagaimana orang-orang terdekat Ba’asyir bisa menjaganya, agar tidak ada provokasi atau kontak dari pihak lain yang dapat mengarahkannya pada aktivitas organisasi kelompok radikal.”
Ditambahkannya, “pemerintah juga harus berupaya keras melakukan pendekatan pada keluarga Ba’asyir agar bisa menjaganya untuk tidak kembali ke aktivitas yang melanggar hukum.”
Stanislaus tetap menilai peluang bagi Ba’asyir untuk menjadi pemimpin kelompok garis keras di Indonesia sangat kecil “karena pertimbangan usia, kesehatan dan kaderisasi kelompok-kelompok itu sendiri yang pastinya sudah berjalan.”
Keluarga Pastikan Terus Dampingi Ba’asyir
Dalam wawancara secara terpisah dengan pihak keluarga Ba’asyir di kawasan Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Sukoharjo, putra Ba’asyir mengatakan “keluarga akan terus mendampingi Ba’asyir di rumah pasca bebas dari penjara dan berupaya mencegahnya terpapar paham radikalisme dan ekstremisme.”
Sementara juru bicara pondok pesantren itu, Endro Sudarsono, mengatakan pada VOA, “kalau pun Ba’asyir akan berdakwah kembali, maka kemungkinan besar dilakukan secara internal di pondok pesantren itu saja.”(*)
VOA Indonesia.