PIRAMIDA.ID- Krisis ekonomi akibat amukan corona tak hanya membuat ‘pusing’ para petinggi negara saja. Melainkan juga kepala desa.
Soalnya, kepala desa beserta ‘kabinetnya’ wajib memastikan berbagai bantuan pemerintah harus sampai pada tangan warga yang membutuhkan. Masalahnya, ada banyak data meleset begitu sampai nama dan alamat si calon penerima.
Ada warga pemilik mobil dan rumah megah masuk daftar penerima. Sebaliknya, nenek yang hidup sebatang kara malah ‘zonk’ alias tidak mendapat apa-apa.
Gampang ditebak, gunjingan segera merebak. Pemerintah desa segera diserbu tudingan pilih kasih, mementingkan sanak saudara, dan sebagainya. Padahal, sebagian data penerima bukan datang atas usulan desa melainkan datang dari struktur di atasnya.
Balai desa menjadi sasaran kemarahan. Rombongan warga segera menyerbu kantor desa untuk meminta ‘keadilan’. Perangkat desa berusaha menjelaskan bahwa data yang salah itu bukan atas usul desa melainkan data ‘dari atas’.
Dengan segera, alasan ini dianggap mengada-ada, menghindar dari tanggungjawab dan sebagainya. Sudah pasti, malamnya kepala desa tak bisa tidur nyenyak karena hal ini.
Bagi institusi selevel dinas di kabupaten atau tingkat provinsi, masalah salah sasaran begini bukan masalah yang rumit. Mereka bisa berkilah, data yang mereka pakai berasal dari struktur di bawahnya, lalu berjanji akan melakukan revisi dan segala usaha memperbaiki data. Selesai masalah, meski entah kapan revisi dilakukan.
Lain Kepala Dinas lain pula Kepala Desa. Bagi Kepala Desa, ini masalah yang rumit.
Pertama, mereka tidak memiliki kekuatan untuk merubah data karena data datang ‘dari atas’. Yang bisa dilakukan adalah mengusulkan lalu mengusulkan lagi. Kedua, ini yang paling gawat, tudingan warga soal data yang salah sasaran dan padahal bukan dibuat pemerintah desa adalah, bisa menggerogoti kepercayaan warga terutama para pemilih si kepala desa pada Pemilihan Kepala Desa edisi selanjutnya. Bukan rahasia lagi, para kepala desa selalu ingin menjadi kepala desa lagi..dan lagi.
Tetapi sesungguhnya, masalah yang jauh lebih penting dan menjadi terbengkalai akibat hiruk-pikuk pembagian dana sosial adalah, pemerintah desa menjadi kehilangan tenaga untuk memikirkan bagaimana menciptakan program yang bisa mendorong produktivitas ekonomi warganya di masa pagebluk ini. Kenapa ini penting, soalnya krisis ekonomi ini tidak akan selesai hanya dengan ‘pembagian’ uang pada warga.
Dana sosial bagaimanapun hanya berlaku untuk beberapa bulan saja. Tentu saja jumlah dana itupun tak sanggup menjawab kebutuhan warga secara penuh.
Lalu, bagaimana nasib warga penerima bantuan dana sosial setelah tak ada bantuan sosial pemerintah dan pagebluk masih berkuasa. Ini yang musti dipikirkan saat ini terutama pada situasi ekonomi pedesaan.
Tapi apa daya, gegara amukan si corona, pemerintah desa bukan hanya ‘tenggelam’ dalam pusaran masalah data warga penerima bantuan, tetapi juga terpangkasnya saturan juta anggaran desa. Ini yang paling membuat kepala para Kades menjadi berkunang-kunang.
Puluhan rencana pembangunan sudah diambang mata pada Tahun Anggaran 2020 ini harus dicoret, jika tidak ya dikurangi budgetnya. Ini terpaksa dilakukan soalnya seluruh rupiah sedang dikerahkan mengatasi corona. Bagaimana bisa membangun dan menjalankan aktivitas ekonomi jika sebagian besar dana membangun kena pangkas.
Tak banyak pilihan yang dimiliki Kepala Desa sekarang ini selain menjalani instruksi dari pusat mengenai cara mengusir wabah corona. Sekaligus merelakan berbagai rencana pembangunan harus raib dari daftar agenda desa tahun 2020. Pada saat sama musti siap pula menjadi ‘terminal’ keluh-kesah warga yang sedang terjepit ekonomi. Masih ingin jadi kepala desa?
Sumber: Kongres Kebudayaan Desa/ Aryadji