James Mahon*
PIRAMIDA.ID- Sepuluh tahun terakhir, telepon pintar dan teknologi mobile telah mengubah cara kerja redaksi, dari peliputan berita, penyiaran langsung, hingga distribusi konten. Dilatih menggunakan iPhone 4s di University of Sheffield pada 2011, saya adalah salah satu jurnalis digital pertama di Inggris.
Selama karir siaran langsung saya, dari wilayah perang di Irak hingga tornado di Amerika Serikat (AS), teknologi telah menjadi kendaraan utama untuk merekam, mengkurasi, dan mendistribusikan konten.
Saat ini dunia media kembali berubah akibat pandemi COVID-19, dengan munculnya tantangan baru, hambatan berbeda dan pendekatan penceritaan yang inovatif.
Riset oleh beberapa jurnalis dan akademisi dari seluruh dunia menunjukkan bahwa tren teknologi dan sosial mendorong perubahan cara bagaimana berita dihasilkan dan digunakan. Perubahan-perubahan ini telah berdampak pada cara kerja jurnalis; mereka bisa bekerja sendiri atau dari jarak jauh. Syarat keahlian reporter juga telah berganti dengan mengutamakan keahlian media sosial dan digital.
Beberapa tren jurnalisme smartphone telah menguat sebelum COVID tapi semakin pesat semasa pandemi. Kini reporter jauh lebih otonom, tapi juga mendapat tekanan dan tanggung jawab lebih besar, mempunyai lebih banyak cara untuk menyiarkan berita dan berinteraksi dengan pemirsa.
Otonomi dan kebebasan
Di Inggris dan AS, perusahaan media telah menyusut dalam 15 tahun terakhir. Angka penjualan surat kabar cetak, misalnya, telah menurun drastis, dan memaksa perusahaan penerbit untuk merangkul platform dan teknologi baru. Jumlah posisi spesifik semakin berkurang dan keahlian beragam semakin menjadi kunci di industri media, sehingga banyak reporter kemudian berperan ganda menjadi videografer, editor dan kreator sosial media sekaligus.
Tuntutan terhadap jurnalis penyiaran dan digital kini semakin besar, tapi pada saat yang bersamaan mereka memiliki kebebasan lebih dalam mencari dan membuat berita. Karena jumlah editor, videografer, teknisi lampu dan suara semakin sedikit, maka para jurnalis memiliki kendali lebih besar dalam menghasilkan dan membagikan berita.
Yang juga berperan di situ adalah menghilangnya peran hubungan masyarakat dan munculnya tokoh-tokoh yang luwes dalam media yang memahami pentingnya akses sosial media dan berinteraksi langsung dengan para jurnalis.
Peneliti media asal Belanda, Mark Deuze, telah memperingatkan tentang pergeseran dari peran-peran spesifik ini, yang menurutnya membuat “banyak kursi kosong di ruang redaksi”. Deuze meyakini bahwa menuntut lebih banyak dari lebih sedikit jurnalis akan berdampak pada hilangnya identitas, kerja sama kelompok, mentoring, dan pembinaan.
Dalam riset saya, saya mewawancarai lebih dari 40 jurnalis di India, Swiss, AS dan Inggris antara 2018 dan 2021. Semua memiliki kekhawatiran serupa: kebebasan lebih menjadi nilai tambah, tapi reporter mengkhawatirkan kurangnya dukungan akan memberi tekanan pada kemampuan mereka dalam meliput dan membuat konten.
Keahlian reporter
Pasca-pandemi, banyak jurnalis akan dituntut untuk fokus pada jurnalisme digital dan mengembangkan peran baru dalam teknologi smartphone serta menghadapi tantangan teknis dan editorial baru. Dalam beberapa kasus, jurnalis yang lebih tua semakin terhimpit tekanan untuk mampu menggunakan teknologi baru.
Selama krisis COVID, transisi pada kerja jarak jauh, wawancara Zoom dan pengeditan mobile membuat konten kreator muda menonjol dan meminggirkan jurnalis lebih tua dan kurang pandai berteknologi.
National Union of Journalists (NUJ) di Inggris telah mendukung jurnalis-jurnalis semacam ini untuk mengejar ketinggalan dengan kelas-kelas online. Beberapa stasiun penyiaran Inggris, termasuk ITV, menyediakan pelatihan jarak jauh dan tatap muka untuk meningkatkan keahlian produksi dan pengeditan.
Permintaan sangat besar untuk konten dan live streaming terus-menerus telah membuat reporter TV tradisional menjadi kamera berjalan. Ini dapat meningkatkan liputan dan mendorong interaksi pemirsa di media sosial, tapi ini juga menambah beban pada reporter muda, belum berpengalaman, dan bekerja terlalu lama bagi mereka yang baru masuk di dunia kerja di tengah ketidakpastian; ini menjadi risiko kesehatan dan keamanan baru. Sangat penting para calon wartawan untuk dipersiapkan, dimentori, dan dibimbing secara baik agar bisa bekerja meliput dengan berimbang.
Pemirsa yang berinteraksi
Baik syuting sendiri di rumah, merekam wawancara video secara mobile atau menghasilkan konten dengan hewan peliharan mereka, para pemirsa TV, radio, podcast dan media sosial semakin kreatif dan terlibat selama pandemi.
Perusahaan media semakin memanfaatkan konten yang dibuat oleh pengguna sendiri semacam ini selama pandemi – wawancara video di telepon dan laptop semakin sering digunakan. Pemirsa berita yang semula pasif kini aktif memproduksi. Di dunia liputan olah raga, ketiadaan penonton pertandingan mendorong konten-konten dari fans untuk menjembatani kekosongan dan memuaskan dahaga suporter seiring media klub olahraga semakin dinamis, menampilkan konten-konten kehidupan pribadi para atlet dan pelatih.
Tren-tren ini sudah tampak dalam riset saya pada 2018 dan 2019, tapi selama 2020 dan 2021 lanskap telah berubah.
Di Inggris, kepercayaan pada media ditemukan telah menurun terkait etika, budaya dan praktik-praktik pers Inggris. Namun data tentang jurnalisme media sosial dan kepercayaan dari riset terbaru Reuters Digital Report menunjukkan bahwa pandemi telah membawa para jurnalis kembali ke tempat terhormat.
Redaksi perlu melanjutkan praktik-praktik baik selama pandemi yang melibatkan editor dan produser mendukung dan memanfaatkan keahlian reporter yang lebih muda dan dinamis untuk menghasilkan konten yang berimbang dan etis.
Sangat penting praktik-praktik baik ini juga dipelajari di pendidikan tinggi agar transformasi pemberitaan, penyiaran, dan pembuatan konten yang terakselerasi ini tetap mempertahankan standar etika dan memastikan kesejahteraan reporter – jika ingin mendorong kaum muda masuk industri ini.(*)
The Conversation