PIRAMIDA.ID- Kita ditakdirkan memiliki harta karun berupa ribuan jenis tumbuhan rempah obat-obatan. Namun, baru sejumput yang telah dimanfaatkan. Apakah yang membuat kita gamang?
Sederet relief Candi Borobudur menampilkan pusparagam tanaman obat, seperti kecubung dan lontar. Relief lainnya juga memperlihatkan proses peracikan dan aktivitas minum jamu. Rempah dan jejamuan sudah menjadi warisan budaya sejak lebih dari seribu tahun silam, sampai hari ini.
Jacobus Rontius (1592-1631) dalam bukunya De Indiae Untriusquere Naturali et Medica, menyebutkan 60 jenis tanaman obat, kosmetika, dan aromatika. Buku ini menjadi dasar penelitian tumbuhan obat dan cikal bakal Chemis Pharmacologisch Laboratorium di Kebun Raya Bogor.
Sigit Ismaryanto, Managing Director PT Alam Sari Interbuana dan pengurus Dewan Rempah Indonesia, mengungkapkan bahwa ada 9.600 jenis tanaman obat yang dapat digunakan sebagai bahan dasar jamu. Namun, baru sekitar 5 persen yang dimanfaatkan.
“Artinya, dari sekian banyak tanaman, masih sekitar 2.000-an yang digunakan,” ujarnya dalam diskusi daring International Forum on Spice Route yang digagas Yayasan Negeri Rempah, bertajuk Jalur Rempah: Peluang Industri Jamu Indonesia?
Menurut Sigit, ini terjadi karena proses budi daya yang belum profesional. Diperkirakan 90 persen bahan baku masih berasal dari tumbuhan liar, tanaman hutan atau hasil pekarangan. Para petani juga belum mampu menjaga kualitas dan mutu tanaman obat karena minimnya bimbingan dan pelatihan yang diberikan.
Di sisi lain, industri tanaman obat belum memberikan perhatian serius terhadap hasil penelitian ilmiah terkait upaya pengembangan produk di pasar. Dalam praktiknya, masih ada beberapa kendala mutu dan keberlanjutan bahan baku. Misalnya, ketidakseimbangan ketersediaan dan kebutuhan bahan baku.
“Pada akhirnya banyak negara-negara lain menganggap kualitas rempah dan jamu Indonesia masih rendah. Ini yang kerap terjadi,” papar Sigit. Padahal, jamu berbasis rempah Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Berada di wilayah tropis yang didukung tanah subur dan iklim yang sesuai, Indonesia menjadi salah satu pusat budi daya rempah dan herba dunia.
Dari total sekitar 40 ribu jenis tumbuhan obat yang telah dikenal di dunia, 30 ribunya disinyalir berada di Indonesia. Jumlah tersebut mewakili 90 persen tanaman obat yang terdapat di wilayah Asia. Sebesar 25 persen di antaranya, atau sekitar 7.500 jenis, sudah dipastikan memiliki khasiat.
Sri Astutik, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan: ”Intinya, kita masih kaya. Indonesia termasuk salah satu bangsa yang kaya akan tanaman obat,” tuturnya.
Menurut Sri, negara-negara di dunia sangat membutuhkan produk yang berbasis rempah dan tanaman obat. Salah satu yang paling terkenal adalah kunyit yang dimanfaatkan dalam banyak hal, mulai dari keperluan memasak, kosmetik, sesajen, upacara pernikahan, hingga obat-obatan.
“Kunyit bahkan disebut sebagai a golden spice for life karena dapat dikonsumsi untuk berbagai hal. Dari dapur hingga ke klinik. Di tingkat global, 38 persen kunyit digunakan sebagai makanan, 56 persen untuk keperluan medis,” papar Sri.
Meski tidak diperuntukkan untuk menyembuhkan penyakit, rempah dan jamu mampu meningkatkan kekebalan tubuh. H. R. Muhammad Hardadi Airlangga, spesialis penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, mengungkapkan, dalam dunia kedokteran, rempah dan jamu mampu mencegah orang menjadi sakit. Rempah membuat sel-sel dan hormon dalam tubuh berkembang dengan baik. Sifatnya menjaga keseimbangan tubuh.
“Saya menganalogikan jamu seperti kita mau masuk ke dalam rumah, lalu rumah itu harus bersih. Pembersihan itu dilakukan oleh tanaman obat. Namun, ketika mau masuk rumah kita perlu kunci, itu adalah zat aktif atau obat-obatan yang kita ketahui saat ini. Dengan kata lain, tanaman obat dan jamu hanya membuat kondisi lebih baik dan terkontrol, menuju sehat fisik dan kemudian berdampak juga pada psikis,” jelas Hardadi.
Selain bersifat preventif, tanaman obat juga bersifat rehabilitatif. Setelah masa krisis penyakit telah dilewati, jamu berperan memperbaiki kondisi tubuh. Para peneliti masih menyelidiki apakah jamu juga bisa menjadi terapi utama di masa depan.
Menurut Nuning S. Barwa, pengurus Dewan Rempah Indonesia, terdapat tiga jenis dalam perawatan kesehatan: modern, tradisional, dan alternatif. Jamu masuk ke dalam tradisional sehingga potensinya di mata dunia cukup besar.
Untuk memaksimalkan peran tersebut, Nuning mengatakan perlu adanya keunggulan teknologi. “Jika diproses dengan teknologi yang mumpuni dan ada nilai tambah dari produk jamu ini, maka harganya pun akan meningkat.”
Pemanfaatan teknologi inilah yang dilakukan oleh industri jamu di Indonesia. Rachmat Sarwono, pendiri dan Direktur Utama PT Industri Jamu Borobudur, mengatakan bahwa kunci utama kesuksesannya dalam mengembangkan produk jamu adalah selalu mengikuti perkembangan zaman dan berteknologi mutakhir.
Ia berinvestasi pada mesin yang membantu produksi, mulai dari alat ekstraksi hingga pengering. Selain mengolah lebih banyak, prosesnya pun menjadi lebih cepat. “Para pengusaha jamu tidak boleh pesimis, jangan tutup mata dengan teknologi,” ungkap Rachmat.
Selain teknologi, Sigit kembali menambahkan, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan potensi jamu di masa depan. Pertama-tama, standarisasi mutu sesuai dengan standar negara tujuan ekspor. Perkara ini meliputi beberapa spesifikasi seperti kebersihan, kadar suhu, jumlah cemaran mikroorganisme, sampai ukuran partikel. Kedua, daya telusur, yaitu kemampuan untuk penelusuran balik atau mendapatkan kembali informasi mengenai asal usul (lokasi dan proses) produk melalui identifikasi nomor registrasi yang sudah dibuat sebelumnya. Ketiga, kesinambungan pasokan—bisa dilakukan dengan sinergitas, akses pasar, dan kemitraan. Pemerintah juga memiliki peran di sini karena mampu membuat kebijakan yang mendukung hal tersebut.
“Dari sisi perekonomian, rempah dan jamu sebenarnya berpotensi besar bagi pendapatan nasional, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penyesuaian lapangan kerja. Dengan bahan baku yang tersedia dari dalam negeri, maka jamu dinilai mampu membawa multiplier effect yang cukup signifikan dari hulu hingga hilir,” jelas Sigit.
Meski begitu, Nuning mengingatkan, peningkatan jaminan mutu itu tidak boleh mengabaikan lingkungan. Ia menggalakkan green science agar pengembangan jamu berbasis rempah dapat berkelanjutan. Sebagai contoh, jika ingin menggunakan akar dari tanaman obat, sebaiknya pilih dari tumbuhan semusim. Untuk tanaman-tanaman yang hanya tumbuh satu tahun sekali, maka pilih daun atau buahnya sehingga tidak membuat mereka cepat mati.
“Intinya bagaimana bahan baku yang digunakan aman dan berkelanjutan,” kata Nuning. “Riset dan pengembangan produknya juga dipastikan tidak mencemari lingkungan.”
National Geographic Indonesia