Oleh: Dian Sany Siagian*
PIRAMIDA.ID- Semua kita yang membaca tulisan ini pasti menjawab pernah jika ditanyakan apakah pernah menonton film kerajaan atau film yang berlatar abad ke-16 gitu. Nah, dalam film atau buku yang kita baca pasti menjelaskan bahwa pada zaman tersebut keseharian manusia itu ditentukan oleh hukum agama dan pemimpin.
Begitu miris, bukan? Tapi memang begitulah nyatanya. Pada abad ke-16 keadilan keseluruhan hanya ditentukan oleh belas kasihan raja, para deodal, dan para pendeta. Sampai pada akhirnya ketemu abad-17 muncullah seorang tokoh bernama Jeremy Bentham melihat dan menganalisis adanya kekeliruan dalam sistem itu.
Menurutnya keadilan muncul karena adanya transaksi antara manusia dan manusia, bukan menunggu belas kasih seseorang saja. Maka, Jeremy Bentham memutar teori yang ada pada saat itu dengan menciptakan pendekatan utilitarisme. Pada teori utilitaris disebutkan keadilan ada jika memuaskan masyarakat mayoritas, dan teori itu adalah teori revolusioner pada masa itu. Perubahan pun terjadi, orang tidak lagi bergantung pada relasi atau seberapa baik dan nurut di hadapan pastor/pendeta.
Tetapi seiringnya zaman, teori utilitarian pun banyak mendapat koreksi dan tidak relevan lagi dirasa untuk dipakai karena beberapa hal, salah satunya muncul teori liberalisme yang memang punya beberapa poin berseberangan dengan teori utilitarisme. Dalam libertarian menyebutkan setiap orang punya preperasi tentang kebahagiaan. Jadi, jika kita menilik memang bahwa adanya kecenderungan jika utiliritarisme itu melihat jumlah keadilan bukan kualitas keadilan, sedangkan liberalisme melihat keadilan akan tercipta dari dirinya sendiri.
Di luar dari itu semua dua teori di atas adalah teori yang baik jika dipadukan, seperti menyeimbangi etika dan kepedulian maka terciptalah keadilan.
Buka Mata
Mulai dari dulu, kita mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang keluar karena dirasa ada sesuatu yang salah. Hal itu bagus, tak dipungkiri jika diri ini juga pemain menjadi kritikus dalam konteks sebagai warga negara. Kritik adalah suatu gerakan dengan tujuan pengkoreksian sampai akar-akarnya sampai mencapai kesempurnaan dan keadilan semua warga negara.
Contoh yang saat ini menjadi sorotan adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT akhir-akhir ini adalah buah dari keputusan yang keluar di saat tidak tepat.
Jika kita membuka mata, kebijakan Menteri Ketenagakerjaan (Menakerlbini sangat mirip dengan konsep utiliritarisme, yaitu melihat jumlah keadilan dalam konteks kaum borjuis dengan tidak memandang kualitasnya lebih kompleks. Selama ini, rendahnya kepatuhan pengusaha untuk mendaftarkan pekerjanya ke Jamsostek menjadi problem klasik yang membuat jaring pengaman sosial bagi pekerja rapuh.
Oleh karenanya, jika JHT pun dibuat, ada indikasi pekerja di Indonesia terjerumus dalam lingkaran kemiskinan. Dengan dikeluarkannya keputusan ini sebenarnya mempertontonkan ketidakadilan sesungguhnya, melemparkan anggapan kepada publik jika penderitaan kulminasi dari semua penderita rakyat berasal dari pemerintah. Harus diperhatikan saat ini, dengan juga menunjukkan jika keadilan yang sesungguhnya tidak dipahami pemerintah. Seolah-olah selalu bertumpuh pada satu kebijakan, etika, tidak memperhatikan keadilan dan kepedulian.
Pengaruh teori yang keliru pada kebijakan publik.
Di satu pernyataan, Kemenaker menyatakan rasa kepeduliannya sehingga mengeluarkan kebijakan peraturan JHT tersebut dan membandingkan dengan Jepang. Keantusiasan nampak karena perbandingan itu, tetapi sebenarnya jika diperhatikan sesungguhnya filter kekritisan itu lumpuh sehingga pembicaraan kebijakan publik kali ini lebih diisi dengan retorika dibanding logika.
Pertama, dengan adanya pembatasan di UU Cipta Kerja, PHK dengan pasongan rendah serta PHK tanpa pasongan membuat JHT menjadi harapan terahir pekerja, mengingat dalil pandemi membumbui. Kesedihan nasional kini terungkap dalam sistem birokrasi. Menampakkan adanya kecacatan di dalam apresiasi terhadap sosial masyarakat kelas bawah.
Kalangan miskin hidup di tataran dramatis dari segi ukuran kelayakan manusia, menciptakan bola api pada masyarakat menggambarkan pemerintah surplus membandingkan negara dan defisit akal.
Perlunya Harmonisasi
Dalil demokrasi sesungguhnya adalah melindungi semua jenis pengalaman warga negara tidak melindungi heterogen, hanya pengalaman satu kelompok warga negara tapi seluruhnya. Berkaca kebijakan Kemenaker ini, seolah-olah penumbuh ekonomi dan kepentingan elit, pemerintah saja dan mengabaikan ekonomi kerakyatan, kesenjangan ekonomi seperti ini layaknya bom waktu yang bisa meledak menjadi kerusuhan (konflik atau penjarahan).
Maka, agar tidak terjadinya sesuatu tidak diharapkan kelak, diharapkan kebijakan JHT ini seyogyanya juga diselaraskan dengan kebijakan sosial yang dikehendaki masyarakat. Mendengarkan keluh-kesah, lebih dekat dan mengakomodasi kepentingan kepentingan masyarakat secara keseluruhan tanpa tumpang-tindih.(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar Prodi PGSD. Saat ini mengemban amanah sebagai Presidium Gerakan Kemasyarakatan (PGK) PMKRI Cab. Pematangsiantar.