Juan Ambarita*
PIRAMIDA.ID- Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia sedang disuguhi oleh rencana projek pemerintah yang merencanakan pembangunan Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat, yang disebut-sebut bakal jadi Silicon Valley-nya Indonesia. Proyek ini nantinya akan melibatkan PT Amarta Karya (Persero) dan Budiman Sudjatmiko sebagai ketua pelaksananya.
Pada tiga tahun pertama sebagai tahapan awal, nilai total projek diperkirakan akan mencapai angka 1 miliar euro yang jika dikonversikan ke dalam mata uang rupiah senilai Rp18 triliun. Mengutip sumber dari beberapa situs pemberitaan, Projek Bumi Algorita ini bertujuan menjadi kawasan pengembangan riset dan sumber daya manusia yang berbasis industri 4.0, serta peningkatan sektor pariwisata.
Harapannya, kawasan ini juga dapat meningkatkan pembangunan infrastruktur di dalam negeri secara berkelanjutan.
Rencana pembangunan Silicon Valley ala Indonesia, yaitu Bukit Algoritma di Sukabumi yang diperkirakan akan menelan dana 18 triliun memang terdengar seperti projek raksasa, tapi sejujurnya itu angka yang kecil, jika dibandingkan dengan hasil yang akan diperoleh nanti jikalau projek itu berjalan dengan baik.
Menjadi pertanyaan besar apa yang melandasi obsesi pemerintah untuk membangun suatu komplek teknologi dan inovasi yang terpusat pada saat kondisi SDM-nya sendiri masih tergolong rendah atau belum mumpuni untuk projek seperti itu.
Karena tidak bisa dipungkiri berbicara Revolusi Industri 4.0 membutuhkan banyak tenaga terampil, pemikir cemerlang, dan juga infrastruktur yang memadai. Sementara kondisi di negeri ini mengutip dari hasil survei Pusat Penelitian Perkembangan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, 54 persen dari 1.829 responden di 10 kota di Indonesia masih kurang paham terhadap isu-isu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Untuk bisa menguasai suatu pemograman seorang anak wajib menguasai matematika, logika, dan bahasa. Mereka tidak boleh hanya sekadar menghafal, tetapi harus bener-bener paham. Bahkan sampai menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Berharap kita mempunyai atau memiliki banyak SDM di bidang programmer, software, developer, dan engineer. Tanpa disokong dengan upaya untuk mempersiapkan secara maksimal tenaga kerja terampil melalui pembekalan Sumber Daya Manusia di bidang-bidang tersebut, hanyalah mimpi.
Penulis beranggapan jikalau dana 18 triliun yang ada tadi dipergunakan untuk mempersiapkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan kemudian melakukan perbaikan terhadap kualitas infrastruktur digital seperti internet dan memasukkan serta meningkatkan materi pelajaran pemrograman sejak dini, maka bisa diprediksi bahwa selain mampu untuk membangun Bukit Algoritma, generasi muda bangsa ini juga akan mampu untuk membangun suatu start up unicorn atau bahkan decacorn yang sanggup bersaing dengan start up asing.
Penulis berpikir bahwa suatu bangunan dibuat terlebih dahulu sebelum pondasinya kuat itu hal sia-sia, memang gedung itu suatu saat nanti bisa jadi tempat berkumpulnya para pemikir dan para praktisi digital untuk membuat dan mendorong terjadinya suatu terobosan demi kemajuan bangsa ini.
Tetapi jikalau hal yang paling penting, yaitu pondasinya belum kuat, bagaimana caranya mengimplementasikan kemajuan tersebut? Malah gendang itu bisa-bisa roboh diterjang badai. Pada akhirnya yang akan diuntungkan hanya segelintir orang, mayoritas akan tetap saja tidak akan mendapat dampak positif apa-apa dari proyek ini.
Setelah berbagai macam carut-marut peristiwa korupsi, pendidikan, hukum dan keadilan yang terjadi di negara ini, setelah berbagai peristiwa projek besar yang dikorupsi berujung kepada kerugian yang dialami negara, dan caleg-caleg partai politik yang setelah keterpilihannya oleh rakyat melupakan semua janji-janji indahnya pada rakyat di saat kampanye, membuat masyarakat sulit untuk bisa mendukung atau berpikir juga berharap yang indah-indah dari projek yang direncanakan oleh para petinggi di negara ini.
Jangankan untuk mendukung, mendengar nama Bukit Algoritma saja sudah skeptis terlebih dahulu.
Namun di balik semua rangkaian peristiwa yang telah menjadi stigma dari masyarakat terhadap pemerintah, penulis mengajak mari bersama-sama mengkawal cita-cita mulia dari pemerintah ini untuk mewujudkan suatu lokasi sentral pendidikan dan pusat riset serta pengembangan untuk menampung ide anak bangsa terbaik demi Indonesia bangkit, dan yang terutama demi menghadapi tantangan dari Revolusi Industri 4.0 saat ini.(*)
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi.