PIRAMIDA.ID- Lembaga adat Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo yang isinya meminta dihapusnya wilayah mereka dari destinasi wisata Tanah Air. Surat tersebut dikirim pada Senin (06/07) melalui perwakilannya.
Diberitakan surat tersebut dicap jempol oleh tiga orang Jaro yakni Jaro Saidi sebagai Tangunggan Jaro Dua Belas, Jaro Aja sebagai Jaro Dangka Cipati, dan Jaro Madali sebagai sebagai Pusat Jaro Tujuh. Jaro adalah pemangku adat yang mewakili masyarakat Baduy.
Dalam surat tersebut disebutkan wisatawan yang datang memberikan dampak negatif di kawasan mereka. Arus wisatawan yang tidak terkendali, pencemaran lingkungan, pencemaran tuntunan adat, pengaruh budaya dan teknologi dari dunia luar jadi alasan di balik permintaan tersebut.
“Ini terjadi karena terlalu banyaknya wisatawan yang datang, ditambah banyak dari mereka yang tidak mengindahkan dan menjaga kelestarian alam, sehingga banyak tatanan dan tuntunan adat yang mulai terkikis dan tergerus oleh persinggungan tersebut,” ujar Jaro Saidi dilansir detikcom.
Heru Nugroho, salah satu perwakilan yang diberikan mandat untuk menyampaikan surat tersebut kepada presiden, mengatakan bahwa ide ini muncul ketika kunjungan wisatawan ke Kampung Wisata Suku Baduy di Desa Kenekes, Kabupaten Lebak, Banten menurun karena pandemi Covid-19.
Saat ini kawasan Baduy memang tengah ditutup sementara akibat pandemi Covid.19. Heru menyebut masyarakat merasa nyaman dengan ketidakhadiran para wisatawan.
“Mereka itu kan merasa enak banget gak ada orang ke sini, meskipun tetap ada orang yang datang. Tapi jadi nyaman buat mereka, sehingga mereka berpikiran sudah wisatawan dihapus saja,” ujar Heru.
Dikunjungi bukan sebagai destinasi wisata
Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Mayarakat Adat Nusantara (AMAN), Abdon Nababan, mengatakan bahwa permasalahan tersebut susah muncul sejak lama. Menurutnya masyarakat Suku Baduy tidak menolak untuk dikunjungi, namun membludaknya jumlah wisatawan yang datang menjadi salah satu perhatian mereka.
“Dengan menaruh Baduy sebagai destinasi wisata di peta-peta, dengan menaruh program promosi pariwisata, sebetulnya ada program mobilisasi para wisatawan untuk ke berkunjung ke Baduy. Itu yang tidak mau sejak lama dari masyarakat adat Baduy,” ujar Abdon saat dihubungi DW Indonesia, Jumat (10/07).
“Mereka tidak mau diposisikan sebagai destinasi wisata, tapi bukan berarti tidak boleh dikunjungi,” lanjutnya.
Tak hanya Suku Baduy, masyarakat adat lainnya yang wilayahnya dijadikan destinasi wisata disebut Abdon memiliki keresahan serupa. Mereka merasa kehidupan mereka dijadikan objek tontonan para wisatawan.
“Masyarakat adat itu intinya tetap mau menjaga, memelihara, merawat kehidupan adat sebagai tuntunan kehidupan. Dengan promosi atau program destinasi wisata sebenarnya berubah adat yang sebagai tuntunan menjadi adat yang sebagai tontonan,” ungkap Abdon.
Penerima penghargaan di bidang kemanusiaan Ramon Magsaysay Award 2017 ini menyerukan agar pemerintah membuat kebijakan yang jelas terkait penyelenggaran wisata di wilayah masyarakat adat.
Pelaku wisata dinilai kerap ikut campur dalam kehidupan masyarakat adat demi kepentingan bisnis, padahal menurutnya masyarakat adatlah yang mempunyai wewenang mutlak saat wilayahnya dimasuki wisatawan.
“Kalau ada protokol dan kebijakan yang clear, sebenarnya potensinya (wisata) besar tapi tadi itu tetap tuan rumah yang memiliki aturan, tetap masyarakat adat, bukan pelaku wisata,” jelas Abdon.
Lewat acara adat Seba Baduy
Pengiriman surat terbuka ini pun juga tidak terlepas dari pro dan kontra. Pemerhati sektor wisata alam Reza Permadi menilai bahwa ketika hendak menyampaikan aspirasinya, masyarakat Baduy tidak mengirim surat terbuka seperti yang ramai diberitakan.
Namun, masyarakat Baduy menggelar acara adat yang bernama Seba Baduy. Dalam Seba Baduy, masyarakat Baduy akan turun gunung menuju kota untuk menemui penguasa daerah Penggede.
“Masyarakat Baduy itu untuk mengadu itu melalui acara adat Seba dimana mereka menemui pimpinan wilayahnya dalam hal ini Bupati Lebak atau Gubernur Banten. Itulah tempat mereka diskusi berdialog dengan pimpinannya. Kalau mereka mau ada protes ke presiden pasti mereka lewat bupati dulu atau gubernur maksimal,” ujar Reza saat dihubungi DW Indonesia, Jumat (10/07) malam.
Salah satu warga Baduy luar, Mulyono Nasinah, mengatakan bahwa surat tersebut tidak mewakili masyarakat Baduy secara keseluruhan.
Surat ini memang benar adanya. Namun, ini bukan hasil dari kesepakatan tokoh adat dan pihak kelurahan, bahkan Jaro Saija (tokoh Baduy yang bertanggung jawab dalam urusan luar Baduy) sendiri baru tahu,” tulis Mulyono lewat akun Instagramnya.
Konsep pariwisata berkelanjutan
Kepada DW Indonesia, Reza yang menjabat sebagai COO Atourin ini mengatakan destinasi wisata adat mempunyai daya tarik tersendiri, salah satunya memberikan edukasi terkait tata cara kehidaupan masyarakat adat.
”Ada beberapa peraturan adat yang sebenarnya bisa kita terapkan dan pelajari di kehidupan kita sehari-hari,” papar Reza.
Ia pun menjelaskan bahwa konsep pariwisata berkelanjutan diperlukan dalam membangun destinasi wisata. Dengan mengacu kepada aspek sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dapat menjamin keberlanjutan destinasi wisata jangka panjang.
“Maka dari itu di beberapa wilayah yang mengusung konsep bekelanjutan memang ada batasnya, orang yang mau datang satu hari ada berapa orang. Bukan semata-mata mau menutup orang yang datang tapi untuk menjaga kelestarian lingkungan serta menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti rusaknya alam dan lain-lain,” pungkasnya.
Sumber: DW Indonesia.