Nico Nathanael Sinaga*
PIRAMIDA.ID- Bagi sebagian besar kalangan anak muda sejawat, ketika disebutkan nama “Bob Dylan” mungkin akan terdengar asing daripada ketika dicoba kembali untuk mendengarkan lagu populer berjudul “Knockin’ On Heaven’s Door” dan “Make You Feel My Love”.
Untuk lagu pertama, barangkali kita akan menyebut sebuah band rock bernama “Guns N’ Roses” dan untuk lagu kedua, seorang penyanyi dan penulis lagu wanita asal Inggris bernama “Adele”.
Indentifikasi seperti itu sebenarnya wajar saja, mengingat kedua entitas musisi itu yang masih berada di urutan terbaik, membuat masing-masing dari kedua lagu tersebut tetap populer dan familiar di telinga anak muda zaman sekarang.
Namun, siapa Bob Dylan?
Bob Dylan merupakan seorang penyanyi, komposer atau penulis lagu dan salah satu musisi terbaik sepanjang sejarah musik. Aktif bermusik sejak awal tahun ’60-an pada usia muda, ia telah banyak melahirkan dan menciptakan karya-karya luar biasa lewat lagu dan musiknya, termasuk lagu berjudul “Knockin’ On Heaven’s Door” dan “Make You Feel My Love”.
Kedua lagu itu hanya salah dua dari banyak lagu terbaik dan dari sekian banyak lagu ciptaan Dylan. Dengan beragam tema yang diangkat Dylan ke dalam musik dan lagunya, hal yang lebih menarik minatku justru tema-tema sarat protes sosial yang menjadi ciri khas utamanya di awal karier bermusiknya.
Tema protes sosial yang selalu diangkatnya lewat musik dan lagunya, menandai keterlibatan kehidupannya terhadap aktivisme, perjuangan hak-hak sipil, serta gerakan kesetaraan ras yang menentang adanya diskriminasi rasial terhadap masyarakat kulit hitam pada periode 1950-an hingga 1960-an.
Tampaknya, musik maupun lagu bisa dijadikan sebagai salah satu penanda atas situasi dan kondisi dari suatu zaman tertentu, baik karena genrenya maupun relevansi tema yang terkandung di dalamnya. Namun, narasi tentang Dylan adalah narasi tentang perlawanan dan protes sosial yang dilakukannya mulai dari sejak periode 1960-an hingga sekarang.
Berkiblat dari salah seorang musisi radikal berhaluan kiri seperti “Woody Guthrie”, serta keterlibatan dan pengaruh dari mantan kekasihnya, seorang aktivis perempuan berhaluan Komunis, “Suze Rotolo”, bisa jadi merupakan kunci utama yang mempengaruhi kesadaran politiknya.
Mengidentifikasinya dengan perlawanan, menurut saya bukanlah hal yang berlebihan.
Penampilan musiknya yang identik dengan permainan harmonika dan alunan gitar akustik, merupakan ciri khas sederhana dari genre musik rakyat (folk) yang membuatnya dikenal oleh para Generasi Baby Boomer’s saat itu. Barangkali cukup beralasan jika ciri khas maestro balada musik Indonesia sekelas Iwan Fals turut jua terpengaruh dari gaya bermusik Bob Dylan.
Bob Dylan telah meraih 11 penghargaan Grammy Award. Piala pertama yang diperolehnya, yakni pada tahun 1973. Bob Dylan meraih penghargaan Pulitzer Prize karena memberi dampak terhadap industri musik dan komposisi lirik dari lagu-lagu Bob Dylan dinilai memiliki kekuatan puitis yang luar biasa.
Empat tahun lalu —pada tahun 2016— Bob Dylan menerima Novel Prize dalam Sastra karena menciptakan ekspresi puitis baru dalam tradisi lagu Amerika. Hingga usia senjanya, Bob Dylan masih tetap menelurkan karya musiknya. “Murder Most Foul” —sebuah lagu yang mengisahkan tentang pembunuhan John F. Kennedy— merupakan singel orisinal pertama Bob Dylan di tahun 2020 ini.
Tepat pada hari ini merupakan hari kelahirannya. 24 Mei 2020 merupakan hari di mana dia telah sampai pada usia 79 tahun, namun karyanya hidup dan tetap relevan dijadikan sebagai ikon untuk menandai protes atas situasi sosial tertentu, baik dulu, sekarang, ataupun nanti.
Semoga alam menyertaimu, Bob Dylan.
Penulis adalah seorang pegiat sosial dan lingkungan hidup.
Editor: Red/Hen