Debby Sepriyanti Damanik*
PIRAMIDA.ID- Beribu bintang di langit, namun hanya satu bintang yang kusuka. Tetapi sang bintang pergi meninggalkanku untuk selamanya.
03 Agustus 2020, tepat pada pukul 11:24 WIB, handphoneku berdering. Biasanya aku mengabaikan setiap panggilan masuk. Tapi kali ini aku bergegas dengan cepat untuk mengangkat panggilan itu. Hatiku bertanya saat kulihat bahwa yang meneleponku adalah ibumu.
Lalu aku menjawab telepon dan sontak jantungku berdetak dengan kencang mendengar ibu mu menangis memberitahu kepadaku bahwa keadaanmu kian memburuk dan tidak sadarkan diri seraya ibumu berkata kepadaku:
“Dek, doakan si Arjun ya. Keadannya kian parah, aku lagi jauh dari rumah ingin mengurus surat rujukannya.”
“Ini kami mau ke RS di Siantar untuk merujuk dia dek.”
“Doakan dia dek, agar sehat. Beritahukan kepada teman-temanmu supaya mendoakan dia.”
Aku terdiam dan berderai air mata mendengarnya sembari mengharapkan ‘sang bintangku’ dapat pulih dan dapat beraktifitas kembali.
Menit ke menit, waktu pun kian terus berjalan, semakin tidak tenang perasaanku. Berulang kali aku menanyakan kabarmu gimana kepada adik perempuanmu.
Tepat pada pukul 12:45 WIB, ibumu kembali meneleponku dan berkata,
“Dek, udah sehat dia, udah sehat abangmu.”
“Datanglah kamu, dek. Lihatlah dia, dek.”
Air mataku pun kian bercucur semakin membasahi pipiku mendengar kabar ‘sang bintangku’ telah pergi untuk selamanya.
Tak dapat kubendung air mataku, sungguh betapa terpukulnya aku mendengarkan kabarmu. Kini, ‘bintangku’ telah pergi, takkan ku temukan lagi bintang yang selalu memberiku cahaya. Betapa bodohnya aku yang membiarkan ‘bintangku’ pergi dalam seketika.
Banyak cerita yang telah kau berikan kepadaku, ‘sang pengagummu’. Kenanganmu yang tak dapat kulupakan, bahkan perjuanganmu yang selalu memberikan cahaya kepada orang lain.
Kamu ‘bintang’ yang teramat berharga buatku dan orang orang di sekelilingmu, begitu banyaknya motivasi yang kau berikan dan sinar yang kau pancarkan.
Kini tawamu dan candaan mu yang sangat berarti takkan kutemukan lagi. Tidak akan ada satupun yang dapat melihat kembali pancaran sinar tawamu.
***
Pasca kepergianmu, aku berusaha mengingat kembali waktu-waktu terakhir kebersamaan kita berdua. Aku terbawa suasana retrospeksi.
Terkenang, tanggal 13 Juli 2020, di mana hari itu kamu masuk ke salah satu RS yang ada di kota Siantar seraya kamu berkata kepadaku, “Sakitku uda parah, Deb. Udah gak bakal lama laginya aku.”
Aku bergetir dalam hati dan berusaha membalas dengan senyum ucapanmu, menguatkan dirimu serta memberikan semangat agar kamu mampu melewati masa itu.
Sebab jam jenguk telah habis aku pamit pulang dan kamu bilang, “Kalau kau ingin aku kuat, aku mau kamu datang besok pagi.”
Aku pun menyanggupinya.
Selasa, hari kedua kamu di rawat di RS, keadaan mu kian memburuk dan semakin menghilangkan sinar.
Tak bosannya aku menemanimu pada saat itu, berharap kamu dapat bersinar dan ceria kembali. Detik demi detik, menit demi menit, bahkan jam demi jam tidak terasa berputar kian berjalannya waktu, aku kembali berpamitan untuk pulang sebab hari sudah larut malam dan kamu tak memberikan aku ijin pulang.
Bukannya aku tidak ingin menemanimu sepanjang hari pada saat itu, hanya saja keadaan tidak mengizinkan.
16 Juli 2020, aku kembali menemuimu dan melihat kabarmu. Kamu memberitahu padaku bahwa kamu sudah bisa pulang.
Sontak, betapa senangnya aku pada saat itu mendengar kabarmu, dan berharap aku bisa menjagamu dan merawatmu hingga proses pemulihan.
Satu minggu kamu memberiku waktu untuk merawatmu, dan hingga pada saatnya kamu memutuskan untuk pulang ke kampung sebab kamu rindu suasana rumah.
Sepanjang doaku berharap keadaanmu kian membaik, hari demi hari.
Sesudah kamu di kampung, kita saling bertutur sapa via medsos dan kau mengetikkan kepadaku, “Carilah teman yang bisa membuatmu bahagia, yang selalu menemani harimu.”
“Tetaplah berdoa agar semua bahagia.”
“Jangan pernah pulang larut malam ke kampung, sebab aku tidak akan bisa menemanimu.”
“Suatu saat nanti kamu akan aku bawa ke rumah.”
Kala itu, aku membacanya dengan penuh tanya. Namun aku memendamnya.
Pada tanggal 30 Juli, hari terakhir kamu memberikan kabar kepadaku. Setiap percakapan kamu bilang kamu sudah sembuh, kamu sudah senang dengan keadaan saat ini. Namun, aku tidak percaya akan maksud kata yang kamu ucapkan padaku.
Tepat pada tanggal 01 Agustus kamu datang ke mimpiku dan berkata, “Dalam waktu dekat ini kau bakal datang ke rumah, Deb. Lihatlah aku sudah tidak merasakan sakit apapun lagi, tersenyumlah ketika aku mendiami mu.”
Lusa kemudian, engkau telah istirahat untuk selama-lamanya dan meninggalkan kami.
Ternyata kata-katamu sudah terlebih dahulu memberi tahukan padaku bahwa waktu kita tidak akan lama lagi.
Terima kasih ‘bintangku’ untuk setiap cerita yang telah kau berikan kepadaku.
Kini aku ikhlas akan kepergianmu walau berat bagiku untuk melupakan segala kebaikanmu.
Jadilah pendoa bagi kami yang masih berziarah di dunia ini, Satriadi…
Penulis merupakan mahasiswi Keperawatan di Universitas Efarina. Tulisan ini merupakan kenangan penulis terhadap mendiang Satriadi Arjun Saragih, Koordinator Biro Pendidikan dan Kaderisasi PMKRI Cab. Pematangsiantar yang telah berpulang dan istirahat dengan damai.
sedih bacanya…. sampe terbawa suasaa,….. #Semangat Deby…