Oleh: Hanter Siregar*
PIRAMIDA.ID- Dapatkah keterangan korban ditanyakan soal pengalamannya saat pemerkosaan terjadi? Pertanyaan tersebut muncul ketika penasehat hukum (PH) dari terdakwa atas perbuatan tindak pidana pelecehan seksual anak di bawah umur—dalam ranah persidangan.
Pertanyaan diajukan dengan maksud untuk membela hak terdakwa.
Dalam pokok perkara terdakwa diduga telah melakukan tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Perbuatan tercela/hina tersebut dilakukan dalam ruang lingkup sekolah. Salah satu pendidikan sekolah dasar (swasta) bertempat di Kota Medan dan terdakwa berstatus kepala sekolah di SD tersebut. Perbuatan terdakwa diketahui setelah beberapa kali mengulangi tindakannya yang mengakibatkan setidaknya ada 6 (enam) korban.
Saat ini status terdakwa sedang menjalani proses persidangan. Pada suatu agenda persidangan dengan acara pemeriksaan keterangan saksi korban, penasehat hukum dari terdakwa bertanya pada korban: “Mengapa kamu selalu mau dibawa, apakah keenakan?”
Pertanyaan tersebut sontak membuat ibu korban sangat terkejut dan merasa terhina. Ibu korban pun menyampaikan kejadian dalam ruang persidangan serta memberitahu pertanyaan PH terdakwa yang tidak senonoh kepada penasehat hukum korban, Ranto Sibarani, S.H., berkantor di Grand Pavilion No. 7 jalan Melati Raya, Medan.
Sebelumnya PH dari korban tersebut tidak diperbolehkan menghadiri ruang persidangan—dengan dalil hukum ‘peradilan’ sifatnya tertutup.
Terlepas dari itu, pertanyaan dari PH Terdakwa nampaknya bertujuan untuk menyudutkan korban, di mana korban telah lebih dari satu kali dibawa terdakwa. Perbuatan tercela/hina tersebut tidak saja dilakukan hanya di ruang lingkup sekolah, akan tetapi juga di luar sekolah.
Terdakwa berdasarkan bukti penyelidikan Polda Sumatera Utara, terdakwa diketahui menyewa kamar hotel demi melancarkan aksi bejatnya. Namun terlepas terdakwa bersalah atau tidak, biarlah majelis yang mulia hakim yang memutuskan.
Merujuk pada maksud dari pertanyaan tersebut, bagaimana seharusnya penasehat hukum dalam menggali informasi dari korban pelecehan seksual? Etiskah mepertanyakan apa yang dirasakan korban saat pemerkosaan terjadi?
Menurut pendapat ahli psikologi, Kristi Poerwandari mengatakan bahwa, “Korban pelecehan seksual tidak pernah menikmati tindakan dari penyerangan seksual tersebut, bahwa korban tidak pernah mau dan tidak pernah menyangka bahwa penyerangan seksual akan terjadi kepada dirinya serta akan diperlakukan tidak baik.”
Korban akan selalu mengalami traumatis dan ganguan mental ataupun ganguan fisikis. Rasa percaya diri orang yang menjadi korban pelecehan seksual akan sulit kembali pada keadaan normal. Apalagi korban adalah anak di bawah umur. Korban biasanya akan cenderung mengalami depresi, itu sebabnya butuh penangangan khusus.
Berhubung dengan itu, negara sudah tepat menjamin perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Karena itu, dalam ruang persidangan penasehat hukum tidak boleh mengajukan/mempertanyakan sesuatu yang dapat menyudutkan korban ataupun mendiskreditkan korban.
Contoh, saudara korban, apakah menikmati saat berhubungan seksual dengan terdakwa? Hal ini bertentangan dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 5 ayat (1) huruf (c) “memberikan keterangan tanpa tekanan” dan huruf (e) “bebas dari pertanyaan yang menjerat”.
Hal yang sama juga terdapat dalam ketentuan dalam KUHAP, Pasal 66 “Pertanyaan yang bersifat menjerat, tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi”. Jadi berdasarkan Pasal 166 KUHAP beserta penjelasannya tersebut, dilarang mengajukan pertanyaan menjerat baik kepada terdakwa maupun kepada saksi.
Karena itu penasehat hukum terdakwa, aparat kepolisian, jaksa , dan majelis hakim wajib harus memperhatikan psikologi korban pelecehan seksual dalam mengajukan dan mempertanyakan keterangan korban.
Sesuai dengan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial No:047/KMA/SKB/IV/2009 (02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim juncto Perma No. 3 tahun 2017, Pasal 4 huruf d “dampak psikis yang dialami korban” dengan demikian tidak etis mempertanyakan hal yang menyudutkan korban sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 huruf c “mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku.”
Dalam ketentuan Pasal 7 Perma No. 3 tahun 2017, “Selama jalannya pemeriksaan persidangan, hakim agar mencegah dan/atau menegur para pihak, penasehat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas Perempuan yang berhadapan dengan hukum.”
Artinya korban ataupun saksi bebas dan merdeka dalam memberikan keterangan.
Menempatkan anak di bawah umur sebagai objek seksual adalah sesuatu yang sangat bertentangan dengan ketentuan hukum dan perikemanusiaan serta hak asasi manusia (HAM). Karena itu, penasehat hukum terdakwa tidak boleh mempertanyakan sebagaimana dimaksud di atas. Tindakan demikian seakan menjustifikasi anak sudah berpengalaman tentang seksual.
Secara umum anak di bawah umur belum memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang seksual. Hal ini dikuatkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di mana diatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Terlebih lagi UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 3 “diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya”.
Anak di bawah umur belum mempunyai kebutuhan seksual, karena itu tidak etis untuk dipertanyakan pengalaman seksualnya serta meminta pendapat anak soal pengalaman seksualnya ketika diperlakukan tidak senonoh.(*)
Penulis merupakan paralegal. Aktif menulis di bidang lingkungan, sosial, hukum, dan politik. Saat ini tinggal di Medan.