PIRAMIDA.ID- Selama berabad-abad, metetusnya gunung berapi selalu menjadi bayang-bayang dalam runtuhnya Romawi Kuno. Tim ilmuwan dan sejarawan telah menemukan bahwa salah satu letusan terbesar dalam sejarah, terjadi pada 43 SM. Letusan tersebut memicu terjadinya cuaca buruk dan juga kelaparan selama 2 tahun.
Langit yang gelap setelah pembunuhan Caesar di Ides of March kemungkinan disebabkan oleh letusan kecil yang diketahui di Gunung Etna. Lalu awal tahun berikutnya, pada bulan Januari atau Februari, Gunung Berapi Okmok Alaska di Kepulauan Aleutian ikut meletus, membentuk tepi kawah raksasa selebar 10 kilometer.
Melansir dari Sciencemag, para peneliti melaporkan dalam sebuah studi baru yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences. Dalam laporan tersebut, diberitahukan bahwa usai letusan itu, sisi utara gunung berapi tidak lagi terkena sinar matahari. Hal tersebut terjadi karena sinar matahari terhalang oleh partikel letusan yang terangkat hingga ke stratosfer.
“Letusan gunung berapi ini benar-benar menghasilkan iklim yang ekstrem,” kata Joseph McConnell, ahli glasiologi di Desert Research Institute sekaligus peneliti utama pada studi tersebut. Di tengah iklim yang ekstrem tersebut selama 2 tahun, Republik Romawi berakhir. Pada 44 SM, Republik Romawi tuntuh berganti menjadi Kekaisan Romawi.
Tim McConnell menemukan lonjakan belerang yang jelas dan berat pada 43 SM Pengukuran isotop belerang juga memperjelas bahwa partikel telah terkena radiasi ultraviolet di stratosfer, yang mana mereka dapat menyebar dan bertahan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum kembali ke Bumi.
Para peneliti menemukan 35 pecahan kaca vulkanik pada lapisan es gunung berapi Okmok. “Partikel kaca kecil pada es adalah bukti yang menarik,” kata Siwan Davies, seorang ahli geografi di Swansea University yang tidak terlibat dalam penelitian ini. Para peneliti membandingkan komposisi kaca dengan tanda geokimia gunung berapi yang aktif.
Tim mencari bukti-bukti terkait perubahan iklim yang terjadi setelah letusan gunung berapi. Mereka menemukan bahwa aerosol dapat mendinginkan Eropa selatan dan Afrika utara hingga 7°C. Skandinavia dan Amerika Utara pun mengalami pendinginan yang jelas pada 43 dan 42 SM. “Pegunungan Alpen turut merasakan pendinginan, yang dimulai dari 10 tahun sebelum letusan, dengan 45 SM sebagai tahun terdinginnya,” kata Kevin Anchukaitis, ahli paleoklimatologi di University of Arizona.
Melansir dari The New York Times, para ilmuwan meneliti abu vulkanik pada lapisan es dengan menggunakan alat yang canggih. Abu vulkanik yang disebut juga tephra, terkadang bersembunyi di dalam es. Ini adalah penemuan khusus karena dapat terikat secara geokimia dengan gunung berapi tertentu. “Tephra berasal dari magma itu sendiri,” kata Michael Sigl, ahli kimia di University of Bern di Swiss yang bekerja sama dengan Dr. McConnell.
Mereka melakukan pengeboran secara vertikal pada inti es yang menyembunyikan material vulkanik. Joseph McConnell, seorang ilmuwan iklim di Desert Research Institute, dan kolaboratornya sedang mencari puing-puing tersebut. Mereka mencairkan es dan menyalurkan air ke berbagai sensor. Lalu sensor yang memiliki timgkat kepekaan yang amat tinggi, menunjukkan banyak zat, termasuk sekitar 30 elemen berbeda.
Runtuhnya Republik Romawi pada abad pertama SM dilatar-belakangi oleh iklim ekstrem, kelaparan, penyakit dan pembunuhan Julius Caesar beserta pemimpin politik lainnya.
Melansir dari dari Sciencemag, sebuah dokumen sejarah milik seorang negarawan Romawi, Cicero, menyebutkan cuaca dingin di sekitar waktu letusan. Sumber-sumber lain mendokumentasikan kelaparan di Italia utara pada bulan April saat itu, dan di Yunani utara pada tahun berikutnya.
Plutarch, penulis biografi Romawi terkenal, menuliskan bahwa orang-orang dalam pasukan Mark Antony menghadapi kelaparan yang mengerikan pada bulan April 43 SM, sehingga terpaksa memakan buah-buahan liar, akar-akaran, dan kulit kayu. Appian, seorang sejarawan, mengatakan bahwa Roma hancur karena kelaparan pada 42 SM.(*)
National Geographic