Thompson HS*
PIRAMIDA.ID- Saya baru pulang dari Samosir. Saya ke Samosir pada hari Kamis (15/10/2020) dan pulang sehari setelah pertunjukan Opera Batak “Boru Lopian, Ulu Porang di Tano Batak”.
Pertunjukan Opera Batak itu dilaksanakan di Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir, sebagai salah satu mata acara Hari Ulos yang sejak 2014 lalu jatuh setiap 17 Oktober. Tahun 2019 lalu saya mengikuti Hari Ulos di Medan dan bikin beberapa catatan tentang pelaksanaannya dalam satu tulisan yang dimuat di salah satu harian di Medan.
Tahun 2018 juga saya mengikuti Hari Ulos yang dirangkai dalam Program Indonesiana yang dilaksanakan di Tapanuli Utara. Program Indonesiana di Sumatera Utara dirancang kepanitiaannya untuk per tiga tahun. Namun hanya Tapanuli Utara lah yang akhirnya siap untuk mengawali pelaksanaannya itu. Dua Kabupaten (Karo dan Samosir) sepertinya tidak siap, malah kedengaran mengundurkan diri untuk tidak terlibat dengan tema dan Program Indonesia.
Akhirnya memang Program Indonesiana di Sumatera Utara hanya terlaksana di Tapanuli Utara dan mestinya tahun 2020 ini berakhir.
Samosir sepertinya sudah bikin kegiatan terkait Hari Ulos sejak 2014. Dan tahun ini informasi tentang Kampung Ulos akan dibuat di Samosir dengan capaian biaya 57 Milyar Rupiah; itu saya dengar informasinya melalui webinar yang difasilitasi BPNB Aceh bersamaan dengan Hari Ulos. Sebelum pertunjukan Opera Batak, saya masih menyempatkan diri mengikuti webinar di penginapan kami.
Pertunjukan Opera Batak di Hari Ulos di Samosir merupakan satu kesempatan yang baik. Baik dari berbagai hal, salah satunya karena rekomendasi ini sudah kami lakukan sejak November 2019. Saya, Enrico Alamo, dan Sulaiman Juned pergi ke Samosir setelah melakukan janji dengan Ibu Shanty Harianja, staf Dinas Pariwisata Samosir. Dari Ibu Shantylah peluang pertunjukan itu bisa sampai ke panitia Hari Ulos 2020 tanpa melepas begitu saja.
Dinas Pariwisata Samosir menyediakan fasilitas akomodasi penginapan dan konsumsi. Sedangkan panitia Hari Ulos yang ditanganani Disbudpora Samosir menyediakan fasilitas panggung. Tim Opera Batak yang datang dari ISI Padangpanjang bergabung di Samosir dengan tim yang dikelola PLOt Siantar.
Sejak 2017 kerjasama PLOt Siantar sudah ditandatangani menyangkut garapan 3 seri pertunjukan Opera Batak yang mendapat hibah P3S dari Dikti Kemenristek. Dua seri pertunjukan sudah dipentaskan di Malaysia (2018) dan di Vietnam (2019). Pertunjukan 2020 di Samosir adalah rekomendasi khusus sebelum pandemi Covid-19.
Seandainya pandemi itu tidak ada mungkin pertunjukan bisa ke Korea Selatan atau Kamboja. Tapi pandemi itu juga bikin Samosir. Menjelang pertunjukan isu rapid test mewarnai keberangkatan tim Opera Batak ke Samosir. Namun kenyataannya tidak ada pemeriksaan apapun terkait protokol kesehatan waktu memasuki Samosir.
Lalu isu itu kita anggap ada kemungkinan terkait isu Pilkada, meskipun bisa memberikan dampak kepada kunjungan wisata ke Samosir.
Sebelum rombongan tim dari Padangpanjang memasuki Samosir, saya sudah lebih dulu dengan Oktavianus Matondang di Samosir. Kami sepakat menyewa tenda di Pantai Sigurgur untuk menghindari penginapan hotel yang mungkin tidak steril karena isu rapid test atau pandemi yang tiba-tiba mengubah status Samosir jadi zona merah.
Di Pantai Sigurgur juga saya ingin baca puisi-puisi buku terbaru “Kisah Penjaga Danau”.
Saya menaiki bus umum dari Medan menuju Parapat. Dari Parapat menaiki kapal kayu menuju Tomok. Sebelum kapal bergerak saya disambut dua anak-anak dengan mengatakan: Selamat Pagi. Namun saya koreksi langsung karena saat itu sudah sekitar pukul 14.0O. Kemudian saya menawarkan keduanya buku “Kisah Penjaga Danau” meskipun 30 buku yang akan dibagikan sasaran awalnya ke Samosir dan tahap berikutnya ke Taput sebanyak 20 buku.
Jumlah 50 buku itu dibeli dan disumbangkan oleh Dr. RE Nainggolan, M.M., mantan Sekdapropsu dan mantan Bupati Taput. Waktu beliau masih Bupati Taput program revitalisasi Opera Batak dimulai di Tarutung, setelah ditolak di Tobasa. Sampai beliau menjadi Sekdapropsu perhatian terhadap revitalisasi Opera Batak tidak berhenti.
Bahkan sudah pensiun tim Opera Batak PLOt Siantar yang akan berangkat ke Jerman untuk kedua kalinya pada 2015 mengusahakan tiket Medan-Jakarta untuk 14 orang. Sedangkan tiket Jakarta-Jerman dipastikan oleh Ibu Devi Panjaitan – Boru Simatupang.
Sebelum saya mendapat beasiswa kunjungan ke Jerman pada Desember 2017 – Februari 2018 dokumen kerjasama dengan tim peneliti ISI Padangpanjang sudah ditandatangani. Dokumen kerjasama itu saya laporkan juga kepada Lena Simanjuntak, salah satu pendiri PLOt dan Karl Mertes Ketua DIG (Lembaga Indonesia Jerman) yang mengusahakan fasilitasi untuk PLOt dan saya agar bisa masuk ke Jerman. Jerman adalah negara yang sangat terbuka di Eropa.
Namun karena perang melawan terorisme di dunia, Indonesia dianggap merah terkait hal itu. Tahun 2017 lewat bandara Internasional Frankfurt, wawancara di bagian imigrasi bikin telat untuk check-in ke pesawat transit menuju kota Dusseldorf. Namun keterlambatan tetap difasilitasi di bagian informasi tanpa mengeluarkan lagi uang sepeser pun, ditambah dapat menggunakan telepon untuk memberitahu kondisi kepada penjemput di bandara Dusseldorf.
Kerjasama dengan tim peneliti ISI Padangpanjang ditanggapi dengan baik karena PLOt sudah memiliki misi dan visi terbuka untuk dapat bekerjasama ke berbagai pihak. Sejak beroperasi 2005 PLOt memulai kelanjutan revitalisasi Opera Batak.
Potensi seni pertunjukan ini dilihat akan berlanjut di tangan para terdidik. Berangsur-angsur para peneliti dari perguruan tinggi datang ke PLOt untuk penggarapan tema-tema terkait Opera Batak. Termasuk dari jumlah yang tercatat, Enrico Alamo adalah salah satunya berawal untuk kepentingan studi pasca sarjana di ISI Yogyakarta.
Janji Enrico Alamo ditepati sejak 2017. Sehingga dokumen kerjasama dengan PLOt menjadi lampiran penting dalam proposal tim peneliti 3 seri pertunjukan Opera Batak.
Pertunjukan 3 seri akan diakhiri di Samosir, meskipun pencapaian lain untuk semacam kontribusi ke Samosir masih harus tertunda karena Pilkada bulan Desember 2020. Saya berharap sebelumnya melalui kesempatan pertunjukan Seri 3 di Samosir, pihak ISI Padangpanjang dapat melakukan Perjanjian Saling Pengertian (MoU) untuk masa ke depan anak-anak Samosir yang ingin menjadi kreator dapat mendapat kuliah beasiswa di ISI Padangpanjang.
Ternyata itu ditunda karena Pejabat Sementara Bupati Samosir tidak mungkin melakukan penandatanganan perjanjian dengan Rektor ISI Padangpanjang, kecualu bupati-defenitif yang menang lewat Pilkada nanti. Jadi pencapaian dari harapan PLOt atas hal itu akan hanya kemungkinan saja.
Itulah yang sempat membuat saya ragu mau melangkah ke Samosir, apalagi ditambah dengan isu rapid test. Namun dorongan kuat dari DR. RE Nainggolan untuk penyebaran buku “Kisah Penjaga Danau” menguatkan ingatan saya akan tanggungjawab di satu sisi kerjasama dengan tim ISI Padangpanjang dan satu sisi lainnya untuk memperhatikan situasi yang paling urgen di Kawasan Danau Toba.
Boleh dikatakan bahwa buku “Kisah Penjaga Danau” merupakan kelanjutan misi dari buku “Perempuan di Pinggir Danau”, naskah pertunjukan Opera Batak yang ditampilkan mulai 2013 hingga ke Jerman dalam rangka Hari Batak (Batak Tag).
Di kapal penyeberangan 2 anak Parapat/Ajibata lah yang menerima pertama buku “Kisah Penjaga Danau”. Setelah tiba di pelabuhan Tomok diterima anak-anak Rumah Belajar Alusi Tao melalui 2 pengelola yang datang dari Lontung, desa tempat rumah belajar yang dipelopori oleh Togu Simorangkir itu. Setelah saya turun di Desa Sigurgur saya berjanji memberi buku kepada seorang mahasiswi kalau ada adiknya yang SD sampai SMA.
Sasaran pembagian buku yang disumbangkan RE Nainggolan memang diutamakan kepada anak-anak SD sampai SMA. Sedangkan beberapa eksemplar buku yang saya berikan kepada orang dewasa, termasul Joly Sitanggang (pengelola Pantai Sigurgur) bukan dari buku berstempel sumbangan RE Nainggolan.
Jadi 50 buku sumbangan itu sudah dibubuhi dengan stempel khusus. Sedangkan sumbangan buku yang kurang dari 50 eksemplar sengaja tanpa stempel.
10 buku sudah disumbangkan oleh Abdon Nababan dua hari sebelum saya menuju Samosir. Buku itu diarahkan kepada anak-anak di Tipang, desa bagian dari Kecamatan Bakara, Humbang Hasundutan. Sampai tulisan ini dibuat 7 anak Tipang sudah terdaftar dan mungkin akan dikirimkan setelah data 10 anak sudah lengkap. Kemungkinan lain pada tahap berikut ke Taput saya akan langsung ke sana, sekaligus sumbangan buku kalau ada yang juga menyumbang ke Bakara.
Bakara merupakan pintu ke Tipang; rasa “malu” lewat pintu bisa muncul dengan mengabaikannya. Jadi kalau memang tak ada penyumbang buku ke Bakara lebih baik buku ke Tipang dikirim lewat jasa pengiriman.
Saya baru pulang dari Samosir. Penyebaran lebih dari 30 buku sudah terlaksana. Namun buku yang disumbangkan RE Nainggolan ada yang belum diterima beberapa anak dan sanggar. Mungkin sebelum dan sesudah dari Taput saya masih perlu menyeberang antara Muara dan Sipinggan untuk menyerahkan sisa kuota.
Ke anak-anak danau di Kabupaten Toba, Dairi, dan Karo saya harapkan buku “Kisah Penjaga Danau” dapat tersebar dengan sokongan para penyumbang; besar-kecil jumlahnya diterima karena ketulusan hati untuk anak-anak danau.(*)