PIRAMIDA.ID- Berselang 5 hari usai Pemerintahan Jokowi menaikkan tarif BBM, program bantuan sosial yang diklaim pemerintah akan meringankan beban masyarakat mulai santer di berbagai media sosial maupun media pemberitaan lainnya.
Di Provinsi Jambi misalkan, Kamis 8 September kemarin sejumlah masyarakat telah menerima bansos BLT BBM yang disalurkan oleh Kemensos bagi 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM) yang terdata di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) lewat cabang PT POS di tiap daerah.
Kemudian juga terdapat bansos lainnya yang dianggarkan senilai 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) Pemerintah Daerah sebagaimana diungkap oleh pemerintah setelah menaikan harga BBM.
Berdasarkan keterangan Dinsos Provinsi Jambi belum lama ini, diketahui jumlah masyarakat yang tergolong dalam ekonomi kelas bawah berjumlah kurang lebih 300.000 jiwa. Mereka berkesempatan untuk mendapatkan Bansos imbas kenaikan harga BBM.
Namun penyelenggaraan bansos demi menangkal efek domino kenaikan BBM dinilai sarat akan berbagai persoalan. Kepada awak media, Ketua GMKI Jambi, Arianto Manurung mengkritik kebijakan pemerintah itu, ia menyampaikan kenaikan BBM yang ditangkal dengan bansos rentan terhadap berbagai masalah.
“Yang pertama tegas kami sampaikan, sampai hari ini kita masih satu suara menolak kenaikan harga BBM. Memang pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Bansos bagi masyarakat miskin, mulai dari BLT BBM, BSU, sampai Subsidi Pemda senilai 2% dari DAU dan BDH itu. Tapi perlu kita ingat bahwa itu semua bersifat jangka pendek,” katanya.
Menurut Arianto, kedepan kenaikan harga BBM subsidi itu akan berimbas pada semakin buruknya perekonomian rakyat yang baru mau pulih pasca pandemi Covid-19. Terlebih, saat ini tingkat inflasi di wilayah Provinsi Jambi mencapai angka 7,7% dengan angka kemiskinan kurang lebih 300.000 jiwa.
Hal tersebut dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi perekonomian khususnya masyarakat ekonomi kelas bawah. Karena, kata Arianto, berbicara mengenai BBM itu menyangkut banyak segi kehidupan. Dan saya rasa, lanjutnya, subsidi pemerintah senilai Rp 600.000 tidak cukup untuk menjawab persoalan besar kenaikan BBM.
“Belum lagi kalau kita berbicara soal penyalurannya selama ini. Ada banyak catatan ketidakakuratan data, tidak tepat sasaran dalam penyaluran sampai adanya praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara. Oleh karena itu, kita tetap pada prinsip, kita tetap menolak kenaikan BBM,” katanya menutup.(*)