PIRAMIDA.ID- 7 September 2004, Munir Said Thalib tewas diracun di pesawat Garuda Indonesia dengan kode penerbangan GA-974 yang seharusnya akan membawanya ke Belanda untuk melanjutkan studi. Hasil penyelidikan tim forensik kepolisian Belanda mengungkap bahwa racun itu adalah senyawa arsenik, yang dikonfirmasi kepolisian Indonesia.
Kasus itu akhirnya menghadirkan nama pelaku, yakni Pollycarpus Budihari Priyanto yang resmi ditahan pada 2005 lalu. Dia adalah mantan pilot maskapai Garuda Indonesia. Namun penelusuran menghasilkan bukti bahwa masih ada kejanggalan yang belum terungkap diungkap terkait kematian Munir.
Siapa sejatinya Munir, dan mengapa proses penyelidikan kematiannya sangat penting meski sudah bertahun-tahun lamanya?
Munir lahir di Batu, Jawa Timur 8 Desember 1965. Ketika berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, ia turut aktif dalam beberapa organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Al Irsyad. Latar organisasi yang berbasis keagamaan ini karena dirinya dibesarkan dari keluarga Muslim keturunan Arab-Hadhrami.
“Dalam arti, ideologi bukan berarti dia kiri atau kanan. Bagi dia, Munir itu bukan intelektual kok. Ndak punya buku dia, kalau sama saya diajak diskusi, duwur-duwur (tinggi-tinggi) begitu, enggak nyampe,” kenang Deddy Prihambudi, kawan kuliah Munir dikutip dari dokumenter Watchdoc Documentary berjudul Kiri Hijau Kanan Merah tahun 2009.
“Artinya kita tidak baca buku tebal-tebal dulu, (lalu merasa) oh kita berpihak pada orang kecil, tidak usah.”
Husein Anis, rekan Munir di HMI menambahkan, “bisa jadi Munir melakukan semacam menggabungkan dua pandangan itu–antara Socialism dan Islamism. Selama ini karena dia lingkungannya speerti itu, orang menganggap dia itu kiri, sosialis, antek Barat.”
Meski demikian, mengutip dari Bunuh Munir!: Sebuah Buku Putih yang dipublikasikan KontraS, dia lebih memilih perspektif HAM untuk menciptakan kesetaraan, melalui dialog bagi masyarakat lintas gender, rasial, etnis, dan agama.
“Lewat pintu ini pula Munir masuk dan bergaul dengan aktivits-aktivis yang berbeda-beda latar belakang demi terwujudnya pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” ungkap KontraS.
Setelah lulus tahun 1989, Munir menjadi sukarelawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang. Dirinya turut aktif dalam mengajar dan mengadvokasi para buruh yang ditindas oleh pengusaha, termasuk mengadvokasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada 1993 di Sidoarjo. Aktivitasnya itu mulai tercium dan dicari-cari oleh tentara.
1996, Munir mulai bekerja di Yayasan Lembaga Hukum Indonesia di Jakarta (YLBHI), setelah sebelumnya sempat menjabat direktur di LBH Semarang selama tiga bulan. Kemudian tahun 1998, dia mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Munir mendampingi 24 korban hilang dan keluarganya di masa peralihan pemerintahan Orde Baru ke Reformasi (1997-1998). 14 korban di antaranya belum ada kabar hingga saat ini. Bahkan Munir juga mengawal kasus pelanggaran HAM lainnya seperti Operasi Jaring Merah dan Operasi Terpadu di Aceh, serta tergabung dalam Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur (kini Timor Leste).
Menjelang Pilpres 2004, hiruk pikuk Indonesia sempat ramai atas para kandidat yang akan dipilih. Selain itu sedang ramai juga tentang RUU Pertahanan Negara dan RUU TNI, dan Munir sempat memberikan saran dan kritik.
Dia dengan pandangannya, memiliki gagasan agar tentara secara profesional memiliki struktur dan peralatan yang memadai, gaji dan penghidupan yang layak, serta dapat menghormati HAM untuk mewujudkan reformasi militer.
Ada banyak pasal-pasal bermasalah yang harus diubah untuk masalah ini. Tetapi pemerintahan periode 2004-2009 masih menerapkan beberapa pasal yang sudah ada sejak Orde Baru.
Pada tahun itu juga, Interchurch Organisation for Development Co-operation (ICCO) yang berbasis di Utrecht, Belanda, melirik dan memberikan beasiswa studi S2 pada Munir. Rencanaya dia akan mengambil program master di Fakultas Hukum Utrecht University.
Irma, staf Imparsial—LSM HAM yang didirkan Munir pada 2002—biasanya bertugas untuk membelikan tiket pesawat untuk Munir. “Saya suka memilih antara tiga penerbangan, misalkan seperti KLM (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij), Malaysia Airlines, atau Garuda,” kenangnya.
“Dia mau selalu pakai Garuda, karena menurutnya ‘Garuda itu memberikan devisa [pada] negara’,”
Setelah wafat akibat diracun dalam penerbangan, menimbulkan banyak desas-desus publik mengenai siapa yang sejatinya membunuh Munir.
Menurut KontraS, ada banyak motif yang melatarbelakanginya, salah satunya akibat kasus-kasus besar yang ditanganinya seperti kasus penghilangan orang, kasus Trisakti dan Semanggi, Timor Timur, yang menyeret beberapa tokoh Angkatan Darat dan petinggi negara.
Dia membawa agenda besar untuk nantinya akan dituntaskan, seperti kelanjutan korban penghilangan paksa, kasus HAM di Aceh dan Papua. Usahanya di bidang HAM juga membuatnya dianugerahi penghargaan Right Livelihood Award tahun 2000.
Hingga saat ini, banyak pihak yang terus mengingat jasa dan menuntut penuntasan kasus kematian Munir, mulai dari tuntutan hukum secara langsung, mural, hingga meme kritik tentang penyelesaian kasusnya di sosial media.(*)
Source: National Geographic Indonesia/Afkar Aristoteles Mukhaer