PIRAMIDA.ID- Pemerintah telah memutuskan untuk melarang kegiatan mudik atau pulang kampung pada Lebaran tahun ini, dari 6 sampai 17 Mei 2021. Kebijakan untuk mencegah penularan virus COVID-19 ini yang akan menimbulkan dampak ekonomi.
Saat mudik biasanya terjadi perputaran uang dalam jumlah besar di masyarakat terutama di daerah. Untuk itu pemerintah harus mengupayakan langkah-langkah untuk mengurangi dampak negatif dan mendorong ekonomi terus berjalan walau tanpa adanya mudik.
Dampak larangan mudik terhadap ekonomi
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan dalam situasi normal pertumbuhan uang beredar saat mudik Lebaran bisa meningkat lebih dari 10% dari biasanya.
Pada 2019 sebelum terjadinya pandemi, Kementerian Perhubungan memperkirakan perputaran uang ketika mudik mencapai Rp 10 triliun.
“Triwulan yang bertepatan dengan mudik Lebaran biasanya berkontribusi setidaknya 25% lebih terhadap total PDB atau ekonomi nasional selama satu tahun penuh,” ujar Bhima.
Bhima menambahkan bahwa penjualan sektor retail juga meningkat rata-rata 30% lebih tinggi dibandingkan bulan biasanya.
Lonjakan transaksi akan membuat para pengusaha juga akan merekrut karyawan tambahan misalnya di pusat oleh-oleh, restoran, dan hotel bahkan transportasi selama momen mudik Lebaran.
Dengan adanya larangan mudik, maka perputaran uang itu akan berkurang dan penjualan retail akan seperti biasanya.
Muhamad Rifki Fadilah, peneliti dari The Indonesian Institute, menambahkan larangan mudik akan berdampak pada perekonomian di daerah. Sebab, kata dia, pada prinsipnya mudik memberikan dampak pengganda terhadap sektor-sektor ekonomi di daerah, seperti hotel, tempat berwisata, dan tempat oleh-oleh.
Selain itu, pengusaha transportasi seperti bus antarkota antarprovinsi (AKAP), pesawat, dan kapal laut juga harus menerima dampak akibat pelarangan mudik berupa turunnya penerimaan dari penumpang yang biasanya ramai untuk mudik.
Dengan dampak negatif di atas, maka kemungkinan pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tahun ini bisa menurun, kecuali jika pemerintah mampu membuat ekonomi tetap berputar dengan berbagai alternatif lainnya.
“Di tengah situasi pandemi COVID-19, pengambilan keputusan untuk melarang mudik merupakan salah satu langkah yang bijak yang dapat diambil pemerintah untuk mencegah terjadinya penularan COVID-19 meski biaya yang dikorbankan cukup besar,” kata Muhamad.
Bagaimana pemerintah bisa mendorong kegiatan ekonomi
Untuk mengurangi dampak ekonomi pelarangan mudik, maka pemerintah harus memberikan ruang-ruang alternatif untuk ‘dana menganggur’ yang seharusnya bergerak ke perekonomian daerah.
Menurut Bhima, untuk saat ini cara kompensasi untuk larangan mudik adalah tetap mendorong masyarakat tetap berbelanja walau mereka tidak bisa bepergian.
Salah satunya dengan mendorong pekan belanja nasional secara online atau daring.
Dengan asumsi pegawai negeri sipil dan pegawai swasta dapat tunjangan hari raya, tapi tidak mudik, maka membuat tingkat konsumsi atau belanja masyarakat rendah.
“Perputaran uang terpusat di daerah Jabodetabek, maka jalan untuk dorong konsumsi adalah mendorong masyarakat belanja online besar-besaran,” ujar Bhima.
Menurut Bhima, kalau perlu pemerintah juga bisa mensubsidi ongkos kirim pembelian barang secara daring, khusus pengiriman barang keluar Jabodetabek.
Pada periode Lebaran juga banyak masyarakat yang mau mengirimkan uang ke keluarganya di daerah. Untuk itu pemerintah bisa memberi insentif gratis biaya transfer antarrekening yang berbeda domisili melalui bank milik negara.
Jika masyarakat mengirim uang menggunakan pos atau wesel, maka pemerintah bisa menggatiskan biaya administrasinya.
Dengan insentif-insentif ini akan makin banyak aliran uang yang berputar ke daerah-daerah.
Selain itu pemerintah juga harus memastikan jika program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tidak terlambat dicairkan, khususnya PEN yang melalui pemerintah daerah. Pemerintah juga bisa menambah hibah untuk sektor pariwisata dan jumlah penerimanya diperluas.
Muhamad menambahkan pemerintah juga dapat bekerja sama dengan pihak swasta, agar masyarakat yang tidak dapat kembali ke kota asalnya tetap bisa membeli produk oleh-oleh khas daerahnya secara daring melalui platform market place.
Bisa juga sebaliknya. Masyarakat kota dapat mengirimkan oleh-oleh khas Jakarta ke kampung halaman mereka.
“Pada prinsipnya, membuat kebijakan publik itu tidak dapat membuat semua orang senang. Namun, membuat kebijakan publik itu harus memikirkan kebijakan yang memberikan manfaat yang paling besar dengan biaya yang minimal,” ujar Muhamad.(*)
The Conversation