Oleh: Febri Firsandi Putra*
PIRAMIDA.ID- Rakyat Indonesia mendapat kado indah dari Pak Presiden. Kado telat buat rakyat yang baru saja memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-77. Kado ini menjadi kejutan tak terduga di tengah pontang-pantingnya rakyat untuk pulih dari pandemi.
Slogan perayaan kemerdekaan pun bukan main, yakni ‘Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat’. Dari frasa itu saya sebagai rakyat yakin benar bahwa bangsa ini memang bangsa yang hebat. Ya, hebat bikin slogan.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa bangkit lebih cepat? Pulih lebih kuat? Sementara, beban rakyat justru ditambah semakin berat.
Harga BBM naik itu bukan hal baru. Dan sudah barang tentu semua tahu, apa dan bagaimana dampaknya. Saya yakin, para pejabat yang terhormat pun sangat paham. Tapi, paham belum tentu peduli.
Sekira 14 tahun lalu, saya sedang duduk bersama teman. Waktu itu presidennya masih pak SBY. Kami duduk di pelataran sekolah menunggu pengumuman kelulusan. Saat itu hal yang sama terjadi. Harga BBM naik. Alasannya pun serupa lah, soal subsidi. Teman saya pada waktu itu mengumpat kasar.
“Wai, makin saro ni kagek (Wah, semakin sengsara nih nanti),” ujar teman saya waktu itu.
Seingat saya waktu itu harga bensin (premium) adalah Rp 6.000 dari sebelumnya Rp 4.500. Dan benar saja, akibat kenaikan harga BBM itu harga barang-barang hamper merata naik. Rakyat menjadi bingung, harga-harga melambung.
Setelah naik menjadi enam ribu rupiah, pemerintah pun menurunkan harganya beberapa kali. Rakyat sempat senang, tapi ternyata harga barang yang naik enggan turun lagi.
Lebih lucu lagi, setahun kemudian kebijakan yang tak bijak itu dijadikan bahan mainan politik. Tahun 2009, keputusan menurunkan harga BBM dan bagi-bagi BLT dijadikan pencitraan. Bagaimana dengan sekarang? Apakah akan menjadi bahan kampanye atau “tabungan” di tahun politik 2024? Entahlah.
Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya, apa iya kita selama ini subsidi? Masa Negara yang kaya akan minyak, mau itu di bawah atau di atas tanah malah subsidi minyak? Apa benar minyak yang berjuta liter terus disedot dari perut bumi itu butuh duit subsidi? Memangnya berapa ongkos produksi sampai harus subsidi?
Apakah subsidi itu cuma alibi? Rakyat jangan terus-terusan dikelabui. Rakyat berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Jika bukan alibi, lantas mengapa disebut subsidi? Apa karena Negara ini gagal kelola sehingga bikin Negara ini menyedot minyak mentah, mengekspornya lantas mengimpor kembali minyak siap pakainya?
Nanti, pembelaan yang muncul adalah, harga bbm Indonesia itu murah kalau dibandingkan luar negeri. Komparasinya tak seimbang sih. Jadi teringat sebuah lagu yang bikin istana bergoyang. “Ojo Dibandingke” (Jangan Dibandingkan). Lagu itu bikin seisi istana bergoyang. Atau setidaknya, yang jaim-jaim cuma goyang jempolnya. Rakyat dibuat senang dengan bergoyang. Setelahnya? Selamat, anda kena Prank.
Rakyat punya hak untuk bertanya-tanya, sebab mereka sengsara tak berdaya. Sudah 77 tahun Negara ini merdeka, tapi rakyat masih saja merasa terjajah di atas negerinya sendiri. Harga sembako naik, pajak naik, BBM pun naik. Padahal kita semua tahu, rakyat sempat tak boleh keluar cari makan lantaran pandemi. Pakailah sedikit nurani! Nasib rakyat, bukan bahan mainan.(*)
Penulis merupakan jurnalis di Jambi.