Surahmat*
PIRAMIDA.ID- Oxford University Press di Inggris memutuskan untuk menghapus frasa-frasa yang dinilai cenderung tidak adil terhadap jenis kelamin tertentu (seksis) dari daftar entri kamusnya.
Keputusan itu diambil agar bahasa tidak lagi menjadi ruang yang maskulin dan dipenuhi stereotip buruk terhadap perempuan.
Salah satu contoh frasa yang dihapus adalah nagging wive atau diterjemahkan menjadi “istri mengomel”.
Frasa itu dianggap tidak adil karena mengesankan kecerewetan merupakan sifat khas perempuan.
Langkah Oxford University Press itu merupakan langkah maju yang akan berdampak besar dalam mewujudkan kehidupan yang lebih adil melalui pengembangan bahasa yang lebih netral secara gender.
Dibandingkan dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia sebenarnya cenderung lebih egaliter. Namun demikian, dalam bahasa Indonesia ekspresi seksisme tetap ada dalam setidaknya tiga wujud.
Seksisme dalam bahasa Indonesia
Pertama, dalam wujud kosakata.
Dalam wujud kosakata, kata sifat tertentu selalu dihubungkan dengan jenis kelamin tertentu. Misalnya, kata mulus, halus, lembut, cantik, dan singset dianggap merupakan sifat yang dimiliki perempuan.
Sementara kata berani, kuat, perkasa dianggap sebagai sifat yang identik dengan laki-laki.
Pada tingkat kosakata pula, kata yang merujuk pada laki-laki kerap kali dijadikan sebagai kata umum untuk menamai profesi. Kata “wartawan” dalam arti khusus merujuk kepada laki-laki, namun sekaligus merujuk kepada profesi itu secara umum. Hal sama dapat ditemukan dalam kata mahasiswa, seniman, siswa, dan lain sebagainya.
Lalu, ada kata pelakor (perebut (le)laki orang) dan binal yang secara semantis membatasi sifat negatif tertentu hanya melekat kepada perempuan.
Kedua, dalam wujud asosiasi.
Asosiasi muncul berkat pengetahuan kolektif yang membuat penutur mengaitkan objek tertentu dengan objek lain. Kata “belah duren” sering diasosiasikan sebagai aktivitas seksual karena merujuk pada asosiasi bentuk antara bagian dalam buah itu dengan organ kelamin perempuan.
Ketiga, dalam wujud wacana.
Pada tingkat wacana, seksisme dibentuk akibat kukuhnya pengetahuan yang membuat peran sosial tertentu dianggap wajar untuk jenis kelamin tertentu. Memasak dan membersihkan rumah diidentikkan sebagai pekerjaan perempuan. Berambut panjang juga kondisi yang cenderung dinilai wajar pada perempuan.
Dalam bahasa Indonesia, contoh kalimat “Ibu memasak di dapur” merupakan contoh klasik yang menunjukkan ketidakadilan gender pada tingkat wacana.
Di masyarakat, seksisme juga dilembagakan melalui humor. Baru-baru ini, misalnya, komentator sepakbola membuat candaan seksis yang sempat menuai protes
Cara mengatasinya
Karena wujudnya berbeda, seksisme dalam bahasa Indonesia perlu penanganan yang berbeda pula.
Seksisme dalam bentuk kata bisa dikurangi dengan menggeser makna menjadi lebih positif atau netral. Hal ini bisa dilakukan melalui jalur kultural seperti komunikasi di media massa dan media sosial sekaligus melalui jalur struktural, misalnya konvensi ahli. Contohnya, ahli bahasa Spanyol yang progresif menyarankan penggunaan kata _ la audiencia_ “hadirin” netral, menghindari kata “las asistentes” atau hanya “los asistentes” yang menonjolkan salah satu gender.
Dalam bahasa Inggris, profesi-profesi yang secara semantik diidentikkan dengan laki-laki diganti dengan istilah baru yang netral, seperti chairman menjadi chairperson.. Kata person “orang” mewakili laki-laki dan perempuan dalam hubungan yang setara. Adapun chairman bersifat maskulin, seolah-olah posisi itu hanya untuk laki-laki.
Seksisme dalam bentuk asosiasi hanya mungkin diintervensi melalui proses kognitif dan pembudayaan. Oleh karena itu, jenis seksisme akan mungkin hilang jika pengetahuan baru mengenainya didesakkan melalui pendidikan.
Pengawasan ahli dan publik terhadap produk budaya seperti iklan dan film yang seksis harus terus dilakukan secara berkelanjutan. Misalnya, dengan melarang iklan seksis tayang.
Seksisme dalam bentuk wacana adalah yang paling sulit ditangani karena terlembaga dalam struktur pengetahuan, adat, dan bahkan sosial yang tampak wajar. Untuk mengubahnya, pengujian kritis terhadap pengetahuan seksis harus dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini sudah dilakukan oleh sejumlah ahli bahasa yang merintis dan memberdayakan analisis wacana kritis.
Ahli bahasa dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat Robin Lakoff, melakukan kritik yang intensif mempertanyakan pengetahuan maskulin dalam penggunaan bahasa di berbagai bidang. Menurutnya, inferioritas perempuan dikukuhkan melalui dua cara yaitu (1) bagaimana perempuan didisiplinkan dalam caranya menggunakan bahasa dan (2) bagaimana perempuan dibicarakan.
Untuk menangani kondisi ini Lakoff menyarankan dua hal untuk dilakukan. Pertama, memberikan pendidikan bahasa kedua yang memungkinkan pengguna bahasa memahami dunia dengan cara berbeda. Kedua, para ahli bahasa harus memiliki keberanian melakukan terobosan teoretis agar bahasa lebih berkeadilan.
Asal mula ketidaksetaraan
Bahasa-bahasa di dunia memiliki problem seksisme yang berbeda. Ekspresi seksisme dalam bahasa Inggris relatif lebih besar dibanding bahasa Indonesia karena mereka menggunakan kata ganti pembeda gender he untuk laki-laki dan she untuk perempuan dalam kosakatanya. Penggunaan kata-kata ini menunjukkan keberpihakannya.
Bahasa Arab juga memungkinkan ekspresi seksisme yang lebih besar karena pembagian kata bersifat laki-laki (mudzakar) dan kata bersifat perempuan (muanas). Bahkan sejumlah karya sastra Arab menggambarkan perempuan secara metaforik sebagai sumber kehancuran.. Hal ini disebabkan karena selama ratusan tahun kebudayaan Arab berkembang dalam situasi yang cenderung menomorduakan perempuan.
Banyak ahli bahasa, termasuk ahli bahasa dari Lancaster University, Inggris, Norman Fairclough, menunjukkan bahwa bahasa bukanlah alat komunikasi semata.
Bahasa adalah institusi sosial yang di dalamnya terdapat nilai-nilai ideologis. Bahasa menjadi instrumen yang digunakan subjek-subjek tertentu untuk melanggengkan ideologi yang menguntungkannya.
Dalam relasi gender laki-laki dan perempuan, laki-laki adalah subjek sosial yang dalam lintasan sejarah lebih dominan. Mereka memelihara dominasi terhadap mitra perempuannya melalui berbagai instrumen sosial. Bahasa menjadi salah satu alat yang digunakan untuk mengatur pembagian peran gender agar laki-laki tetap berada dalam posisi superior.
Ada berbagai teori yang berusaha menjelaskan asal-usul ketimpangan pembagian peran laki-laki dan perempuan.
Sejawaran Israel Yuval Noah Harari berpendapat, ketimpangan peran terjadi secara evolutif ketika sapiens berjenis kelamin laki-laki dan perempuan melakukan kontak seksual. Hubungan itu menyebabkan perubahan biologis pada tubuh perempuan yang membuatnya cenderung kehilangan kelincahan. Adapun pada laki-laki, kontak seksual tidak menyebabkan perubahan tubuh apa pun.
Ketidaksetaraan biologis pascakontak seksual ini membuat perempuan kesulitan mengakses sumber makanan sendiri. Kondisi ini membuatnya lebih banyak bergantung kepada mitra laki-lakinya.
Peneliti bahasa dari Texas University, Amerika Serikat, Robert L Young punya hipotesis bahwa ketidaksetaraan gender dibentuk dan dilestarikan oleh sistem budaya.
Peran sosial laki-laki dan perempuan didefinisikan berdasarkan konsep feminis dan maskulin yang hidup di ruang budaya bersangkutan.
Tafsir maskulin terhadap teks agama juga ditengarai menyebabkan peran laki-laki dan perempuan menjadi tidak setara. Peneliti bahasa dari Lincoln University, Amerika Serikat, Kaukab Siddique mengungkapkan bahwa tafsir terhadap Alquran lebih banyak dilakukan dalam perspektif laki-laki.
Dari tiga teori di atas, dua teori menunjukkan peran besar bahasa dalam penentuan peran gender. Sebagai penghela nilai dan ideologi, bahasa memiliki daya mempengaruhi pikiran penggunanya dalam memahami sesuatu, termasuk memahami peran perempuan.
Bahasa merupakan piranti yang sangat mempengaruhi cara berpikir masyarakat dan pola pikir masyarakat memiliki pengaruh langsung terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan anggotanya. Dengan menghilangkan bahasa yang seksis maka kita berpeluang menghapuskan tindakan-tindakan diskriminatif pada perempuan.
Penulis merupakan Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri Semarang. Artikel pertama kali terbit untuk The Conversation.