Oleh: Putra Tambunan*
PIRAMIDA.ID- Kita semua tentu belum lupa betapa pilu peristiwa pembongkaran ulang makam Novriansyah Yosua Hutabarat (Brigpol J), ibunya histeris melihat makam anaknya dibongkar guna proses autopsi ulang.
Apa boleh buat, jika hanya dengan begitu harapan besar agar kebenaran terungkap dapat terwujud. Beban berat memang harus diterima pihak keluarga.
Kini, satu minggu sudah setelah kuburan mendiang Brigpol J dibongkar. Alur cerita soal kematian polisi ditembak polisi di rumah polisi pun memasuki babak baru. Bukan soal hasil autopsi tapi soal penetapan tersangka polisi oleh polisi.
Rabu, 3 Agustus 2022, sekira pukul 22.30 WIB, Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo memimpin konferensi pers bersama Dirtipidum Bareskim Polri, Brigjen Pol Andi Rian.
Hasilnya, para petinggi Mabes Polri itu menetapkan Bharada Richard Eliezer (Bhadara E) sebagai tersangka atas kematian rekannya sendiri Brigpol J. “Dari Hasil penyidikan tersebut pada malam ini penyidik sudah melakukan gelar perkara dan pemeriksaan saksi juga sudah kita anggap cukup untuk menetapkan Bharada E sebagai tersangka dengan sangkaan pasal 338 KUHP junto pasal 55 dan 56 KUHP,” kata Dir Tipidum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian.
Adapun Pasal 338 KUHP berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Sementara, Pasal 55 KUHP mengatur tentang mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana.
“Pada mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan,” bunyi Pasal 55 KUHP ayat 1.
Kemudian pada ayat 2, disebutkan bahwa terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Sedangkan Pasal 56 mengatur tentang membantu tindak pidana atau kejahatan, yakni mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Mengenal Pasal 338 KUHP setidaknya terdapat beberapa unsur yang meliputi, yakni unsur pembunuhan, yaitu menghilangkan. Unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan artinya pelaku harus menghendaki dengan sengaja dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan menghilangkan nyawa orang lain.
Sedangkan Pasal 340 KUHP berbunyi, “Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Dapat disimpulkan unsur-unsur pembunuhan berencana berdasarkan Pasal 340 KUHP, yakni barangsiapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Bila kita mengacu pada pasal yang disangkakan Polri terhadap Bharada E, pendek cerita berarti tuduhan adanya konspirasi pembunuhan ini terbantahkan dan pasal pembelaan diri yang tertuang dalam Pasal 49 KUHP, pasal itu akan menjadi senjata ampuh bagi penasehat hukum Bharada E. Hmm.
Anda masih ingat tragedi tembak-tembakan di KM 50 yang menewaskan anggota FPI? Sebab yang baru ini juga tidak jauh beda. Berkaca pada peristiwa kelam FPI, Pasal 49 KUHP menjadi pembelaan ampuh bagi penasehat hukum Henry Yosodiningrat saat membela kliennya di persidangan.
Kembali pada kasus Bharada E, sejumlah pertanyaan pun masih melekat di benak kita bersama. Apakah perbuatan pidana itu dilakukan hanya oleh Bharada E? Atau Apakah Bharada E hanyalah tumbal dari peristiwa ini? Apakah pengaduan pihak keluarga Brigpol J melalui penasehat hukumnya mengenai dugaan pembunuhan berencana akan terpenuhi unsur-unsurnya? Dan apakah akan ada tersangka baru atas perkara ini?
Belum ada jawaban pasti atas semua pertanyaan itu.
Namun satu hal pasti, hari ini ibunda Novriansyah Yosua Hutabarat beserta seluruh pihak keluarga, pejuang HAM, dan ratusan ribu atau bahkan jutaan orang masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke masih terus menunggu dan berharap agar kasus ini sampai pada titik terang.
Karena jika tidak, sudah barang pasti tingkat kepercayaan masyarakat kepada instansi negara macam Polri turun drastis.
Apa jadinya jika instasi yang dipandang masyarakat sebagai penegak hukum malah memainkan peran yang tidak bisa memuaskan rasa keadilan dari jutaan orang masyarakat Indonesia?
Oleh karena itu, apapun ceritanya tentu hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh (fiat justitia ruat caelum).(*)
Penulis merupakanseorang advokat.