Oleh: Ticklas Babua-Hodja*
PIRAMIDA.ID- Ketika libido meronta-ronta ingin dilampiaskan, maka harus ada media untuk melampiaskannya. Sama seperti manusia normal lainnya, media pelampiasan, bagi seorang pedofilia, adalah saluran untuk merengkuh rasa nikmat dalam bersetubuh.
Bagi manusia normal, media yang tepat digunakan sebagai media penyaluran libido adalah lawan jenis yang sudah dewasa. Namun bagi seorang pedofilia lawan jenis yang sudah dewasa adalah monster yang menakutkan.
Selain dia menganggap jika bersetubuh dengan orang dewasa tidak akan bisa merasa berkuasa dan menguasainya, maka kemudian dia mengalihkan ketertarikan seksualnya kepada anak-anak.
Anak-anak bagi seorang pedofilia adalah media yang tepat untuk melampiaskan libidonya yang meronta-ronta. Merengkuh kenikmatan dalam hubungan seksual dan dia pun bisa berkuasa dan menguasai anak-anak.
Ketundukan, ketakutan, kengerian dan rasa sakit anak-anak saat sedang disetubuhi (diperkosa) bagi seorang pedofilia adalah kenikmatan dalam berhubungan seksual dengan anak kecil tidak jarang juga pedofilia menyiksa, membunuh, dan memutilasi korbannya. Dia merasa berkuasa (seperti Tuhan) untuk menentukan hidup dan matinya dan mau jadi apa si korban di tangannya.
Dari kondisi kepribadian seorang pedofilia seperti itu, maka kita dapat melihat adanya konkretisasi dari paduan antara teori psikoanalisis dari Sigmund Freud dan Erich Fromm serta teori evolusi seksual dari Jared Diamond. Ketiga teori ini saya sebut dengan istilah: tripple theory.
Mengenal Teori Sigmund Freud
Untuk mengetahui sumber dari kemunculan kekerasan seksual terhadap anak, saya akan meminjam pemikiran dari Sigmund Freud. Menurut Sigmund Freud setiap manusia memiliki libido (nafsu birahi) yang selalu menuntut untuk dilampiaskan. (Ismantoro Dwi Yuwono, 2015:7).
Namun demikian, tuntutan untuk melampiaskan libido yang bersarang pada tubuh manusia itu tidak selalu dapat direalisasikan oleh manusia, penyebabnya adalah karena adanya norma-norma sosial, seperti norma agama, kesusilaan dan hukum.
Di dalam norma-norma sosial inilah diatur syarat-syarat apa saja yang berlaku untuk menyalurkan libido yang selalu menuntut untuk dilampiaskan tersebut. Misalnya, di dalam norma hukum diatur pada usia berapa orang bisa melakukan hubungan seksual atau dalam norma kesusilaan dan kesopanan diatur orang tidak boleh menunjukkan nafsu birahinya melalui bahasa tubuh didepan pihak lain yang bukan istrinya atau didalam norma agama diatur bahwa orang baru dapat berhubungan seksual apabila dia sudah resmi menikahi pasangannya yang sudah dewasa.
Libido dengan demikian terpenjara didalam tubuh manusia dan dia selalu meronta-ronta untuk dilampiaskan. Karena manusia tidak tahan untuk menahan libido yang terus meronta-ronta itu, tindakan yang dilakukan oleh manusia kemudian adalah mengkompensasikannya dalam bentuk interaksi sosial lainnya. Misalnya melakukan kegiatan olahraga, belajar, bekerja, masuk dalam organisasi-organisasi politik, membuat perkumpulan-perkmpulan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang di orientasikan untuk mengalihkan/mengkompensasikan penyaluran libido yang selalu menuntut untuk dilampiaskan. Pengalihan libido dalam bentuk nir-persetubuhan tersebut adalah pengalihan ke dalam bentuknya yang positif. (Ismanto Dwi Yuwonto, 2015:8).
Sebagaimana saya menuliskan, bahwa, pengalihan libido terjadi karena adanya norma sosial yang berlaku didalam masyarakat. Namun demikian, untuk mengalihkan libido kedalam bentuknya yang positif, norma sosial saja belum cukup, harus ada kontrol yang lebih ketat secara kolektif dari masyarakat terhadap perilaku semua orang yang ada di lingkungan masyarakat setempat.
Teori Evolusi Jared Diamond
Dalam buku yang ditulis oleh seorang profesor fisiologi, geografi, dan ilmu lingkungan University of California Los Angeles (UNCLA), Jared Diamond mengatakan, bahwa perilaku seks manusia-berdasarkan standar 4.300 spesies mamalia lain di dunia-adalah perilaku yang aneh dan menyimpang (2007:9). Dimana letak penyimpangannya?
Binatang melakukan hubungan seksual (persetubuhan) hanya pada masa-masa subur (ovulasi) saja untuk memperoleh keturunan sebagai bentuk tindakan pelestarian diri dalam ruang lingkup evolusi, di luar masa-masa evolusi, binatang tidak melakukan hubungan seksual. Selain itu, binatang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya tidak dengan sesama jenisnya, dan hal itu pun dilakukan dengan cara memenetrasikan penis pejantan ke liang vagina betina. Homoseksual, lesbian dan sodomi pada binatang tidak ditemui.
Perilaku seksual binatang tersebut berbeda dengan manusia. Manusia melakukan hubungan seksual tidak hanya pada masa-masa ovulasi saja tetapi hal itu dilakukan baik pada masa-masa ketidaksuburan atau tidak terjadinya ovulasi maupun pada masa ovulasi. Dan hal ini pun dilakukan oleh manusia tidak semata-mata untuk mendapatkan keturunan tetapi hanya untuk bersenang-senang. (Baca: merengkuh kenikmatan).
Menagapa terjadi hal seperti ini? Menurut Jared Diamond, ketika manusia sedang berhubungan seksual, dan pada saat pria menyemprotkan spermanya ke dalam liang vagina, pada saat itulah manusia berharap akan terjadi proses pembuahan didalam rahim. Namun, harapan ini tidak selalu menggembirakan, karena belum tentu didalam rahim terjadi proses pembuahan yang kemudian berujung pada terjadinya kehamilan. (Ismanto Dwi Yuwono, 2015:14).
Ketidakmampuan manusia untuk memperlihatkan atau memberikan sinyal fisik terhadap datangnya kesuburan inilah yang kemudian membuat manusia selalu melakukan hubungan seksual baik di masa subur maupun di masa tidak subur. Supaya manusia selalu memiliki keinginan untuk melakukan hubungan seksual di masa subur maupun tidak subur, maka secara filogenetik terpasanglah rasa nikmat ketika manusia sedang berhubungan seksual.
Rasa nikmat saat berhubungan seksual inilah yang dalam perkembangannya secara evolutif disimpan di dalam diri manusia yang kemudian diturunkan dari generasi ke generasi. Dan dari sini, dari fenomena rasa nikmat seksual, pulalah tampaknya Sigmund Freud kemudian merumuskan teorinya bahwa didalam diri manusia tersimpan libido yang selalu meronta-ronta untuk dilampiaskan.
Dan akhirnya, dalam perkembangannya, manusia dalam melakukan aktivitas seksual pada perburuan kenikmatan. Bahkan dalam perkembangannya justru kenikmatan dalam berhubungan seksual saja lah, yang oleh sebagian banyak orang diburu. Jared Diamond menyebutnya dengan istilah “sex rekreasional.” hal inilah yang kemudian mendorong manusia menciptakan alat kontrasepsi (alat pencegah kehamilan).
Orientasi perburuan kenikmatan seksual dalam perkembangannya mendorong sebagian manusia untuk mencari objek-objek seksual yang menyimpang, seperti oral seks, dan sodomi. Bahkan lebih jauh lagi, untuk kepentingan kenikmatan seksual semata, sebagian orang bersetubuh dengan sesama jenisnya (homoseksual/lesbian) dan ada juga yang memiliki ketertarikan seksual terhadap anak dibawah umur yang biasa disebut dengan pedofilia.
Pedofilia menurut Pandangan Erich Fromm
Pedofilia adalah ketertarikan seksual orang dewasa terhadap anak-anak. Anak-anak yang menjadi sasaran dari pemuasan birahi seksual orang-orang dewasa pengidap pedofilia ini adalah anak-anak pra-pubertas atau anak-anak yang belum mengalami pubertas (belum mengalami menstruasi dan belum dapat dibuahi bagi anak perempuan dan belum dapat menghasilkan sperma bagi anak pria). (Ismantoto Dwi Yuwono, 2015:44)
Pedofilia adalah salah satu bentuk penyakit jiwa kelainan ketertarikan seksual. Untuk melampiaskan nafsu birahinya seorang pedofilia akan mencari anak-anak pra-pubertas-anak yang matang dan siap secara baik reproduksi seksualnya, tujuannya adalah agar pedofil bisa menguasai dan memaksakan penisnya dipenetrasikan ke dalam dubur, liang vagina, atau oral seks sehingga korban akan merasakan sakit yang amat sangat.
Erich Fromm mengidentifikasikan pedofilia adalah penyakit penyimpangan seksual yang masuk dalam kategori sadisme. Fromm mengatakan, dengan berperilaku sadis pada saat itulah pelaku merasa berkuasa terhadap korbannya dan semakin korban merasa sakit ketika disodomi atau disetubuhi maka semakin merasa berkuasalah si pelaku. (Erich Fromm, 2001).
“Bentuknya berkisar dari keinginan menyakiti korban, melecehkannya, membelenggunya, sampai dengan memaksa korban sepenuhnya tunduk kepadanya” (Erich Fromm, 2001:404).
Menurut Erich Fromm, sadisme (pedofilia) kemunculan fedofilia disebabkan oleh dua hal. Pertama, pada masa pertumbuhannya atau pada masa kecilnya seorang pedofil telah terperangkap dalam berbagai kondisi yang membuatnya merasa kesepian dan tidak berdaya. Bersamaan dengan ini anak pada masa kecilnya selalu mendapatkan kekerasan dari orang dewasa dan tindakan-tindakan orang dewasa yang membuat anak ketakutan, misalnya selalu diancam akan dihukum jika tidak mau melakukan ini dan itu. Pada saat-saat seperti inilah yang kemudian anak merasa harga dirinya hancur dan diinjak dibawah kaki orang dewasa. Yang Kedua, anak pada masa kecilnya merasa mengalami kehampaan jiwa. Tidak ada stimulasi, tidak ada yang akan dapat membangkitkan kecakapannya dan potensinya, tahun-tahun berkepanjangan yang menjemukan. Dari keadaan seperti inilah kemudian anak akan mengembangkan kepribadian yang dingin hingga dia menginjak masa dewasanya. (Erich Fromm, 2001:430).
Gabungan dari kedua faktor-penyebab itulah yang kemudian menggiring anak mengembangkan ketertarikan menguasai dan menyakiti orang lain sebagai bentuk perlawanannya. (Baca: kompensasi) atas kondisi yang tidak kondusif dalam “menumbuhkan kedewasaan”-nya itu.
Ada percampuran antara rasa takut terhadap orang dewasa, rasa benci dan rasa jijik, dan ada pula dorongan rasa mencari kompensasi. Akhirnya, kompensasi ini ditemukannya pada sosok anak-anak yang bisa dikuasainya. Rasa berkuasa itu akan muncul pada seorang pedofilia bila dia melakukan tindakan sadis dalam hubungan seksual.
Itulah penyebab internal dari kemunculan penyakit pedofilia. Penyebab kedua adalah penyebab yang saya sebut dengan istilah penyebab eksternal-traumatis. Dan anak yang menjadi korban kejahatan pedofilia akan terkondisikan atau mengalami dampak-dampak negatif.
Kemunculan disorientasi moral pada si anak. Trauma ini muncul biasanya karena disebabkan oleh seringnya korban mengalami kekerasan seksual berupa sodomi (penetrasi penis ke dalam lubang dubur) dari si pelaku, sehingga anak tidak bisa membedakan mana perilaku seksual yang baik dan mana yang tidak. Disorientasi moral ini akan semakin mendalam apabila korban tidak mendapatkan pertolongan dari perlindungan dari orang dewasa setelah anak menjadi korban dari kejahatan pedofilia. (M. Irsyad Thamrin dan M. Farid, 2010:521-523).
Anak yang mendapatkan perlakuan kejam akan menjadi agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang agresif pula. (Harton dan Hunt dalam Bagong Suyanto, 2013:53).
Bahkan Bagong Suyanto dalam buku yang ditulisnya secara tegas mengatakan bahwa anak yang menjadi korban kekerasan (kejahatan pedofilia-pen) ketika dia sudah tumbuh dewasa akan menjadi pelaku kekerasan-pelaku pedofilia. (Bagong Suyanto, 2013:7).
Disorientasi moral yang terjadi pada anak dan tidak tetangani oleh orang dewasa hingga si anak tumbuh menjadi dewasa akan memberikan pelajaran yang keliru pada anak bahwa kenikmatan seksual akan diperoleh dengan cara menyakiti korban. Dan secara keliru pula, dia membangun kesadaran bahwa dengan melakukan tindakan itu dia berkuasa terhadap si korban, kekuasaan yang dibangunnya untuk mengatasi rasa tertekan dan hampa jiwa Frommian.
Sebagaimana yang telah saya singgung dimuka, Erich Fromm menandaskan bahwa ketika si pelaku kejahatan pedofilia sedang menyakiti korbannya, dengan cara menyodomi, ketika itulah si pelaku sesungguhnya tengah menegaskan bahwa dia berkuasa terhadap korbannya. “Kekuasaan”.(*)
Penulis merupakan Kader GMKI Jailolo. Tertarik dengan membaca dan menulis. Menulis esai di berbagai media online.