Victor Immanuel W. Nalle*
PIRAMIDA.ID- Protes terkait pengesahan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja selalu berpusat pada dua hal: ketenagakerjaan dan lingkungan hidup.
Masyarakat sipil, organisasi buruh, dan aktivis lingkungan menuntut pembatalan UU ini karena pasal-pasalnya mengebiri hak-hak pekerja dan mendorong kegiatan yang merusak lingkungan atas nama investasi.
Ada satu hal yang belum banyak dibahas yaitu dampaknya yang merusak praktik desentralisasi yang sudah dibangun sejak dua dekade silam untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia pascareformasi.
Tulisan ini menunjukkan bagaimana UU Cipta Kerja melunturkan warna desentralisasi yang sudah dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Bukannya meningkatkan potensi daerah dari desentralisasi, UU Cipta Kerja justru merusaknya.
Penghilangan otoritas desentralisasi
Reformasi pada akhir 1990-an berusaha mengganti sistem pemerintahan terpusat Orde Baru yang memunculkan kesenjangan pusat dan daerah atau Jawa dan luar Jawa dengan praktik desentralisasi pemerintahan. Dalam praktik tersebut, setiap daerah diberi otonomi untuk mengatur pemerintahannya sendiri dengan harapan bisa mendorong semangat demokrasi hingga ke tingkat daerah.
Tapi bukannya merawat konsep desentralisasi, UU Cipta Kerja justru merusaknya.
Dalam pelaksanaannya, UU Cipta Kerja menarik kembali beberapa tugas dan kewenangan yang sebelumnya oleh berbagai undang-undang didelegasikan kepada pemerintah daerah ke menteri bersangkutan. Dalam UU Cipta Kerja terbaru, pemerintah daerah hanya menunggu pendelegasian tugas dan kewenangan tersebut dari pemerintah.
Setidaknya ada lima praktik bagaimana pemerintah akan merusak praktik desentralisasi.
Pertama, menghapus tugas pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir
Pasal 20 UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebelumnya memberikan kuasa pada pemerintah daerah untuk memberikan izin lokasi dan pengelolaan usaha di wilayah tersebut.
UU Cipta Kerja kemudian mengubahnya dengan mengalihkan kewajiban pemberian izin tersebut kepada pemerintah pusat.
Kedua, pengambilalihan wewenang pemerintah daerah menetapkan harga listrik
UU Ketenagalistrikan No. 30 Tahun 2009 mengatur bahwa pemerintah daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berwenang menetapkan tarif tenaga listrik bagi konsumen. Kewenangan ini dihapus di dalam UU Cipta Kerja dan diserahkan sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Penghapusan kewenangan tersebut menunjukkan perubahan pandangan terhadap realisasi otonomi daerah dalam penyelenggaraan tenaga listrik.
Ketiga, penghapusan kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pasar lokal.
Pasal 90 UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menjaga keseimbangan pasokan dan kebutuhan produk hortikultura setiap saat sampai di tingkat lokal.
Kewenangan tersebut dihapus oleh UU Cipta Kerja. Pemerintah berargumen bahwa penghapusan ini akan memperkuat komitmen Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk tidak mengintervensi pasar hortikultura.
Keempat, pemberian izin usaha dalam kendali pemerintah pusat.
UU Cipta Kerja menghapus kewenangan pemerintah daerah untuk menerbitkan izin usaha di daerahnya, seperti izin usaha peternakan yang sebelumnya diatur dalam UU No 19 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan izin usaha di bidang pangan yang sudah diatur dalam UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Kelima, menghapus wewenang pemimpin daerah dalam menjamin ketaatan perusahaan untuk melakukan restorasi lingkungan.
Setiap perusahaan yang beroperasi di suatu daerah harus berupaya merestorasi kerusakan lingkungan yang timbul dari aktivitas usahanya.
Restorasi tersebut ditujukan untuk memulihkan lingkungan hidup dari dampak bisnis perusahaan melalui pengalokasian dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan.
Namun kewenangan penetapan dana penjaminan dialihkan sepenuhnya ke pemerintah pusat dalam UU Cipta Kerja. Hanya pemerintah pusat yang dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan.
Dampak
Penghapusan berbagai kewenangan pemerintah daerah tersebut akan berimplikasi pada aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kekuasaan pemerintahan daerah tidak lagi undang-undang tapi menjadi bergantung pada norma dan standar yang dibuat oleh pemerintah pusat melalui instrumen peraturan pemerintah.
Di satu sisi, model ini mungkin dapat menyelesaikan kerumitan sinkronisasi regulasi pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah. Namun di sisi lain model ini seperti meminggirkan pemerintah daerah sebagai elemen yang perlu diberdayakan dalam mengelola kekuasaan.
UU Cipta Kerja juga mengingkari beragamnya kondisi dan potensi di daerah. Padahal praktik pembagian kewenangan di daerah telah memberi keleluasaan bagi daerah untuk berinovasi yang berdampak pada pelayanan publik.
Penyederhanaan regulasi melalui UU Cipta Kerja seharusnya dilakukan dengan tetap memungkinkan pemerintah daerah berpartisipasi dalam memecahkan persoalan di daerah dan bukan menyerahkannya kepada pemerintah pusat. Hal ini bertujuan agar pemerintah dapat memiliki kesempatan untuk melaksanakan tugas dan wewenang terkait persoalan yang ada di dekatnya. Pemerintah pusat hanya mengambil alih tugas dan wewenang jika dibutuhkan.
UU Cipta Kerja tampaknya ingin mengatasi persoalan tumpang tindih pusat-daerah dan antarlembaga pemerintahan dengan pendekatan memusatkan kekuasaan kepada pusat. Namun langkah tersebut telah merusak desentralisasi.
Ketika desentralisasi menjadi makin terbatas, maka semakin terbatas pula kesempatan partisipasi dan inisiatif hingga level pemerintah daerah. Oleh karena itu, UU Cipta Kerja sesungguhnya juga telah merusak demokrasi dalam hubungan pusat dan daerah yang dimulai sejak reformasi.
Penulis merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika, mahasiswa Program Doktor, Universitas Katolik Parahyangan. Artikel republikasi The Conversation.