Oleh: Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- Toelbok Haleon karya Sutan Panguragan Pane (orang Pangurabaan, Sipirok), pertama kali diterbitkan dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar (mula-mula terbit di Partopaan, lalu dicetak jadi buku dua jilid pada 1910. Tahun 1915 kembali diterbitkan jadi cerita bersambung di surat kabar Pustaha).
Dua Sedjoli karya Sutan Martuwa Raja Siregar (Sibadoar, Sipirok), dan Sitti Djaurah karya MJ Sutan Hasundutan (Pagaran Julu, Sipirok).
Askolani melakukan penelitian bahasa dan menyebut ketiga karya roman itu berbahasa Mandailing dan menyimpulkan bahasa (diksi) di dalam novel-novel itu menyimpan bahasa asli Mandailing.
Bagaimana logikanya pengarang asal Sipirok berbahasa Mandailing dalam menulis karyanya.
Sutan Pangurabaan Pane, ayah dari Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Lafran Pane, juga menulis banyak buku panduan adat-istiadat Batak. Dia juga menulis Kamis bahasa Batak Angkola, Marhata Batak, Adat Sirian Pabuat Boru, dan lain lain.
Sutan Martuwa Radja Siregar yang menulis novel Dua Sedjoli adalah seorang guru, dan lama ditugaskan Belanda untuk membuka sekolah di Siantar. Di akhir masa jabatannya, dia meneliti asal usul masyarakat Angkola dan memutuskan tinggal di kampung halamannya, Sibadoar (Sipirok).
Masa pensiun dia menulis sebuah novel panjang yang tak selesai hingga akhir hayatnya. Novel itu berlatar sejarah, yang kemudian dibaca sebuah penerbit, dan dilanjutkan oleh anaknya, Onggang Parlindungan Siregar. Novel itu diberi judul Tuanku Rao.
Tuanku Rao dikisahkan sebagai orang Sipirok, berkebudayaan Sipirok. Dia anak hasil inces yang dihukum di Utara dan diselamatkan, kemudian hidup di Sipirok. Dia dibesarkan dengan dendam kesumat kepada Sisingamangaraja, yang kemudian mendorongnya untuk membawa balatentara padri ke Utara dan memerangi Sisingamangaraja XI. Cerita fiksi ini acap dijadikan referensi oleh para peneliti untuk membicarakan sejarah antropologi.
Sutan Martuwa Radja ini alumni Kweekschool Tano Bato. Dia satu-satunya orang Sipirok yang alumni Kweekschool Tano Bato. Sebagian besar alumni sekolah yang didirikan Willem Iskander ini berasal dari kekuriaan di wilayah Padang Sidempuan dan Panyabungan. Sipirok baru dimasuki Belanda setelah Kweekschool Tano Bato dipindahkan ke Padang Sidempuan dan jadi Kweekschool Padang Didempuan.
Ketika Belanda berencana menetapkan Tanah Batak (Batakland) sebagai nama pemerintahan Keresidenan Batakland, alumni Kweekschool Tano Bato dan anak keturunannya protes dan minta agar nama itu diganti, lalu Belanda memutuskan Keresidenan Tapanuli sebagai nama pemerintahan dengan ibukota Sibolga.
Sejak itu, muncul Sipirok sebagai sebuah wilayah onder-afdheling, khusus Sipirok. Sebelumnya, ketika Belanda memabgi wilayah menjadi Afdheeling Mandhaeling en Ankola, wilayah Ankola terdiri dari puluhan kekuriaan yang ada di Padangsidimpuan, Sipirok, Padang bolak, dan Sibuhuan.
Sitti Djaoerah, Padan Janji Natogu karya Mangaraja Sutan Hasundutan bercerita tentang Sitti Djaoerah, perempuan Batak Angkola yang memutuskan mengejar laki-laki pujaan hatinya ke Tano Doli. Novel ini unik, karena Sutan Hasundutan memakai dialek-dialeg Angkola jika setting di Angkola, memakai dialek Toba jika setting cerita di Toba, dan dialek Mandailing jika setting cerita di Panyabungan.
Menyebut bahasa berbeda, padahal yang berbeda hanya dialek merupakan kekeliruan identifikasi.
Dialek Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, dan Sipirok itu berbeda, tapi akarnya sama. Bahasa merupakan kebanggaan identitas, dialek bahasa menjadi ciri khas yang harus diterima dan tidak boleh ditolak karena mengaburkan sejarah.
Simpul yang bisa diambil. Bahasa adalah kebanggaan identitas. Pemilik bahasa menciptakan bahasa untuk alat komunikasi. Pada perkembangannya, bahasa (aksara) dipakai untuk menuliskan gagasan atau pemikiran atau hal hal berkaitan tradisi.
Dari sekian banyak pemakai bahasa Batak, daerah Sipirok memakai bahasa Batak itu untuk menuliskan sejarah peradaban (syarat menjadi raja di lingkungan orang Batak harus bisa hafal seluruh generasi dari masyarakatnya agar dlmasyarakat menerimanya), dan untuk itu ada cendikiawan (datu) yang khusus merangkum sejarah dalam buku besar untuk diwariskan kepada generasi pemegang tampuk kerajaan.
Perangkuman sejarah ini meninggalkan tradisi turi-turian, yang pada generasi berikutnya hingga kepada Sutan Martuwa Radja meninggalkan tradisi bernarasi (pada hakikatnya manusia adalah mahluk bernarasi “homo narrans”) yang menceritakan kisah peradabannya.
Itu sebabnya, tradisi menulis novel banyak dilakukan orang Sipirok. Novel novel sebelum ada Balai Pustaka, sudah dihasilkan orang Sipirok.
Apakah penutur dialek Toba, Mandailing, Pakpak, Karo dan lain lain punya tradisi novel ini?
Sanusi Pane, anak Sutan Pangurabaan Pane, mendapatkan tradisi menulis novel itu dari ayahnya, Sutan Panguragan Pane. Soal nilai timur dalam karya Sanusi Pane, pengaruh Tagore (meskipun dia pernah tinggal di padepokan Tagore di India), hanya memperkuat akar tradisi Sansekerta yang sudah tertanam di dirinya ketika menjadi orang Angkola. Namun, Sanusi Pane lebih fasih berbaga Jawa daripada bahasa Batak, karena lingkungannya dengan istri orang Jawa membuat Sanusi Pane menjadi ningrat.(*)
Penulis merupakan seorang Sastrawan. Aktif menulis esai dan puisi di berbagai media. Untuk info lanjut, penulis aktif di akun FB: Budi P Hutasuhut.