Tia Lestari Sidabutar (Molly Moore)*
PIRAMIDA.ID- Aku menulis catatan ini ketika malam datang, saat sunyi merayap dari dinding-dinding rumah, serta kabut mulai mencium pucuk-pucuk pepohonan. Bahkan anjing tetanggaku tak lagi menggonggong. Dan tentu saja, saat aku menulis ini, aku membungkus diriku dengan selimut berwarna kuning telur, menggigil sembari memikirkan kembali hari-hari yang telah kulewati.
Tiga Runggu, beberapa hari yang lalu, aku dan anak-anak menutup telinga ketika petir sahut-menyahut di langit. Kemudian, entah bagaimana, hujan es turun begitu lebat. Aku dan anak-anak mengintip lewat jendela dan melihat es berjatuhan dari langit.
Aku nyaris berpikir bahwa salju mungkin akan turun. Aku senang bercampur takut. Aku tidak pernah melihat hujan es seperti itu. Seperti ada seseorang yang mengoyak langit hingga seluruh isinya tumpah ruah ke desa Tiga Runggu. Fenomena alam yang langka kulihat.
Esok harinya pun demikian, hujan terus mengguyur desa dan awan putih turun ke jalanan. Karena dinginnya cuaca, aku bisa melihat nafasku sendiri mengepul seperti asap di mana – tentu saja – menyebabkan aku bersin sepanjang waktu. Hidungku berair
Untuk menghangatkan tubuh sembari memandangi guyuran hujan dari langit, aku pun menyuguhkan segelas kopi untukku sendiri.
**
Hujan senantiasa turun ke bumi Tiga Runggu dalam beberapa hari tersebut. Meski demikian, aktivitas mengajar bimbel ku pada anak-anak tetap berjalan. Tak peduli seberapa sering aku mengepel rumah dan teras, lantaiku selalu kotor karena hujan dan sepatu anak-anak meninggalkan jejak ketika mereka keluar dari kamar mandi. Kemudian pada siang hari lalat-lalat menguasai segala sudut desa.
Ahh, betapa jengkelnya aku pada lalat-lalat menjijikkan itu.
Setiap malam, sebelum tidur, aku punya kebiasaan menyempatkan diriku pergi keluar, meski sudah begitu sunyi. Aku selalu mendongak menatap langit Tiga Runggu. Berharap aku bisa melihat bintang-bintang yang banyak jumlahnya. Tapi aku nyaris tak bisa melihatnya lagi sepanjang hari-hari ini.
“Barangkali hujan tidak akan pernah membiarkanku melihat bintang lagi sampai Natal tiba,” batinku mengguman.
Aku suka sekali melihat bintang-bintang, apalagi bulan.
Baru pada hari berikutnya, ketika aku tak bisa tidur, seperti biasa aku pergi keluar dan menatap langit luas. Aku begitu senang akhirnya bisa melihat bulan muncul dan beberapa bintang tampak begitu dekat.
“Besok pasti cerah sekali,” pikirku malam itu.
Dan benar saja, esok harinya saat anak-anak datang ke tempat bimbel, langit begitu cerah; ia begitu biru bersanding dengan awan putih. Aku tidak pernah melihat langit Tiga Runggu sebiru itu. Indah sekali.
Yang menjadikan moment cuaca yang cerah itu kemudian terkesan manis bagiku adalah ketika Okto berkata, “Miss, aku kepanasan. Miss, lihat! Aku berkeringat.”
Wajahnya yang putih tampak memerah dan bulir-bulir keringat jatuh dari keningnya.
Lalu Adrian menambahi, “Iya, Miss. Lihat kupingku, merah sekali.” Aku memeriksa telinganya dan benar saja, itu memerah.
“Miss, seharusnya pasang AC di sini,” Okto bicara lagi sambil menyeka keringatnya.
Aku lantas tertawa keras. Orang sinting mana yang memasang AC di Tiga Runggu?
“Okto, itu karena kamu terlalu banyak bergerak. Lihat teman-temanmu, mereka tidak kepanasan.”
“Memang panas loh, Miss!” Anak-anak bicara nyaris serempak.
“Lalu apa yang bisa kulakukan?” tanyaku sembari senyum melihat tingkah mereka.
Aku tak begitu suka mendengar keributan di kelasku. Jadi aku menyuruh mereka untuk diam. Anak-anak berdecak dan bergerak-gerak gelisah di bangku mereka.
Lalu aku tersadar bahwa aku punya kipas angin. Aku tak menyangka kipas angin itu akan kupakai setelah dua bulan teronggok begitu saja. Aku jadi teringat percakapanku dengan pacar adikku saat aku menaikkan barang-barangku ke atas mobil pick-up, beberapa jam sebelum pindah ke Tiga Runggu.
“Molly, tinggalkan saja kipas angin itu di sini. Di Tiga Runggu dingin, loh. Kau tidak akan memakai kipas angin di sana.”
“Seberapa dingin, sih? Aku akan memakainya saat siang hari.” kataku tidak peduli. Dan benar saja, aku tertawa ketika akhirnya aku mendapati diriku memakai kaus kaki pada siang hari di sini.
Tapi aku tak menyangka akan mengeluarkan kipas anginku yang bersuara aneh itu ketika Tiga Runggu terasa seperti sedang musim panas. Aku menarik sebuah meja dan memasang kipas angin itu di depan anak-anak.
Yang membuatku tertawa keras adalah ketika anak-anakku bertepuk tangan saat melihat sebuah kipas angin. Mereka tertawa dan penasaran.
“Kenapa kalian tertawa? Kalian tidak pernah lihat kipas angin?” aku bercanda saat menanyakan itu.
“Tidak, Miss,” jawab mereka.
“Tidak pernah? Tidak mungkin,” jawabku sembari menggigit bibir menahan tawa.
“Aku pernah kok melihat kipas angin di rumah atturang-ku di Medan,” seseorang menjawab dengan bangga.
“Tiga Runggu-kan dingin, Miss. Untuk apa membeli kipas angin? Di tokopun mungkin tidak ada yang menjual,” Jones bicara sambil mencatat.
Kemudian anak-anak mulai bertengkar. Mereka semua berebut untuk duduk paling depan agar dapat merasakan hembusan angin dari kipas tersebut.
Pertengkaran terjadi hampir lima menit dan aku nyaris mencampakkan kipas angin itu ke luar. Aku berhasil menenangkan mereka dan untuk beberapa detik, kelasku menjadi sangat hening. Tapi anak-anak tertawa keras begitu kipas anginku mengeluarkan suara aneh.
“Yang kenapanya kipas angin Miss ini? Kok ‘Batuk-batukon’?” kata Jones.
Mendengar Jones mengatakan itu saat kami semua diam, aku tertawa terpingkal-pingkal sampai perutku terasa sakit.
Karena penasaran, Jones pindah ke depan kipas angin itu. Dia bilang, “Wah…. adem!” Katanya.
Tapi saat beberapa menit berlalu dan anak-anak tak mempermasalahkan lagi suara berisik kipas anginku, kami tak menyadari bahwa langit telah mendung di luar.
Okto yang awalnya kepanasan pindah ke kursi belakang. Saat kutanya kenapa, Okto bilang, “Tidak apa-apa, Miss.” Dia tertawa tertahan.
Rupanya Jones mulai bergerak-gerak gelisah di kursinya. Aku tahu anak-anak mulai kedinginan lagi tapi rasa penasaran mereka terhadap kipas angin masih menguasai diri mereka. Sebentar-sebentar Jones mematikan kipas, lalu menyalakannya lagi. Begitu terus sampai beberapa waktu.
Hingga saat hujan turun lagi, Jones berdiri, mengangkat buku-bukunya dan melihatku.
“Miss, nanti habis listrik Miss. Kita matikan saja, ya.” katanya.
Lalu kami semua tertawa. Jones tertawa keras sambil pindah ke kursi di dekat Okto.
“Lang tahan au abbiah. Borgoh tumang. Masuk angin au alani kipas i,” katanya dalam bahasa Simalungun.
Aku mengamati wajah anak-anakku satu-persatu. Begitu polos, begitu lucu dan terkadang menyebalkan. Aku mendengar hujan meredam suara-suara berisik mereka. Tapi dalam beberapa menit terakhir, aku banyak tertawa karena kipas angin itu.
Sembari menunggu anak-anak selesai mencatat, aku memakukan pandanganku pada tiga kursi kosong. Kursi itu seharusnya menjadi milik Risjon, Krisno, dan juga Raymond. Tapi untuk sebuah alasan yang tidak bisa kuberitahukan kepadamu, aku telah kehilangan tiga anakku yang berharga ini.
Aku sedih ketika menghapus nama mereka dari daftar hadir. Itu cerita yang sangat rahasia dan panjang.
Ketika dua jam berakhir dan mereka harus pulang, anak-anak menjabat tangan dan memelukku. Aku melambai pada mereka sambil berkata, “See you on wednesday!”
Aku mengangkat kipas angin kembali ke kamar dan meletakkannya di sudut kamar. Aku tersenyum melihat kipas angin itu. “Terima kasih kipas anginku tersayang. Karena suaramu yang aneh, aku dan anak-anakku tertawa banyak hari ini.”*)
Penulis merupakan penyanyi dan pencipta lagu pop-daerah. Mendirikan dan mengelola “Bimbingan Belajar Lestari” di Tiga Runggu. Akrab disapa Molly Moore.
Editor: Red/Hen