Norita Tamba*
PIRAMIDA.ID- “Kamu itu cantik,” sebuah ungkapan yang kita idamkan untuk diucapkan pada kita oleh orang lain. Tentu saja, setiap perempuan juga inginkan itu dan menganggap bahwa cantik itu perlu.
Terlahir ke dunia sebagai seorang perempuan, tentu kita pasti mempunyai harapan untuk sebuah kata cantik.
Lalu bagaimana bila kita terlahir justru dengan paras yang sederhana, bentuk badan tidak ideal, kulit yang gelap, badan yang tidak tinggi dan rambut yang ikal?
Pertanyaan reflektif yang sampai saat ini saya juga tak menjawabnya. Semua perempuan mengidam-idamkan kata cantik.
Dan pertanyaan itu juga yang tertuang dalam salah satu film inspiratif berjudul Imperfect.
Dikisahkan, seorang gadis terlahir memiliki badan besar, hitam, rambut ikal, tidak tinggi. Satu kata yang sangat melekat dan menghantui dalam benak dirinya adalah ‘kamu jelek dan sangat jelek’.
Karenanya, berbeda dengan para ibu yang lain, justru ibu nya “kurang memperhatikan dan menyayangi” serta kerap membandingkannya dengan adiknya yang sangat cantik. Saat itu seketika ia merasa dunia begitu tidaklah adil dan hari-harinya dilanda rasa ingin bunuh diri.
Meski begitu, senantiasa ada penawar hati ketika ia mengalami suasana demikian. Sosok ayahnya lah yang senantiasa memotivasinya dan hanya dia yang mengatakan bahwa gadis itu cantik. Bagi ayahnya, terlahir sempurna tanpa ada kekurangan itu sudah menjadi cantik yang sesungguhnya.
Hingga akhirnya dikisahkan ia kehilangan sosok tersebut; seorang penyemangat baginya, yaitu ayah yang benar-benar menerima dan mencintainya tanpa melihat fisik. Sebuah kehilangan yang sudah pasti menyakitkan.
Dan hal itu menyebabkannya putus asa tanpa sosok seorang ayah. Iya, hal yang jauh dari harapan sebagai seorang gadis yang ingin dicintai tanpa membandingkan sebuah fisik.
“Kamu harus diet, kamu harus olahraga, kamu tidak boleh makan ini makan itu, harus pakai lulur ini, dan harus ber make-up harus coba cara ini dan itu.”
Kata-kata demikianlah yang senantiasa terucapkan dari ibu yang menginginkan perubahan itu. Sayangnya, itu justru semakin membuatnya tidak peduli dengan perkataan ibu.
Setiap harinya ia selalu disuguhi dengan pertanyaan yang membuat menjadi ingin membenci diri sendiri, membuatnya menjadi minder terhadap orang di sekitar dan membuat teman-temannya mulai menjauh.
Walaupun ia memiliki kemampuan dalam bidang pengetahuan, justru itu tak dapat menjadi nilai plus darinya di mata teman, guru, dan bahkan ibunya.
Sampai hari-hari berjalan begitu saja dan rasa percaya pada diri sendiri dengan keyakinan dari ayahnya bahwa ia adalah perempuan cantik.
“Karena cantik itu adalah kamu yang sempurna, kamu perempuan dan kamu cantik karena cantik hanya dimiliki seorang perempuan siapa pun dia ketika dia perempuan maka dia cantik,” kata ayah. Itulah yang selalu ia ingat dari beliau.
Suatu ketika ia memdedikasikan diri untuk mengajar membagi ilmu dan mengabdi kepada anak-anak yang memang membutuhkan pendidikan karena sulitnya membiayai untuk dapat bersekolah.
Hal yang membuat ia begitu terkejut bahwa mereka begitu mencintainya, dan mereka tetap bersahaja sekalipun melihat keburukannya; menerimanya sebagai sebagai seorang teman.
Hal itu adalah sesuatu yang langka dalam perjalanan hidupnya. Hari-harinya kerap dilanda kesepian.
Di saat orang lain beranjak dewasa atau berada pada fase puber, ia justru tidak menikmati masa tersebut.
Dikarenakan tidak ada yang ingin berteman dengannya, karena pada dasarnya semua orang hanya melihat dirimu hanya sekedar dari luar (cover) saja.
Sampai pada akhirnya masa itu ia lewati dengan penuh percaya diri, saat di mana ia harus masuk ke dunia kerja di mana semua orang lebih melihat penampilan tanpa melihat kemampuan dan kepintaran seseorang.
Pada saat itu, ia benar-benar mengalaminya dengan rasa tertekan, hingga pada suatu ketika demi sebuah posisi ia pun mulai berpikir untuk mengubah penampilannya secara keseluruhan. Sulit pastinya, tapi ia tetap pada niatannya dengan tujuan tersebut.
Ia perlahan mengubah pola hidupnya, memulai dengan kegiatan olahraga, menjaga pola makanan, mulai perawatan tubuh, meluruskan rambut, sampai akhirnya ber make-up, dari yang sebelumnya tak pernah mengenal alat-alat make-up walau hanya sebatas mascara, eyeliner, dan lainnya.
Usaha tersebut pun ia lakukan selama 3 bulan dan hasilnya memang benar-benar berubah 180 derajat. Ia menjadi perempuan yang cantik, langsing, putih, dan sempurna.
Hingga akhirnya ia meraih ambisinya dan memulai karir saya dengan menawarkan paras. Tak berselang lama, yang membuat ia menjadi terheran juga ialah bahwa orang yang dulu menjauhinya tiba-tiba mendekatinya, dan para lelaki yang dulu menolak sehingga pada akhirnya mengejar-ngejar. Perubahan yang begitu dahsyat dirasakannya.
Sampai akhirnya ia mulai kehilangan sahabat yang selalu ada sebelum ia mengalami perubahan itu. Ia sampai terlena dengan semua hal yang baru dan melupakan sahabat setianya.
Iya, akhirnya ia mengetahui bahwa cantik juga dapat melukai.
Jujur, dalam banyak hal, kisah di film tersebut turut juga saya alami secara pribadi. Kisah ini benar-benar merepresentasikan suasana batin dan perasaan yang kualami.
Menjadi perempuan itu tidak mudah. Ada banyak sekali ekspektasi yang membebani kita, hegemoni standar (iklan) kecantikan yang sering tidak masuk akal, seperti cantik itu harus langsing, cantik itu harus putih, dan lainnya.
Standar kecantikan yang tak memanusiakan, sebenarnya.
Saya kira, kita sebagai perempuan sudah seharusnya meninggalkan standard demikian; jangan mau didikte oleh ukuran cantik yang dibuat oleh orang lain.
Karena pada dasarnya semua perempuan itu cantik, kata cantik itu sangat relatif tergantung dari segi mana kita memandang. Cantik tidak hanya soal penampilan, make-up yang tebal tetapi juga tentang pemikiran dan wawasan yang luas membuat kita menjadi cantik yang sempurna.
Ketika hanya mengandalkan penampilan tanpa sebuah wawasan, pada dasarnya pun tidak juga membuatmu cantik.
Jadilah diri sendiri, pribadi yang unik, mencintai dirimu sendiri, memiliki wawasan maka kecantikan tersebut akan terpancar dengan sendirinya.
Jadilah cantik dengan sendirinya karena cantik itu haruslah perempuan!
Penulis merupakan mahasiswa tingkat akhir di STIE Sultan Agung, Pematangsiantar. Saat ini mengemban amanah sebagai Presidium Hubungan Masyarakat Katolik (PHMK) PMKRI Cab. Pematangsiantar. Tulisan ini terinspirasi dari sebuah film Indonesia yang berjudul “Imperfect” dan pengalaman pribadi penulis.
Editor: Red/Hen