PIRAMIDA.ID- Reformasi politik Indonesia telah bergulir lebih dari 22 tahun. Partai politik, dan tentu saja politikus di dalamnya, adalah penikmat buah kebebasan dari reformasi itu.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito menyebut partai politik sebagai institusi yang memiliki otoritas besar memberi makna demokrasi. Dia meyakini ada pencapaian dalam demokrasi yang harus diapresiasi sebagai hasil kerja partai politik. Namun, ada pula bagian yang masih mengundang keprihatinan.
“Namun kita juga harus akui, bahwa capaian demokrasi yang direpresentasi dari perilaku politik oleh partai, belum sepenuhnya memenuhi harapan. Praktek oligarki, dinasti politik, rente dan seterusnya itu adalah pekerjaan rumah buat kita semua,” kata Arie.
Menjadi aktivis mahasiswa menjelang kejatuhan Orde Baru, dan kemudian berkarir sebagai dosen di Fisipol UGM, membuat Arie Sujito memiliki catatan panjang perubahan politik di Indonesia. Catatan itu dikumpulkan dalam buku berjudul Tonggak Politik. Pernyataan Arie di atas, adalah intisari buku tersebut, yang disampaikan dalam bedah buku daring.
Partai Bermasalah, Bukan Demokrasi
Demokrasi, lanjut Arie, tidak cukup dengan menyelenggarakan pemilu yang rutin, tetapi juga soal mereformasi partai. Reformasi politik, bukan hanya tata kelola kelembagaan, tetapi menghadirkan keadilan, pemerataan, dan capaian-capaian pembangunan. Jokowi tidak cukup membuat terobosan pembenahan infrastruktur dan pengembangan SDM, tetapi juga harus menciptakan keadilan. Pers tidak sekedar membawa kabar kebebasan, tapi mengukur kualitas kebebasan itu sendiri.
Belakangan, kata Arie, demokrasi di Indonesia juga melahirkan milisi-milisi sipil. Kelompok ini seringkali melampaui kapasitas dan mengambil alih peran negara. Karena itu, Arie mempertanyakan kembali peran masyarakat madani dalam proses demokrasi di Indonesia.
Sayangnya, partai politik sebagai motor utama berdemokrasi mengalami banyak masalah. Masyarakat bahkan memberi cap, bahwa politik itu buruk. Arie memberi istilah, masyarakat Indonesia mendambakan demokrasi tetapi memenjarakan politik. Padahal, masyarakat harus berperan mereformasi partai politik.
“Partai politik tidak boleh kita hancurkan. Tidak boleh kita bunuh. Tapi sebaliknya, dalam demokrasi sebagai sistem yang kita percaya akan bisa mengelola kekuasaan, partai ini harus direformasi,” lanjut Arie.
Masyarakat Sipil dan Situasi Politik
Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri yang menjadi penanggap dalam diskusi buku ini, menilai karya Arie Sujito hadir di saat yang tepat.
“Buku Tonggak Politik ini, saya rasa sangat tepat waktunya, karena kita sedang diuji. Indeks demokrasi kita turun tajam, terutama dalam hal budaya politik. Ada beberapa komponen penilaian, tetapi terutama budaya politik yang turun,” kata Faisal.
Peryataan Faisal itu didasarkan pada laporan yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit awal tahun 2020. Lembaga itu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-64 dari 167 negara dalam daftar indeks demokrasi global tahun ini. Indonesia mencatatkan skor 6,48 poin dalam skala 0-10. Pada 2016, peringkat Indonesia cukup baik, yaitu 48, lalu turun ke 68 setahun kemudian.
Faisal menilai, perkembangan politik beberapa waktu terakhir telah melemahkan fungsi check and balances. Peran lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif semakin tidak jelas.
Koalisi besar yang membuat pemerintah penuh dengan kekuatan partai, melemahkan fungsi oposisi dan pengawasan di sisi yang berbeda.
Seringkali, kata Faisal, DPR dan Kementerian menggelar rapat secara tertutup. Kemudian lahir sejumlah undang-undang yang begitu cepat dan tiba-tiba. Sikap represif juga sering ditunjukkan aparat negara, dalam kasus-kasus dimana rakyat berhadapan dengan korporasi.
“Korporasi diuntungkan, dibela. Masyarakat adat, nelayan, petani semakin banyak yang tergusur dan tidak bisa memperjuangkan hak dasar mereka,” tambah Faisal.
Namun Faisal meyakini, peran masyarapat sipil masih akan terus ada dalam membangun demokrasi di Indonesia. Menjawab pertanyaan Arie Sujito dalam bukunya, Faisal mengatakan yang akan berubah adalah format gerakan masyarakat sipil. Model gerakan era kejatuhan Orde Baru, tentu saja tidak bisa diterapkan saat ini.
Kaleidoskop Bagi Milenial
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia periode 2014-2019, Dian Kartika Sari, menilai buku ini penting karena menjadi semacam catatan perjuangan demokrasi di Indonesia selama 20 tahun terakhir.
“Dan kaleidoskop 20 tahun itu penting, bagi generasi berikutnya yang lahir di tahun 2000-an, ataupun bagi gerakan masyarakat sipil. Karena sebagian besar masyarakat sipil berjuang dalam situasi ahistoris. Banyak yang tidak tahu, apa yang terjadi sebelumnya,” kata Dian.
Dian mengaku memiliki pengalaman empiris terkait ini, ketika berdiskusi dengan anaknya sendiri yang lahir pasca reformasi. Generasi milenial tidak memahami alasan-alasan mendasar mengenai sejumlah isu penting, seperti penghapusan dwifungsi militer. Generasi yang lahir setelah tahun 1995, kata Dian, tidak memahami apa yang terjadi pada 1998.
Arie Sujito, kata Dian, juga berhasil mencatat warisan gerakan perempuan di Indonesia. Sejauh ini, sumbangsih gerakan perempuan Indonesia dalam reformasi belum banyak dicatat. Tidak mengherankan, apabila banyak gerakan perempuan saat ini yang seolah bekerja dalam situasi ahistoris. Seperti juga generasi milenial, mereka tidak memahami apa yang terjadi pada perjuangan perempuan di masa Orde Baru.
“Saya mencatat, selama 20 tahun ini ada 25 undang-undang yang diintegrasikan perspektif gendernya, termasuk ada ratifikasi-ratifikasi konvensi yang berkepentingan dan berkaitan dengan gerakan perempuan,” katanya.
“Termasuk gerakan disabilitas, hak-hak sosial, politik, hak ekonomi dan budaya, dan itu sebenarnya penting dibaca oleh gerakan masyarkaat sipil, supaya perjuangan ini tidak ahistoris,” lanjutnya.
Source: Rilis/VOA Indonesia