Fernando Sihotang*
PIRAMIDA.ID- Pertengkaran-pertengkaran seputar identitas kepelbagaian masyarakat Indonesia masih menjadi konsen sekaligus skeptical bagi terwujudnya cita-cita persatuan, perdamaian dan keadilan yang dibayangkan para pelopor bangsa “modern” ini.
Peristiwa-peristiwa intoleransi masih mengisi ruang-ruang perjumpaan yang seharusnya diorganisir untuk mengakomodasi perbedaan, bukan dalam agenda menyamakan.
Ruang kebebasan di Indonesia pasca Reformasi disajikan di atas wadah yang paradoks. Di satu sisi, kebebasan sipil dan politik, yang selama 32 tahun dikebiri, dijamin di dalam dokumen-dokumen hukum positif, walaupun filosofis hukumnya masih sangat terbuka untuk dipertentangkan.
Seperti halnya pembatasan-pembatasan kebebasan yang tidak perlu (unnecessary) dan tidak proportionate sehingga membiarkan sekat-sekat bagi aktor-aktor – baik negara maupun sipil – menganga untuk mendiskriminasi yang lain demi mengeruk kepentingan ideologi maupun politik. Di sisi lain, kebebasan itu dijadikan sebagai momentum kebangkitan sentiment atas nama agama.
Tuntutan pemblokiran aplikasi Alkitab berbahasa Minang beberapa hari yang lalu merupakan bukti bahwa urusan-urusan penghargaan kebebasan sipil dan politik masih meninggalkan tanda tanya besar. 72 tahun sudah hak asasi manusia diadopsi menjadi dokumen universal kemanusiaan yang bertujuan melindungi hak setiap individu untuk bebas berpikir, berkeyakinan (hati nurani) dan beragama, serta memanifestasikan pilihannya itu baik secara individu maupun “bersama-sama dengan komunitasnya”.
Satu hal penting yang perlu dicatat, penyebutan “bersama-sama dengan komunitasnya” tidak dimaksudkan melindungi identitas kelompok, tetapi semata-mata melindungi individu ketika ia memilih untuk menjalankan keyakinannya secara kolektif.
Seorang Kantian Nadia Sawicki (2012), dalam artikelnya The Hollow Peace of Conscience, mengingatkan bahwa pilihan atas keyakinan dianalogikan layaknya “peradilan internal”, yang mana pemeran hakim dan terdakwa adalah satu dan orang yang sama. Dengan demikian manusia dibayangkan sebagai makhluk yang rational dan autonomous.
HAM yang universal itu juga menafsirkan rasionalitas dan keotonomian setiap individu sehingga ia menjadi menjadi seperti apa yang diinginkannya, sepanjang ia tidak turut mengalienasikan (menghilangkan) hak orang lain untuk bebas berpikir dan memanifestasikan keyakinannya.
Tapi pembahasan yang terakhir ini rentan untuk disalahtafsirkan sebagai pembatasan hak yang legitimet atas nama perasaan (feeling), hak mayoritas yang terluka dan demi terciptanya ketertiban umum/kerukunan.
HAM tidak pernah menjanjikan perlindungan atas dasar perasaan dan hak atas nama mayoritas karena perbedaan pilihan seseorang yang dianggap bias dari standar moral masyarakat kebanyakan. Pembatasan hak dan kebebasan atas dasar ketertiban umum memang legitimet sesuai hukum HAM internasional, namun bukan berarti kemarahan yang diakibatkan “hati yang terluka” tersebut dibenarkan untuk menghalangi kebebasan orang lain untuk berpikir, berkeyakinan dan beragama serta memanifestasikannya menjadi berkurang.
Sebagai tambahan, HAM konsisten melindungi manusia sebagai individual agents dan tidak pernah menjadikan “identitas” sebagai objek dari HAM yang harus dilindungi. Perlindungan kelompok minoritas atas dasar bahasa, keyakinan, dan suku bangsa – dituangkan dalam dokumen PBB di Declaration on the Rights of persons belonging to national or ethnic, religious and linguistic minorities – bukan pula berarti bahwa HAM menjadikan mereka (kelompok) sebagai obyek yang dilindungi.
Agama, bahasa dan suku bangsa disebutkan hanyalah karena ada individu yang konsen dengan mereka, baik itu karena pilihan maupun identitas yang sudah melekat dengan individu tersebut.
Seiring dengan pemahaman kita bahwa manusia adalah makhluk yang rational dan autonomous, penghakiman atas pilihan berkeyakinan seseorang, termasuk memanifestasikannya lewat bahasanya, merupakan sebuah bentuk pengebirian tanggungjawab moral seseorang (moral responsibility).
Ia yang berada dalam posisi moral ini tentu akan mempertanggungjawabkan pilihan spiritualitasnya dengan cara yang paling mungkin ia lakukan, termasuk melalui bahasa.
Posisi moral inilah yang diperjuangkan oleh Martin Luther ketika ia menghantarkan gereja menuju reformasi gereja (1517). Ia menerjemahkan Alkitab dari bahasa asli Aram di Perjanjian Lama dan bahasa Yunani di Perjanjian Baru ke dalam bahasa lokal (Jerman) agar bisa dimengerti oleh semua kalangan. Alkitab yang digunakan sebelum diterjemahkan oleh Luther tersedia dalam bahasa Latin.
Kesempatan memahami isi Alkitab hanya terbuka kepada pemuka-pemuka gereja, bangsawan dan orang-orang terpelajar. Karena bahasa Latin hanya diajarkan di sekolah-sekolah, dan tidak semua orang memiliki kemampuan mengakses dan menjangkau bangku pendidikan pada masa itu.
Akhirnya, negaralah yang seharusnya mengambil peran sebagai pihak yang mendistribusikan hak dan kebebasan secara adil serta tanpa diskriminasi kepada setiap orang sesuai dengan konsensus universal. Apalagi Indonesia merupakan negara pihak di bawah hukum HAM internasional yang dituntut patuh.
Gambaran ideal inilah yang dibayangkan oleh John Rawls sebagai doctrine of public reason, dalam bukunya Justice as Fairness, bahwa segala upaya memaksakan kebenaran kepada orang lain adalah tindakan yang unreasonable, karena tidak seirama dengan nilai-nilai publik (public values) dan nilai-nilai standar (standard values).
Moralitas (norma kesukuan, doktrin agama dan ideologi) tidak bisa dijadikan sebagai nilai publik dan nilai standar, karena setiap orang memiliki kebenaran menurut nilai moralnya masing-masing. Berpindah keyakinan tidak bisa dilarang meskipun bertentangan dengan moral agama lahir seseorang, karena tidak semua orang mau menerima standar moral tersebut.
Tindakan intoleransi merupakan sebuah act yang unreasonable, yaitu menolak perbedaan sambil menggiatkan proyek penyamaan. Penyamaan disucikan sebagai upaya mencari kedamaian. Jikalau tidak, kekerasan dan ketidakrukunan akan muncul sebagai konsekuensi. Gray Cox (1986) dalam The Ways of Peace: A Philosophy of Peace as Actions, menyebutnya sebagai the hollow peace (kedamaian hampa), dimana kedamaian itu hanya ditemukan di kuburan tempat tubuh-tubuh mati bersemayam.
Sebagai penutup, intoleransi yang terus dibiarkan tidak hanya akan menghancurkan kebebasan dan kesetaraan setiap orang dalam martabat dan haknya, tetapi juga ia akan menjadi jalan mulus bagi kekerasan sektarian di masyarakat. Belum lagi kalau kita harus menguraikan kaitan pentingnya toleransi sebagai modal pembangunan. Kebanyakan, intoleransi dan politik homogenisasi bergaris lurus dengan kemiskinan.
Penulis adalah Dosen di Universitas Sumatera Utara, Alumni Pascasarjana salah satu kampus di Jerman.